Minggu, 08 Februari 2009

MANAJEMEN KAKI LIMA

Punya usaha sendiri bikin saya otomatis punya ‘lahan baru’ untuk bermain-main dengan uang. Kalau tadinya saya hanya berkutat mengelola uang kecil (keuangan rumah tangga), sejak punya usaha baru saya belajar mengelola uang besar (keuangan perusahaan). Ini tantangan tersendiri buat saya yang saat itu bahkan belum bisa mengoperasikan program Microsoft Excel.

Saya belajar dari nol tentang tata cara mengelola keuangan perusahaan. Saya nggak mengerti teori-teori keuangan, nggak paham istilah-istilah rumit yang berhubungan dengan keuangan, dan nggak mengikuti saran ahli keuangan manapun. Saya hanya meneruskan kebiasaan lama yang sudah lebih dulu saya terapkan di keuangan rumah tangga saya; mencatat semua pemasukkan dan pengeluaran setiap harinya. Saya hanya mengikuti naluri semata.

Waktu Pak J tanya berapa modal yang saya butuhkan untuk memulai usaha penerbitan majalah, saya jawab Rp 100 juta dengan perhitungan 1 kali majalah terbit biaya operasional yang dibutuhkan Rp 30 jutaan. Saya kalikan 3 karena sistem penjualan yang berlaku di agen majalah adalah titip jual dengan sistem konsinyasi. Jadi, saya menitipkan majalah ke agen untuk dijual tanpa jaminan apapun, cuma bermodalkan kepercayaan. Setelah terbit majalah edisi kedua, barulah agen akan membayarkan hasil penjualan majalah edisi pertama yang laku (dipotong retur).

Tapi pada kenyataan di lapangan, ada saja agen ‘nakal’ yang susah ditagih. Setelah terbit majalah edisi ketiga atau keempat, agen tersebut baru mau membayarkan hasil penjualan majalah pertama. Keberatan dengan sistem seperti itu? Siap-siap ajak dibentak agen, “Nggak usah titip ke kita, emang majalah cuma punya lo aja?!”

Agen memang yang suka lebih galak daripada penerbit. Apalagi saya pemain baru yang nggak bernaung di bawah grup besar. Agen biasanya lebih segan kepada penerbit besar (yang menerbitkan banyak majalah sekaligus) atau penerbit yang sudah lama berkecimpung di bidang ini. Saya perlu dana aman minimal 3 kali biaya operasional agar pada saat majalah edisi pertama belum semuanya dibayarkan oleh agen, saya masih punya cukup ‘nafas’ untuk menerbitkan majalah berikutnya.

Ternyata saya akhirnya cuma punya modal Rp 80 juta. Cukup nggak ya Rp 80 juta untuk modal merintis penerbitan dan pendistribusian majalah? Sedangkan biaya bikin Perseroan Terbatas (PT) jaman segitu saja sudah kurang lebih Rp 6 juta sendiri. Belum harus beli komputer, printer, meja, kursi, dan peralatan kantor lainnya. Akhirnya kembali lagi ke topik yang pernah saya buat di tulisan sebelumnya; berapa pun jumlahnya, kalau dicukup-cukupin ya cukup aja. Saya percaya banget, dalam hal memegang uang yang terpenting bukanlah berapa besar uang yang kita miliki, tapi bagaimana mengelola dan memanfaatkannya (ini kalimat andalan saya banget :p). Untungnya, selama ini saya udah cukup teruji dalam hal mencukup-cukupkan uang. Jadi udah nggak kaget kalau harus bikin usaha dengan modal pas-pasan.

Dengan Rp 80 juta, saya jungkir balik berhemat di sana-sini agar jumlah segitu bisa dipakai menghidupi perusahaan sepanjang mungkin. Salah satu bentuk penghematan, di awal usaha, majalah saya hanya dikerjakan oleh 4 orang; 1 orang desainer grafis, 1 orang redaksi yang bertugas membuat chord-chord lagu, lalu sisa pekerjaan lainnya saya kerjakan berdua suami. Saya juga nggak menyewa kantor, tapi berkantor di ruang tamu rumah petak kontrakkan saya yang nggak cuma sempit, tapi juga terletak di gank kecil di sebuah pemukiman padat penduduk di daerah Mampang, Jakarta Selatan. Sebetulnya saat memulai usaha saya sudah punya rumah di Bintaro, tapi karena membeli dengan sistem indent, rumah tersebut belum selesai dibangun.

Beruntung, saat itu saya dan suami punya kenalan pemilik percetakan yang bersedia memberi keringanan, mencetak majalah kami dengan sistem pembayaran mundur 1 bulan. Jadi, kami boleh mencetak majalah pertama dengan jaminan kepercayaan saja. Setelah majalah edisi kedua siap dicetak lagi, barulah kami melunasi biaya cetak majalah edisi pertama. Pihak ekspedisi yang membantu mengirimkan majalah ke agen-agen kami di seluruh Indonesia juga memberi keringanan serupa sehingga saya bisa sedikit bernafas lega.

Waktu itu saya dan suami nggak pernah mikir macam-macam, pokoknya maju dan hajar bleh aja! Terserah di depan nanti seperti apa, yang penting kita menghadapi yang sudah ada di depan mata duluan. Saat memulai usaha, kami bahkan nggak punya kendaraan operasional. Saya dan suami keliling ke agen-agen di seluruh penjuru Jakarta, ke percetakan, ke toko kertas, dan ke perusahaan-perusahaan rekaman untuk menjalin kerja sama dengan mengendarai sepeda motor butut.. :))

Dari awal saya memisahkan keuangan perusahaan dan keuangan rumah tangga. Supaya nggak semena-mena memakai uang perusahaan untuk kebutuhan rumah tangga, saya memberlakukan sistem gaji untuk saya sendiri dan suami. Jadi, kami masing-masing digaji sekian juta dan dari gaji itulah saya memenuhi kebutuhan rumah tangga kami sehari-hari. Kalau uang gaji habis, saya nggak mau mengutak-atik uang kantor untuk keperluan pribadi. Kalau kepepet banget? Saya pinjam dulu uang kantor, nanti setelah gajian saya kembalikan lagi. Tapi ini jarang banget terjadi karena sejak sebelum mengelola keuangan perusahaan, saya sudah biasa disiplin memegang dan menggunakan uang.

Setiap akhir bulan, saya menghitung berapa pengeluaran dan pemasukkan selama satu bulan tersebut. Dengan sederhana saya menganggap kalau pengeluarannya lebih besar dari pemasukan, berarti saya rugi. Tapi kalau pemasukkan lebih besar daripada pengeluaran, berarti saya untung. Saya nggak ngerti istilah-istilah akuntansi seperti penyusutan atau apalah namanya. Dengan cara seperti itulah saya mengembangkan usaha dari hanya menerbitkan 1 majalah menjadi 4, bahkan sempat 5 (tapi yang satu terpaksa berhenti terbit karena situasi dan kondisi nggak mendukung).

Saya menyebut manajemen keuangan perusahaan saya manajemen kaki lima :D

3 komentar:

  1. Kesuksesan yang diceritakan dengan gaya bertutur yang low profile, tapi aslinya terbaca kalo si penulis hebat banget, keren, mantap,sangat menginspirasi buat saya,makasih banyak sudah berbagi Mbak Intan dan salam kenal :)

    BalasHapus
  2. Mbak Intan, terimakasih telah berbagi kisahnya. Sebenarnya saya juga sedang berpikir untuk memulai usaha penerbitan majalah sendiri. Kalau bukan yang komersil ya majalah gratis (feree magazine). Keberatan tidak jika saya ingin mengetahui apa saja detail yang perlu saya ketahui atau saya perlu lakukan sebelum saya bisa memulai bisnis saya ini? Misalnya mengenai pengurusan perizinan, pembentukan divisi2 yang perlu ada, kemudian kira2 detail modal yang diperlukan. terimakasih atas perhatiannya.

    BalasHapus
  3. 😎 Bergaya Sambil Mencari Pahala, Kenapa Tidak 😎
    .
    Dengan Kaos Dakwah dari Gootick Apparel yang akan membuat penampilan teman-teman pasti berbeda dari yang lain 😍😍😍
    .
    Dengan bahan Material dari Catton Bamboo yang memiliki kualitas tidak perlu di ragukan dan Sablon yang Rapih dan Kuat. Baca Terlebih dahulu kelebihan dari Cotton Bamboo

    Tersedia 5 tulisan bermakna Islami dan pilihan warna yang pastinya cocok di pakai untuk kegiatan sehari-hari yang akan terlihat Elegan dan Simple, Rapih dan Pastinya Keren.
    .
    "Promo HEMAT" Harga Normal Rp.100 K dan dapatkan potongan diskon harga sebesar Rp. 30 K.
    .
    Untuk informasi pemesanan silahkan klik link dibawah ini:

    Jual Kaos Dakwah
    Testimoni di >>>Instagram<<<:
    .
    Tunggu apalagi Langsung Ambil Promonya selagi masih Tersedia


    Mau Cari Bacaan Cinta Generasi Milenia Indonesia mengasikkan, disini tempatnya:
    Fashion

    BalasHapus