Senin, 13 Desember 2010

KEJAR-KEJARAN DENGAN UANG DAN WAKTU

Beberapa minggu terakhir ini, saya mengalami banyak sekali kejadian ajaib. Semuanya bermula waktu seorang teman saya mendapat proyek pengadaan seperangkat alat musik dalam jumlah cukup banyak. Berhubung nggak paham alat musik, dia berbaik hati bagi-bagi rejeki ke saya dengan melempar proyek itu ke toko saya. Tapi karena sesuatu dan lain hal teman saya ini cuma bisa memberi uang muka sebesar 10% dari total nilai alat musik yang dipesannya dari saya.

Berita buruknya, sebagian besar merk dan tipe alat musik yang diminta kliennya nggak tersedia di toko saya. Saya bahkan belum punya kerja sama dengan distributor merk tersebut. Itu artinya saya harus bayar di muka kalau mau membeli barang itu karena distributornya belum kenal saya, belum percaya kalau saya ambil barang duluan dan baru bayar belakangan. Padahal saya baru akan menerima pembayaran dari teman saya kalau seluruh barang pesanan sudah bisa saya siapkan.

Di sinilah masalah dimulai. Total nilai pemesanan barang yang harus saya siapkan kurang lebih Rp 300 jutaan. Beberapa teman distributor memang percaya mengirimkan barangnya ke toko saya tanpa harus membayar DP. Tapi setelah ditambah DP 10% yang diberikan teman saya, total nilainya cuma Rp 100 jutaan. Jadi, kemana saya harus mencari uang tunai sebesar Rp 200 juta dalam waktu kurang lebih sebulan?

Kalau saya punya pohon uang di belakang rumah sih enak.. Masalahnya, selama ini saya jarang menyimpan uang tunai dalam jumlah banyak. Habis, kalau punya uang sedikit saya pasti gatel pengen beli rumah sih. Tapi justru situasi ini membuat saya jadi punya banyak pengetahuan baru dalam hal ngutang hahaha…

Dalam kondisi butuh uang tunai, saya nelpon orang bank untuk cari-cari info cara cepat dapat utangan. Kebetulan ada salah satu rumah saya yang sudah lunas sehingga sertifikatnya nganggur di lemari. Bisa dijadikan agunan kan? Nah, kalau dulu saya tahunya KPR (Kredit Pemilikan Rumah), KPM (Kredit Pemiikan Mobil), dan pinjaman multiguna doang, kemarin ini saya baru tahu ada pinjaman untuk pengusaha yang namanya Pinjaman Rekening Koran.

Kalau ngutang dengan fasilitas pinjaman multiguna, setiap bulan saya harus membayar cicilan pokok hutang ditambah bunganya selama jangka waktu yang sudah disepakati di awal. Padahal saya kan nggak perlu ngutang dalam jangka waktu lama. Pertengahan bulan Desember ini kan saya sudah menerima pembayaran penuh dari klien teman saya. Jadi, saya bisa langsung menutup seluruh pinjaman, nggak usah nunggu setahun dua tahun, apalagi sampai lima tahun.

Pinjaman Rekening Koran lebih pas buat situasi saya saat ini. Saya bisa dapat pinjaman sebesar kurang lebih 80% dari nilai rumah yang saya agunkan. Jadi, kalau misalnya rumah saya dianggap harganya Rp 450 juta, saya bisa dapat pinjaman Rp 360 juta. Dari jumlah itu, saya hanya harus membayar bunga untuk uang yang saya pakai. Kalau uangnya saya diem-diemin di bank doang saya nggak kena bunga. Cuma kena biaya provisi, akad, notaris, appraisal, dan asuransi yang jumlahnya nggak sampai 2% dari total nilai pinjaman. Bunga yang ditawarkan pun cukup masuk akal; 12% setahun dan dihitung harian.

Misalnya begini, saya dapat pinjaman Rp 360 juta yang langsung masuk ke rekening giro saya. Kalau saya lagi butuh uang terus memakai uang itu Rp 100 juta selama 1 bulan, misalnya, waktu jatuh tempo saya harus membayar bunga Rp 100 juta x 1% = Rp 1 juta. Jadi, total yang harus saya bayar Rp 101 juta. Kalau pinjamnya 5 bulan? Tiap bulan saya hanya harus bayar bunga Rp 1 juta. Pokok hutang yang Rp 100 juta nggak harus langsung dibayar di bulan pertama atau dicicil. Yang penting bayar bunganya dulu setiap bulan sampai saya bisa melunasi pokok hutangnya.

Enaknya lagi, karena bunga dihitung harian, saya bisa saja pinjam Rp 100 juta tanpa kena bunga sama sekali. Kok bisa? Iya dong! Misalnya nih, pagi-pagi saya ambil uang di bank Rp 100 juta untuk belanja alat musik pesanan klien, setelah itu alat musik tersebut saya antar ke klien dan saya langsung menerima pembayaran. Nah, kalau hari itu juga sebelum bank tutup uang saya setorkan lagi, kan berarti saya pinjamnya nggak sampai 1 hari? Nggak kena bunga doong..

Kalau alat musik pesanan itu dibayarnya sore setelah bank tutup gimana? Ya, setorkan saja uangnya ke bank besok pagi. Kena bunganya cuma 1 hari doang kok. Hitungan kasarnya untuk pinjaman dengan bunga 12% setahun atau 1% sebulan kurang lebih begini 1% : 30 hari = 0,033%. Jadi kalau pinjam 1 hari saya cuma harus bayar Rp 100 juta + bunga Rp 33.000. Kalau 5 hari? Ya, tinggal dikalikan saja. O ya, kontrak Pinjaman Rekening Koran ini berlaku 1 tahun dan bisa diperpanjang setiap masa kontrak berakhir,

Begitu tahu ada pinjaman model begini, saya langsung mengajukan dokumen-dokumen yang diminta. Standar sih, ada foto kopi KTP suami istri, Kartu Keluarga (KK), Akta Perusahaan, Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP), Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Surat Keterangan Domisili Usaha (SKDU), NPWP Pribadi, NPWP Perusahaan, rekening tabungan, laporan keuangan perusahaan 3 bulan terakhir dan foto kopi sertifikat rumah yang akan dijadikan agunan.

Setelah menyerahkan semua berkas, pihak bank datang untuk mensurvey tempat usaha saya. Beres urusan survey dan wawancara, giliran orang appraisal datang untuk menilai harga rumah yang saya jadikan agunan. Normalnya seluruh proses tersebut memakan waktu kurang lebih 14 hari kerja. Tapi kayaknya saya lagi sial dapet marketing bank yang lemot banget. Sampai sebulan lebih, pinjaman saya belum ada tanda-tanda bisa dicairkan. Ngaco banget deh..

Saya sebetulnya sudah melihat gelagat jelek ini di awal. Jadi, di minggu ketiga saya bikin plan B dengan mengajukan pinjaman yang sama ke bank lain. Bunganya beda-beda tipis, tapi marketingnya jauh lebih bersemangat membantu dan sangat memudahkan saya. Tapi saya sudah kehilangan banyak waktu gara-gara berurusan dengan marketing lemot di bank pertama.

Mendekati waktu penyerahan barang pesanan yang sudah disepakati, yaitu 6 Desember 2010 lalu, pinjaman saya belum juga cair, padahal saya harus melunasi barang-barang yang saya beli untuk proyek ini. Kalau nggak dibayar, barang nggak dikirim. Nah, kalau barang nggak dikirim-kirim, proyeknya nggak selesai-selesai dan saya nggak bisa-bisa melakukan penagihan. Pusing kan?

Mulailah saya kejar-kejaran dengan uang dan waktu. Di satu sisi saya dikejar tenggat waktu penyerahan barang ke klien, tapi di sisi lain usaha saya mengejar-ngejar uang tunai untuk membeli barang pesanan belum juga membawa hasil. Inilah kenapa di awal tulisan saya bilang saya banyak mengalami kejadian ajaib belakangan ini. Bayangin aja, dalam seminggu terakhir menjelang penyerahan barang, setiap hari saya harus punya uang tunai dalam jumlah besar. Tanggal 30 November ‘10 Rp 30 juta, besoknya Rp 59 juta, lusanya Rp 28 juta, dan besoknya lagi Rp 16 juta.. semuanya dalam jumlah besar dan harus ada hanya dalam waktu 1 minggu!

Saya menggadaikan apa saja yang bisa digadaikan dengan bunga rendah, mencairkan semua simpanan uang yang bisa dicairkan, dan memaksimalkan penggunaan kartu kredit. Ajaib, setiap kali harus melakukan pembayaran, ada aja uang di tangan sehingga akhirnya semua kewajiban yang mendesak harus segera dipenuhi berhasil saya atasi. Padahal sampai tulisan ini saya buat (13 Desember ’10) Pinjaman Rekening Koran saya belum juga cair karena di bank kedua prosesnya baru jalan 8 hari kerja.

Di postingan saya sebelumnya, saya pernah menulis tentang pentingnya punya aset. Tapi kejadian kemarin bikin saya sadar kalau punya uang tunai juga penting karena nggak semua aset bisa sewaktu-waktu dicairkan pada saat kita butuh uang tunai. Itu yang bikin saya tetap melanjutkan proses pengajuan Pinjaman Rekening Koran, meskipun untuk saat ini bisa dibilang masalah keuangan saya sudah teratasi. Terus kalau Pinjaman Rekening Korannya cair mau buat apa dong? Hehe.. saya udah mulai mikir-mikir, pengen bikin usaha apa lagi yaa.. Asal yakin keuntungannya lebih dari 12% setahun, boleh juga dicoba kan? Kayaknya saya memang nggak kapok-kapok deh bermain dengan uang meskipun kemarin sempat ngos-ngosan kejar-kejaran dengan uang dan waktu.. ^_^

Selasa, 19 Oktober 2010

JANGAN PERNAH MEREMEHKAN UANG KECIL

Suami saya ngomel-ngomel waktu saya memenuhi teras toko dan studio musik saya dengan dagangan yang menurutnya ‘nggak nyambung’. Ih, di sebelah mana nggak nyambungnya? Biasa aja kali kalau di studio musik jualan makanan ringan, minuman dingin, kopi, mie instan, dan sejenisnya.

“Ini toko dan studio musik, bukan warung sembako,” protesnya waktu melihat saya memberi instruksi ke pegawai toko untuk membersihkan etalase kecil yang kami beli di awal-awal buka toko alat musik dulu. Berhubung pernak-pernik alat musik yang kami jual sudah makin banyak dan nggak muat lagi di etalase itu, suami memutuskan membeli etalase baru yang lebih besar. Akibatnya etalase kecil itu sudah beberapa hari dibiarkan menganggur. Sayang kan udah dibeli mahal-mahal?

Saya diam saja, sibuk mengeluarkan aneka snack yang baru saya beli sambil lewat waktu mau berangkat kerja. “Yang kayak gini dijual Rp 3.000-an ya. Kalau yang gini-gini Rp 1.000. Nah, kalau yang ini dijual Rp 500 aja,” ujar saya, menjelaskan harga-harga barang dagangan ke pegawai.

“Tuh, apalagi harganya cuma gopek. Ngeribet-ribetin, bikin capek yang jualan aja. Untungnya pasti nggak seberapa, orang harganya aja cuma lima ratus perak,” Suami mulai protes lagi. Saya cuek aja. Cuma senyum-senyum doang, tapi tetap melanjutkan perjuangan dibantu pegawai yang kayaknya mulai bingung menentukan arah dan tujuan –mau memihak bos yang mana nih, saya atau suami?…^_^

Buat orang lain (bahkan buat suami yang sudah mendampingi saya hampir 10 tahun :p) mungkin apa yang saya lakukan kelihatan kurang kerjaan banget. Ngapain capek-capek jualan snack harga Rp 500, padahal saya punya usaha penerbitan majalah, toko alat musik, dan rental studio yang keuntungannya sudah pasti jauuuh di atas harga snack dan minuman? Apa masih kurang penghasilan dari jual majalah, alat musik, dan menyewakan studio musik? Hehe.. masalahnya bukan di situ. Saya cuma paling nggak bisa menyia-nyiakan peluang, sekecil apa pun itu.

Sejak buka studio rental, saya memang sudah bercita-cita pengen bikin warung kecil-kecilan di halaman studio dan toko yang kebetulan bertempat di satu lokasi (baca; di satu rumah). Saya mikirnya sederhana aja; orang kalau habis latihan atau nunggu giliran main di studio pasti ada aja yang haus, lapar, atau minimal pengen ngemil. Sementara di sekitar studio dan toko saya -yang letaknya di dalam komplek- sama sekali nggak ada warung. Harus jalan dulu kira-kira 100 meter, baru deh nemu mini market. Kalau udah keburu haus, orang pasti malas dong harus jalan jauh dulu cuma untuk beli sebotol minuman dingin. Bawa bekal dari rumah sebelum berangkat latihan band? Ah, kayaknya itu bukan tipikal anak band banget deh.

Tadinya sempat mau beli kulkas sendiri untuk diisiin minuman dingin. Tapi waktu lagi ngantri di dokter gigi, saya ngeliat di tempat praktek dokter gigi langganan saya itu ada kulkas besar bergambar salah satu produk soft drink ternama, sebut saja merknya ‘Colak-Colek’. Iseng-iseng saya nanya ke mbak asisten dokter gigi, gimana sih caranya biar bisa dapat kulkas kayak gitu. Saya lalu dikasih nomer telepon sales ‘Colak-Colek’, dan bukan saya namanya kalau nggak langsung menelepon si sales begitu sampai di rumah..:-p

Ternyata kerja sama yang ditawarkan pihak ‘Colak-Colek’ cukup menguntungkan. Mereka akan meletakkan kulkas di tempat usaha saya, lalu secara berkala akan mengisinya dengan berbagai minuman ringan yang masih satu pabrik sama si ‘Colak-Colek’ itu. Tentunya saya dapat keuntungan dari setiap botol minuman yang berhasil saya jual. Kalau kulkas rusak, bermasalah, atau perlu di-service, tinggal telepon aja, teknisi ‘Colak-Colek’ yang akan mengurusnya. Kulkas hilang juga bukan tanggung jawab saya –sepanjang nggak dengan sengaja saya jual :p- padahal itu kulkas bakal saya taruh di teras rumah (bukan di dalam rumah) biar lebih menggoda iman orang yang datang ke toko saya untuk membeli minuman dingin di dalamnya (kalau diumpetin di dalam rumah, siapa yang tahu saya jualan minuman?).

“Nggak ada, Bu, yang mau iseng nyolong kulkas 2 pintu ini. Berat banget.. lagian bisa keburu kepergok satpam kalau nekat gotong-gotong barang segede ini..” ujar sales ‘Colak-Colek’ yang kebetulan namanya sama dengan salah seorang pegawai toko saya *informasi nggak penting * :-D.

Enak kaaan… nggak perlu beli kulkas? Keuntungan lain, saya nggak perlu repot-repot belanja minuman setiap kali stock menipis. Kan sales ‘Colak-Colek’ akan rutin berkunjung untuk mengecek dan mengisi kulkas titipannya itu. Memang sih harus bayar di muka untuk setiap minuman yang diisikan ke kulkas. Tapi kan sama aja, punya kulkas sendiri juga saya harus modalin isinya duluan. Plus modalin buat beli kulkasnya lagi!

Minuman udah ada, saya mulai celamitan jualan snack dan teman-temannya. Mungkin ada yang mikir, ‘Semangat amat jualan gitu doang. Emang berapa sih untungnya?’ Jangan salah. Untungnya mungkin memang nggak seberapa. Tapi saya berprinsip jangan pernah meremehkan uang kecil. Keuntungan jual minuman 1 botolnya kurang lebih Rp 1.000, misalnya. Kalau sehari rata-rata laku 15 botol, kan sudah dapat keuntungan Rp 15.000 tuh. Sebulan total keuntungan jadi Rp 450.000. Lumayan kan buat tambah-tambah bayar listrik atau telepon? Padahal kalau toko dan studio rame, pasti penjualannya bisa lebih dari 15 botol. Kalo nggak rame? Idih, kok belom-belom udah mikir jeleknya duluan sih… Harus yakin dan optimis dong kalau mau usaha! ^_^

Begitu juga jual snack. Mungkin saya cuma dapat keuntungan beberapa ratus rupiah untuk 1 bungkus snack yang terjual (kalau yang harganya Rp 500, keuntungannya malah cuma beberapa puluh rupiah). Tapi kalau sehari bisa laku banyak kan tetep aja judulnya uang masuk. Saya percaya, sesedikit apa pun uang, kalau dikumpulkan dengan tekun pasti lama-lama jadi banyak. Saya sudah membuktikannya kok.

Di awal-awal terbit, dua majalah saya, Mr. G dan G2 saya jual seharga Rp 3.000. Rabat yang saya kasih ke agen rata-rata 30%, berarti saya tinggal mengantongi Rp 2.100 per majalah. Itu belum dipotong biaya produksi, operasional kantor, gaji karyawan, dan masih menanggung resiko barang retur kalau nggak laku. Bersih-bersihnya, keuntungan saya nggak nyampe lima ratus rupiah per majalah yang laku terjual. Tipis banget kan? Tapi dengan tekun mengumpulkan keuntungan yang nggak seberapa itu, ternyata saya bisa juga tuh beli beberapa rumah dan mobil. Jadi sekali lagi, jangan pernah meremehkan uang kecil karena kalau dikumpul-kumpulkan uang kecil bisa juga jadi besar.

Lagipula terlepas dari berapa pun keuntungannya, jualan snack dan minuman itu sebetulnya cuma nilai tambah untuk toko dan studio musik saya. Pelanggan yang datang ke toko dan studio nggak perlu repot-repot lari ke mini market terdekat cuma untuk beli minum (begitu balik lagi ke studio untuk nerusin latihan, keburu udah haus lagi :-D). Untuk itu toh saya juga nggak harus mengeluarkan usaha ekstra keras. Pembeli warung bisa dilayani oleh pegawai toko atau studio karena nggak setiap saat mereka melayani pembeli alat musik atau penyewa studio. Belanja barang dagangan juga bisa saya lakukan sambil lewat waktu mau berangkat ke toko.

Kalau yang beli makin rame bisa keteteran dong warungnya? Ya, kalau memang nantinya warung saya ramenya nggak karuan, sampai nggak tertangani lagi sama pegawai toko dan studio, berarti keuntungannya juga udah lebih banyak lagi dong.. Tinggal tambah aja pegawai khusus untuk melayani warung, beres deh.. :-)

Lama-lama, setelah melihat ada juga orang yang tergoda beli dagangan saya, suami mulai bisa menerima kenyataan dan pasrah membiarkan saya jualan barang yang menurutnya ‘nggak nyambung’ itu. “Nggak sekalian jualan sabun sama shampoo? Kali-kali aja ada orang abis beli gitar jadi pengen keramas.” Dia mulai bisa ngeledekin saya. “Asal jangan nekat jualan pembalut wanita lho!” ancamnya. Hahaha..

Jumat, 08 Oktober 2010

PENTINGNYA PUNYA ASET

Beberapa waktu lalu nggak sengaja saya ketemu salah seorang teman masa kecil saya. Kondisinya cukup ‘mengharukan’; ia sedang menenteng keranjang plastik berukuran sedang, berjualan makanan dengan cara berkeliling dari satu perumahan ke perumahan lain.

Saya sering melihat orang berjualan makanan dengan cara seperti itu, tapi nggak pernah seterharu ini. Soalnya, seingat saya –sebut saja namanya Alex- berasal dari keluarga yang cukup berada. Bapak ibunya adalah pengusaha restoran yang cukup sukses. Keluarga ini juga buka toko pakaian di beberapa tempat, yang masing-masing terbilang cukup laris dikunjungi pembeli. Dari kecil Alex dan adik-adiknya sudah dillibatkan dalam usaha milik orang tua mereka. Semua anggota keluarga itu ikut terjun langsung di tempat usaha, mulai dari melayani pembeli sampai mengontrol makanan yang disajikan untuk pelanggan. Dan setelah dewasa, masing-masing anak diberi jatah untuk melanjutkan usaha, seorang satu. Ada yang kebagian mengelola toko dan ada yang mewarisi usaha rumah makan yang semuanya sudah berjalan. Tinggal nerusin doang. Enak banget kan?

Tapi entah bagaimana ceritanya, usaha yang susah payah dirintis oleh orang tua Alex tersebut rontok satu per satu saat dipegang oleh generasi kedua (Alex dan adik-adiknya). Dan jadilah Alex –bekas pengusaha rumah makan dengan banyak karyawan- sekarang luntang-lantung keluar masuk perumahan menjajakan makanan untuk mencari sesuap nasi demi menghidupi keluarganya. Yang lebih tragis, salah satu adik Alex sekarang bekerja jadi tukang masak di salah satu restoran yang dulu milik keluarganya sendiri.

Pertemuan dengan Alex mengajarkan saya banyak hal. Salah satunya, ternyata punya orang tua pengusaha bukan jaminan seseorang bakal sukses jadi pengusaha juga. Soalnya untuk jadi pengusaha dibutuhkan naluri, bakat, jiwa dan keahlian tersendiri yang nggak selalu bisa diwariskan -meskipun pada kenyataannya nggak sedikit juga pengusaha yang sukses mendidik generasi penerusnya menjadi pengusaha yang lebih hebat daripada dirinya.

Pelajaran kedua yang saya dapat –dan ini yang penting menurut saya- jadi pengusaha ternyata harus punya aset. Dari cerita Alex saya baru tahu kalau orang tuanya sama sekali tidak memiliki sendiri bangunan toko atau rumah makan yang dijadikan tempat usaha. Semuanya nyewa, bahkan ketika usaha itu berkembang semakin besar. Saat memperoleh keuntungan, si bapak sibuk membuka cabang baru tapi nggak pernah menginvestasikan uangnya dalam bentuk rumah, toko, kendaraan, dan sejenisnya. Anak-anaknya pun nggak pernah kepikiran ke situ karena selama ini usaha mereka aman-aman saja meskipun tempatnya cuma nyewa. Tapi namanya usaha kan nggak selamanya untung dan menghasilkan. Ada saatnya pasang, ada saatnya surut, dan ada kalanya badai datang mengombang-ambingkan ‘perahu usaha’ yang sedang tenang-tenang dijalankan. Badai ini bisa berupa krismon, trend pasar yang berubah, atau kondisi-kondisi yang terjadi di luar kuasa kita.

Saya pun pernah mengalaminya. Untungnya, di saat usaha lagi terang benderang menguntungkan, saya selalu ingat untuk menabung dan berivestasi –menyiapkan ‘bekal’ untuk bertahan saat cuaca tiba-tiba berubah buruk. Jadi, ketika badai datang dan hampir menenggelamkan ‘perahu usaha’, saya bisa buru-buru melakukan upaya penyelamatan. Menggadaikan atau bahkan menjual aset yang saya punya, misalnya. Bayangkan kalau sama sekali nggak punya simpanan. Pasti lebih sulit menata ulang usaha yang lagi ancur-ancuran tanpa aset yang bisa digadaikan, tanpa uang tunai di tangan.

Mungkin sebagian orang menganggap nggak penting punya aset. Daripada jadi harta tak bergerak dalam bentuk rumah, lebih baik uang diputar untuk mengembangkan usaha, toh tempat dan mobil untuk menjalankan usaha bisa disewa. Sempat juga tuh saya tergoda pengen menerapkan ilmu itu. Tapi pertemuan dengan Alex mengingatkan saya agar tetap mempertahankan aset yang saya punya, sebagai tabungan agar di masa-masa sulit saya masih mampu bertahan.

Punya aset juga berguna waktu saya mau cari pinjaman ke bank, entah untuk beli rumah lagi atau untuk mengembangkan usaha. Karena punya beberapa aset yang bernilai investasi, saya jadi nggak keliatan miskin-miskin amat. Ada harta yang bisa dijadikan jaminan. Bank pun lebih yakin untuk ngasih pinjaman. Maklum, saya kelasnya masih pengusaha kecil-kecilan. Jadi, mau ngutang pun harus kelihatan cukup meyakinkan biar bank percaya ngasih pinjaman hahaha…

Senin, 27 September 2010

UANG BUKAN SEGALA-GALANYA MESKIPUN SEGALA-GALANYA BUTUH UANG

Dari awal tulisan, saya memang terus-terusan membahas tentang uang. Ya nama blog-nya juga bermain dengan uang. Nggak salah dong kalau isinya seputar pengalaman saya mengelola dan memaknai uang. Tapi bukan berarti saya mendewa-dewakan uang. Bukan berarti saya memuja uang setengah mati karena pengalaman mengajarkan pada saya bahwa ada hal-hal lain yang lebih berharga di dunia ini daripada sekadar benda bernama uang.

Jaman remaja kinyis-kinyis dulu, saya masih naïf menganggap kebahagiaan dan kesuksesan seseorang diukur dari seberapa banyak uang atau harta yang dimilikinya. Saya melihat seseorang hebat dan sukses kalau rumahnya megah, mobilnya mewah, dan uangnya melimpah. Maka ada saatnya saya begitu ngotot mengejar uang. Rela jungkir balik siang malam dalam upaya memburu uang, sehingga tanpa sadar mengesampingkan hal-hal lain. Apalagi dalam perjalanan waktu saya sering ‘digoda’ banyak peluang dan kesempatan untuk memperoleh uang lebih banyak lagi. Nggak jarang peluang itu secara bersamaan melintas-lintas di depan mata, memancing saya untuk terus menerus mengejarnya sampai lupa waktu, lupa kalau saya punya sesuatu yang jauh lebih berharga untuk diperhatikan. Keluarga, kesehatan, dan persahabatan hanyalah beberapa contohnya.

Bertambahnya usia mengubah cara pandang saya. Tapi pengalaman jatuh bangun jadi pengusahalah yang kemudian membentuk pola pikir saya, mendewasakan saya dalam hal memaknai uang. Harus diakui, mengelola usaha sendiri membuat saya memiliki banyak kesempatan dan pengalaman untuk bermain-main dengan uang dengan segala suka dukanya, dengan segala resikonya, yang sedikit banyak menempa mental dan karakter saya. Pengalaman itu membawa saya pada satu kesadaran baru tentang cara memaknai uang. Ternyata uang bukan segala-galanya di dunia ini, meskipun segala-galanya di dunia ini butuh uang. Punya harta yang nggak habis dimakan tujuh turunan kalau hati nggak tenteram sama aja bohong. Punya rumah di tiap tikungan jalan kalau sakit-sakitan juga nggak ada nikmat-nikmatnya. Banyak uang tapi bahkan nggak punya waktu untuk membelanjakannya, apa serunya?

Bukan berarti juga uang nggak punya peran penting dalam menentukan kebahagiaan kita. Saya jadi ingat ada ungkapan yang mengatakan ‘uang nggak bisa membeli kebahagiaan’. Dalam beberapa hal saya kurang setuju dengan ungkapan itu. Menurut saya, uang bisa juga kok membeli sesuatu hal yang membuat kita bahagia. Saya hobi liburan sekeluarga ke tempat-tempat yang pemandangannya indah, senang berburu makanan enak di tempat-tempat yang saya kunjungi, bahagia kalau bisa membelikan kado untuk orang-orang tercinta, menikmati kegiatan memanjakan diri di salon dan banyak lagi... Semua kesenangan itu saya tukar dengan uang kan? Jadi, nggak sepenuhnya benar kita nggak bisa membeli kebahagiaan dengan uang. Tapi salah kalau kita menggantungkan kebahagiaan pada uang.

Saya bersyukur saat ini saya sampai pada satu pemahaman bahwa dengan atau tanpa uang ternyata saya bisa bahagia. Uang hanyalah salah satu alat yang bisa membuat saya bahagia, tapi bukan faktor utama penentu kebahagiaan saya. Bangun pagi dalam keadaan sehat dan segar bugar saja sudah menjadi alasan yang lebih dari cukup bagi saya untuk merasa bahagia, dan itu adalah kebahagiaan yang tak terbeli dengan uang. Bisa meluangkan banyak waktu untuk berkumpul dan bercanda tawa dengan keluarga juga merupakan anugerah luar biasa yang tak henti-hentinya saya syukuri –lagi-lagi itu nggak bisa ditukar dengan uang. Saya juga nggak bisa membeli sahabat-sahabat terbaik yang tulus menyayangi saya apa adanya.

Banyak kok hal sederhana, yang bahkan nggak membutuhkan campur tangan uang, yang bisa membuat kita bahagia. Tapi ya kembali ke diri kita sendiri juga. Uang bisa sangat menguasai hidup kita atau sebaliknya, semua tergantung dari bagaimana kita memaknai dan memanfaatkannya. Yaelaaah.. ujung-ujungnya balik ke situ-situ juga... :-p

Sabtu, 25 September 2010

DARI DULU JUGA SAYA SUDAH KAYA! ^_^

Mungkin banyak yang menuduh saya sombong waktu baca judul di atas. Hehe… saya nggak bermaksud begitu lho.. Makanya baca dulu sampai selesai biar nggak ketipu judulnya doang.. :-D

Beberapa waktu lalu saya ketemu seorang teman yang sudah lamaaa banget hilang dari peredaran. Nggak jelas juga sih yang hilang dari peredaran sebetulnya saya atau dia. Yang pasti kami lama nggak ketemu, nggak saling berhubungan, meskipun ternyata sama-sama tinggal di satu kota.

“Sekarang kamu udah kaya ya,” komentarnya saat main ke kantor saya.

“Kaya diukur dari apanya dulu nih?” Saya balik bertanya.

Dibandingkan sepuluh tahun yang lalu, dilihat secara kasat mata hidup saya sekarang mungkin bisa dibilang lebih mapan. Punya beberapa rumah (biarpun kecil-kecil), beberapa mobil (meskipun bukan mobil mewah keluaran tahun terbaru), dan beberapa usaha (walaupun masih jatuh bangun kayak judul lagu dangdut :p). Beda banget sama sepuluh tahun lalu, jaman saya masih tinggal di rumah mungil di sebuah gank sempit di daerah Mampang, Jakarta Selatan. Waktu itu rumah aja masih ngontrak, kerja masih serabutan dan kemana-mana masih naik sepeda motor butut.

Tapi sejujurnya, bahkan pada saat itu pun saya sudah merasa kaya. Soalnya saya selalu mensyukuri segala sesuatu yang saya punya, apa pun bentuknya. Saya percaya, sekecil apa pun sesuatu yang kita miliki, kalau kita syukuri pasti membuat kita puas memilikinya, Tapi sebesar apa pun, kalau nggak disyukuri ya tetap saja rasanya kurang dan nggak bikin kita bahagia.. Satu hal lagi, dari dulu sampai sekarang yang membuat saya merasa kaya bukanlah berapa banyak uang yang saya punya, tapi bagaimana uang tersebut –berapa pun jumlahnya- cukup untuk saya. Dan untungnya dari dulu saya sadar, itu tergantung dari bagaimana saya memaknai dan mengelolanya (teteeep.. baliknya ke situ-situ lagi.. :-p). Saya menyebut kegiatan mengelola dan memutar uang itu bermain; bermain dengan uang.

Dalam kehidupan sehari-hari, saya melihat banyak orang berusaha mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Nggak salah sih, karena untuk hidup kita memang butuh uang. Tapi sayangnya banyak orang sering terjebak dalam pemikiran bahwa seseorang bisa disebut kaya kalau ia punya cukup banyak uang, banyak harta. Padahal menurut saya, orang yang banyak uang belum tentu kaya. Kok bisa?

Iya dong. Contoh aja nih, seseorang dengan penghasilan Rp 15 juta sebulan, mana bisa dibilang kaya kalau pengeluaran bulanannya Rp 17 juta, misalnya. Yang ada tiap bulan dia harus nombok 2 juta. Sebaliknya, seseorang yang cuma berpenghasilan 3 juta tapi pengeluarannya 2,5 juta dan bisa menabung sisanya, menurut saya lebih bisa dibilang kaya. Hidupnya pasti lebih aman-tentram-damai-sejahtera dibandingkan dengan orang berpenghasilan besar yang selalu nombok setiap bulannya.

Kaya menurut saya adalah apabila pengeluaran saya tidak lebih besar daripada pemasukkan. Sekali lagi, bukan besarnya uang yang membuat saya kaya, tapi bagaimana saya memaknai dan mengelolanya. Kalau uang yang saya punya cuma sedikit, berarti saya harus pintar-pintar mengatur pengeluaran sedemikian rupa biar cukup buat biaya hidup sehari-hari dan menambah tabungan. Kalau kebetulan uangnya banyak, justru seharusnya ada lebih banyak juga yang bisa disisihkan untuk ditabung, bukan malah habis semua untuk biaya hidup sehari-hari, bahkan kurang. Nah, saat semua kebutuhan hidup bisa tercukupi dari uang yang saya punya, saya merasa diri saya kaya dan sejahtera meskipun mungkin tercukupi dalam artian sederhana, nggak berlebihan. Di sinilah saya harus mampu menentukan prioritas secara benar, mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan.

Saya bersyukur atas apa yang saya miliki dan selalu berusaha mencukup-cukupkan kebutuhan hidup dengan uang yang saya punya. Tapi bukan berarti saya cepat puas dan jadi nggak berambisi untuk mengumpulkan uang lebih dan lebih banyak lagi lho. Sepanjang ada peluang dan kesempatan untuk membuat uang berkembang, nggak usah ditanya deh.. semangat saya tetap menyala-nyala untuk mencoba bermain dengan segala resikonya. Belakangan saya sadar, tujuan utama saya bermain dengan uang ternyata bukan untuk mempunyai uang sebanyak-banyaknya. Saya menikmati permainannya, menyukai proses bermainnya. Kalau kegiatan tersebut ternyata membuat uang saya beranak pinak, ya saya menganggapnya sebagai bonus. Kalau ternyata malah bikin uang saya berkurang? Tetap bersyukur dong. Setidaknya saya sudah merasakan kesenangan saat bermain-main dengan uang. Nggak semua orang punya keberanian dan kesempatan seperti saya kan? ^_^

Kombinasi antara selalu bersyukur serta menikmati setiap proses dalam bermain dan mengelola uang itulah yang membuat saya merasa kaya, bahkan sebelum saya punya apa-apa yang bagi sebagian orang merupakan simbol kekayaan dan kemapanan. Kembali ke percakapan dengan teman lama saya, makna kaya buat tiap-tiap orang tentu beda-beda ukurannya. Buktinya, ada juga tuh kenalan saya yang belum juga merasa kaya meskipun di mata saya mereka sebetulnya sudah berkecukupan secara materi. Rumah punya, mobil ada, pekerjaan dan jabatan yang mapan juga sudah di dalam genggaman. Tapi kenapa masih merasa belum kaya?

“Punya rumah tapi kecil, punya mobil juga masih nyicil, jabatan tinggi tapi kan masih kerja sama orang. Padahal gue udah kerja keras banting tulang, dapetnya cuma segitu-segitu aja,” keluh kenalan saya itu.

Walah, itu sih namanya kurang bersyukur.. :-D

Jumat, 30 Juli 2010

BUANG UANG UNTUK BIKIN MESIN UANG

Beberapa minggu terakhir ini adalah hari-hari super sibuk buat saya. Sibuk ngapain? Ehm, saya lagi sibuk 'buang-buang' uang! :-D

Mungkin ada yang langsung komentar, 'sombong amat uang dibuang-buang!'. Ups, tunggu dulu! Saya nggak sembarangan buang uang untuk hal-hal yang nggak penting. Sebaliknya, saya justru lagi banyak membuang uang untuk bikin mesin uang. Ya, saya lagi bikin usaha baru lagi.

Saya memang banyak maunya. Punya 4 majalah musik dan toko alat musik nggak membuat saya cepat puas. Saya masih menyimpan keinginan untuk buka rental studio dan kursus musik. (Sebuah keinginan yang agak aneh mengingat sampai saat ini saya belum juga bisa memainkan alat musik ^_^) Banyak orang punya usaha rental studio, majalah musik, kursus musik atau toko alat musik. Tapi kayaknya masih jarang (atau malah belum ada?) yang sekaligus menggabungkan empat-empatnya. Saya sudah punya majalah musik dan toko alat musik, kalau sekalian buka studio rental dan kursus musik pasti sip markusip. Promonya bisa bareng dan saling mendukung. Event majalah bisa melibatkan toko, studio dan orang-orang yang kursus musik di tempat saya. Sebaliknya, promo toko, studio, dan tempat kursus bisa dimuat di majalah. Cihuy banget kan?

Nah, proses membangun usaha baru inilah yang membuat saya banyak 'buang-buang uang'. Soalnya jenis usaha yang saya pilih saat ini memang membutuhkan modal uang, meskipun dengan berbagai cara saya sudah berusaha banget untuk menekan pengeluaran. Ya, beginilah kalau pengusaha banyak maunya tapi modal pas-pasan.. :-p

Bikin studio rental, yang saya butuhkan pertama kali tentu saja ruangan untuk disulap jadi studio. Ternyata semua ruangan di rumah yang saya sewa untuk dijadikan toko sekaligus kantor majalah sudah penuh sesak. Terpaksa deh saya nyewa satu rumah lagi di dekat-dekat toko untuk mengungsikan kantor majalah. Bayar sewanya pake apa? Ya, pake duit dooong.. *buang duit jilid satu*

Rumah baru yang saya sewa ternyata nggak ada AC dan sambungan internetnya. Padahal kalau nggak ada AC dan sambungan internet, karyawan majalah saya nggak bisa kerja dengan maksimal. Nggak mungkin kan mereka dimodalin kipas satu-satu plus duit lima rebu perak buat ngenet di warnet? Mau nggak mau saya harus beli AC, pasang sambungan internet, dan belakangan nambah beli dispenser juga untuk kantor baru.. *buang duit jilid dua*

Kantor redaksi udah aman. Gimana dengan studio impian? Setelah ada ruangannya, saya harus pasang peredam ruangan biar nggak dipelototin tetangga sekitar. Tentunya juga biar yang nyewa studio saya merasa nyaman. Mulailah saya mencari tukang untuk membuat peredam ruangan dan menyiapkan alat-alat yang dibutuhkan seperti triplek, glass wool, gypsum, karpet, dan kawan-kawannya. Bayar tukang dan beli alat-alat pake apaaaa? Yak, pinter.. pake duit! *buang duit jilid tiga*

Urusan peredam ruangan sudah beres, sekarang waktunya mengisi studio dengan alat-alat band seperti gitar, bass, ampli, drum, mike, mixer dll. Oh ya, jangan lupa penjaga studionya! Saya merekrut seorang karyawan lagi, khusus untuk menjaga studio. Pengeluaran yang lumayan besar. Apanya yang dikeluarin? Duit, tentu saja! *buang duit jilid empat*

Kalau toko dan studio jalan, pasti bakalan banyak orang datang ke tempat saya dong. saya langsung kepikiran buka kantin kecil-kecilan di halaman toko dan studio. Rencananya sih pengen jualan makanan dan minuman ringan buat tambah-tambahan pemasukan. Modalnya nggak gede kok. Tinggal siapin meja, kursi, etalase dan pernak-pernik lainnya. Tapi sekecil-kecilnya modal yang harus dikeluarkan, tetep aja namanya duit.. *buang duit jilid lima*

Baru beres ngurusin studio rental, saya sudah ngos-ngosan nggak punya uang. Gimana kursus musiknya? Kayaknya saya harus bersabar nih. Sekarang saatnya membuat mesin uang saya nyetak uang dulu, baru nanti 'buang-buang uang' lagi. Nggak ada ruginya kok buang uang kalau untuk bikin mesin uang. Soalnya, mesin uang yang saya bikin -seharusnya- bisa menghasilkan uang lebih banyak lagi daripada yang sudah saya buang untuk membuatnya. Itulah asyiknya bermain dengan uang yang selalu bikin saya ketagihan. Wah, jadi nggak sabar deh nunggu mesin uangnya menghasilkan uang... :-D

Kamis, 01 Juli 2010

PENGEN PUNYA RUMAH? HARUS NIAT DAN SEDIKIT NEKAT! :-D

“Pengen punya rumah sendiri, tapi mau beli belum mampu,” curhat salah seorang teman saya suatu ketika. Padahal saya tahu banget, saat itu penghasilannya hampir dua kali lipat penghasilan saya. Jadi kenapa saya mampu beli rumah sementara teman saya nggak? Jawabannya sederhana banget; tergantung niat!

Beli rumah memang harus diniatin. Nggak bisa cuma sekadar kepengen, sekadar jadi wacana yang tersimpan rapi di dalam hati dan pikiran atau diucapkan saja berulang-ulang. Kalau begitu doang sampai sariawanan juga nggak punya-punya rumah dong..^_^ Kita harus mulai melakukan tindakan nyata untuk mewujudkan impian punya rumah. Dan sebetulnya itu bukan hal yang sangat sulit, asal ya itu tadi; niat. Kalau cuma pengen doang tapi nggak niat ya repot.

Seperti teman saya tadi. Ia mampu makan di resto setiap waktu, sanggup bayar biaya perawatan tubuh di salon mahal, beli baju, parfum, tas dan sepatu bermerk, liburan ke luar kota, dan lain-lain tapi ngakunya nggak mampu beli rumah. Walah, itu sih namanya bukan nggak mampu, tapi memang nggak menjadikan rumah sebagai prioritas yang harus dibeli.. ^_^

Waktu memutuskan untuk beli rumah, saya menggeser semua kebutuhan yang lain agar bisa menabung untuk DP rumah. Saya rela ‘puasa’ beli barang-barang tertentu selama ‘masa perjuangan’ itu. Kalau sebelumnya sebulan saya bisa 4 kali beli baju, setelah niat beli rumah saya kurangi jadi cuma satu kali saja. Tadinya hobi jajan di restoran, demi mewujudkan impian beli rumah untuk sementara waktu saya menarik diri dari peredaran di sekitar mall dan resto. Jadwal liburan ke luar kota saya coret, diganti dengan liburan di dekat-dekat rumah yang murah meriah. Saya juga menjauhi hal-hal yang sekiranya bisa menggoyahkan niat saya untuk menabung dan terus menerus menanamkan niat di benak saya bahwa saya melakukan semua itu biar bisa beli rumah.

Satu hal yang saya yakini sejak awal, kalau kita sudah niat pengen punya rumah, pasti ada aja jalannya untuk mewujudkannya. Banyak orang berpikir, ‘Ah gaji saya kan cuma segini, sementara kalau mau beli rumah harga sekian harus menyisihkan sekian juta buat bayar cicilan.. kayaknya belum mampu beli rumah sekarang.. nanti aja deh, nunggu kalau udah siap.’ Berdasarkan pengalaman saya, kalau nggak nekat kita nggak bakal pernah merasa siap beli rumah. Tapi punya uang sedikit, kalau kita niat dan nekat pasti kita bisa beli rumah, asal sesuai budget dan kemampuan. Misalnya aja nih, punya tabungan Rp 20 juta dan penghasilan cuma Rp 5 juta sebulan.. ya jangan nekat pengen beli rumah yang harganya Rp 700 juta yang DP-nya Rp 140 juta sendiri. Itu namanya bukan nekat lagi, tapi ngawur! ^_^

Menabung doang tapi nggak buru-buru dibelikan rumah dengan alasan jumlahnya belum cukup juga bukan ide yang baik. Saat tabungan kita bertambah, harga rumah keburu naik. Sampai jenggotan nabung, uang kita nggak akan pernah cukup untuk beli rumah secara tunai. Itulah gunanya ada fasilitas KPR (Kredit Pemilikan Rumah) yang disediakan oleh banyak bank. Manfaatin aja!:-p

Kalau pengen kredit rumah, rajin-rajinlah baca brosur yang berisi syarat-syarat menggunakan fasilitas KPR yang biasanya disediakan oleh bank. Jangan cuma ngisi TTS sambil berharap menang undian doang. Kelamaan! Satu lagi, sering-seringlah melihat-lihat rumah yang lagi kita incar. Pengalaman saya sih dengan sering melihat rumah impian, niat dan tekad kita untuk segera membeli jadi semakin terpacu. Dan -sekali lagi- kalau udah niat dan nekat pengen punya rumah, pasti adaaaa aja jalannya untuk mewujudkannya.

Kalau niat kita masih setengah-setengah, masih angin-anginan antara pengen beli rumah atau memuaskan hasrat untuk membeli barang-barang lain, impian punya rumah sendiri pasti jadi terasa jauuuuh banget dari jangkauan. Niat mau beli rumah, tapi tiap ngelewatin deretan barang yang lagi di-SALE di mall hati kebat-kebit dan nggak bisa menahan godaan untuk membeli, bobol deh tuh tabungan yang udah susah payah dikumpulin untuk DP rumah. ‘Ah, beli baju kan cuma beberapa ratus ribu, nggak ngaruh kali kalau tabungan dikurangin segitu..’ Mungkin pernah punya pikiran seperti itu? Jangan salah! Kita menabung dari beberapa puluh ribu yang dikumpulkan sedikit demi sedikit jadi beberapa juta, lalu beberapa puluh juta. Kalau belum apa-apa dikurangin beberapa ratus ribu ya nggak banyak-banyak. Jangan meremehkan uang kecil. Bahkan uang satu juta pun nggak genap kalau kurang –contoh aja nih- seratus perak. Apalagi dua puluh juta, kurang seratus ribu ya nggak dua puluh juta lagi namanya.

Dengan nekat memberanikan diri beli rumah, meskipun kemampuan finansial saya pas-pasan, sebetulnya saya sedang membalik pola pikir saya. Saya nggak berjuang untuk sesuatu yang gampang dulu. Saya justru memulai dengan menaklukan yang sulit dulu, baru yang gampang-gampang diurus belakangan; saya berusaha membeli barang-barang besar (rumah) dulu, baru kemudian membeli barang-barang kecil (sofa, lemari baju, meja makan, karpet, sepatu, tas, pernak-pernik rumah, dan sebagainya). Kalau kita sudah pernah bisa membeli barang yang harganya ratusan juta rupiah, berikutnya kita akan lebih gampang membeli barang yang harganya beberapa juta rupiah, apalagi 'cuma' beberapa ratus ribu rupiah. Setelah kita terbiasa bermain dengan uang ratusan juta, uang beberapa ratus ribu atau beberapa puluh juta jadi terasa lebih mudah diatasi. Sebaliknya kalau kita masih terus berkutat dengan uang kecil, kita harus punya keberanian lebih untuk mulai berpikir tentang uang besar, dan itu jauh lebih sulit dilakukan saat usia kita semakin bertambah dan produktivitas semakin menurun.

“Tapi saya hobi jalan-jalan keluar negeri,” ujar teman saya yang lain, yang mengaku belum juga sukses beli rumah padahal setahun bisa 2-3 kali melancong keluar negeri.

Ya, terserah. Itu kan pilihan masing-masing orang. Tiap-tiap orang punya minat dan prioritas yang berbeda-beda. Ada yang hobinya koleksi baju, ada yang menemukan kebahagiaan dengan keliling dunia, ada yang kepuasan batinnya kalau bisa membiayai sekolah adik-adiknya, ada juga yang baru merasa hidupnya lengkap kalau udah punya mobil atau rumah sendiri, dan sebagainya. Saya menghormati pilihan masing-masing orang dan nggak pernah merasa pilihan saya untuk mendahulukan punya rumah dibandingkan hal-hal lain adalah pilihan yang paling benar, paling oke. Tapi kalau sudah memilih untuk mengoleksi sesuatu barang yang bikin hampir semua uang tersedot ke sana, ya jangan berkeluh kesah kalau nggak bisa-bisa nabung untuk beli rumah. Kan sudah memilih? :-)

Kamis, 17 Juni 2010

PILIH MANA, DIKIRA KAYA APA DIKIRA MISKIN?

Saya pernah menulis di status facebook saya begini; ‘Mendingan mana, dikira kaya atau dikira miskin?’ Selain menulis di facebook, saya juga sempat melontarkan pertanyaan yang sama ke beberapa teman dan kenalan. Yah, semacam survey kecil-kecilan dalam rangka iseng gitu deeh.. Jawabannya ternyata beragam. Ada yang senang dikira kaya. Nggak sedikit juga memilih dikira miskin. Tapi ada juga lho yang nggak suka dikira-kira.. :-D

Saya pribadi sih nggak terlalu ambil pusing orang mengira saya kaya atau miskin. Toh yang tahu dalemannya saya (dalam hal finansial, maksudnya) cuma saya sendiri. Eh, hampir lupa.. suami juga tahu, tentu saja. Orang luar cuma bisa menduga-duga, cuma bisa menebak-nebak. Dan buat saya nggak terlalu penting tebakkan mereka benar atau salah karena itu sama sekali nggak ada pengaruhnya untuk saya.

Tapi kalau dipaksa memilih, hmmm… gimana ya.. kayaknya saya lebih senang dikira miskin deh daripada dikira kaya. Malah aman-damai-sentosa kan? Maling nggak kepikiran mengincar rumah saya karena mengira saya nggak punya apa-apa (padahal emang iya! :-p). Jalan di tengah keramaian bawa uang tunai puluhan juta rupiah juga nggak ada yang nyangka karena tampang saya nggak kelihatan kaya. Naik turun angkutan kota tenang-tenang aja karena penampilan saya nggak menarik perhatian copet. Takut diremehkan dan dipandang rendah orang lain? Ah, biarin aja. Emang apa ruginya kalau orang memandang rendah kita? Dan apa ada untungnya kalau orang kagum sama kita karena mengira kita kaya? Toh kalau cuma dikira kaya nggak bakal bikin kita bener-bener mendadak kaya, begitu juga sebaliknya. ^_^

Saya jadi ingat pengalaman saat pertama kali beli rumah. Waktu itu saya dan suami datang ke kantor pemasaran yang mentereng dengan mengendarai sepeda motor butut. Habis saat itu memang punyanya cuma itu. Agak lama kami duduk menunggu di kursi tamu kantor pemasaran, belum juga ada marketing yang datang melayani. Ketika akhirnya seorang marketing ‘merelakan diri’ melayani kami, ia menawarkan tipe rumah paling kecil dan paling murah yang dimiliki pengembang perumahan itu.

“Ada yang lebih besar nggak, Mas?” tanya suami saya, sama sekali nggak tertarik dengan tipe rumah yang ditawarkan oleh si marketing.

“Ada, Pak, tapi lebih mahal.”

“Mahalnya seberapa? Saya boleh lihat brosur dan price list-nya?”

Si mas marketing menyerahkan brosur rumah dengan ragu-ragu. Tampangnya rada-rada nggak yakin gitu. Waktu kemudian saya dan suami memutuskan membeli rumah yang harganya 3 kali lipat dari rumah yang ditawarkan pertama kali (yang paling murah itu lho..) wajah dan sikapnya kepada kami langsung berubah total. Ooooo… ternyata tadinya kami dikira miskin.. Sepanjang jalan pulang saya dan suami ketawa-ketawa lepas. Tersinggung? Sama sekali nggak tuh. Biar aja dikira miskin, yang penting kenyataannya kan nggak. Buktinya kami mampu beli rumah yang nggak murah! Lagian kalau beneran miskin memangnya kenapa? Toh saya nggak menyusahkan orang lain, nggak merugikan orang lain, bahkan nggak minta sumbangan atau belas kasihan ke orang yang menganggap saya miskin itu. :-p

Sampai saat ini pun saya dan suami masih suka tampil apa adanya. Kemana-mana cuma pakai celana jeans dan t-shirt. Apalagi di lingkungan kerja, saya lebih banyak bersinggungan dengan orang-orang yang bergelut di dunia musik –sebagian besar laki-laki yang nggak terlalu meributkan penampilan. Musisi papan atas pun banyak kok yang sehari-hari penampilannya sederhana dan biasa-biasa aja, beda dengan saat harus tampil di panggung. Bukan berarti saya cuek banget sama penampilan lho. Lihat-lihat situasi dan kondisi juga. Kalau diundang acara resmi, ya saya berpakaian rapi. Tapi kalau cuma nonton klinik gitar, misalnya, ngapain juga pake gaun malam? Lagi-lagi saya nggak mau terlalu ambil pusing kalau gara-gara penampilan saya yang biasa-biasa saja orang –khususnya yang belum mengenal saya- jadi punya penilaian berbeda pada saat pertama kali melihat saya. Penampilan memang penting, tapi saya percaya pribadi, isi hati, dan pikiran seseorang seutuhnya nggak bisa hanya dinilai dari penampilan luarnya saja. Kan pepatah juga bilang, ‘don’t judge a book by its cover’..

Tapi berdasarkan pengamatan saya, sepertinya banyak orang yang lebih senang dikira kaya. Nggak sedikit orang yang biar kelihatan kaya memaksakan diri menempelkan atribut-atribut mahal untuk mendongkrak citra dirinya. Yang menyedihkan kalau sampai dibela-belain ngutang biar kelihatan seperti orang kaya. Walah walah… Dikira kaya kalau beneran kaya sih nggak apa-apa. Tapi kalau cuma keliatan kaya, cuma pura-pura kaya kan repot. Semua yang ditampilkan palsu dan semu belaka. Demi menjaga sebuah rasa bernama gengsi, orang seringkali nggak sadar telah menjebak dirinya sendiri dalam pusaran permainan yang nggak sekadar menghanyutkan, tapi bisa menenggelamkan. Ibaratnya kemampuan sebetulnya hanya bisa untuk makan di warung nasi sederhana, tapi memaksakan diri nongkrong di resto bintang lima. Kalau sekali-sekali mungkin masih nggak apa-apa. Tapi kalau keterusan, apa nggak ngos-ngosan tuh bayar tagihannya? :-D

Hidup memang penuh dengan pilihan. Begitu juga keputusan untuk lebih suka dikira kaya atau sebaliknya, itu adalah pilihan masing-masing orang dan perbedaan pilihan itulah yang justru membuat hidup yang kita jalani jadi lebih semarak, lebih berwarna. Tapi jujur aja, saya pribadi lebih menaruh respek pada orang yang kelihatannya sederhana padahal kaya raya daripada yang kelihatannya mentereng ternyata nggak ada apa-apanya. Itu kalau menurut saya lho..

Minggu, 06 Juni 2010

LAGI PATAH HATI..

Saya lagi patah hati. Rumah idaman yang saya taksir setengah mati ternyata lepas dari genggaman, Hiks..

Di postingan sebelumnya saya sempat cerita kalau saat ini saya lagi termimpi-mimpi pengen beli rumah seharga Rp 1 milyar. Rumah itu letaknya persis di belakang rumah yang saya sewa saat ini (yang dijadiin kantor dan toko itu loh..) Setelah 6 bulan menempati toko baru, saya bisa membaca kalau saya nggak salah pilih lokasi. Toko saya mulai ramai dikunjungi pembeli, sebagian besar di antaranya bolak-balik datang lagi dan belakangan menjadi pelanggan setia. Karena toko sekaligus kantor majalah yang saya tempati saat ini statusnya ngontrak, saya lalu kepikiran untuk beli rumah di sekitar situ untuk persiapan kalau-kalau setelah habis masa kontraknya nanti, pemilik rumah nggak mengijinkan rumahnya saya kontrak lagi. Memang sih, masa kontrak saya habisnya masih 1,5 tahun lagi. Tapi nggak ada salahnya juga kan jauh-jauh hari saya sudah mulai jelalatan cari tempat?

Kebetulan, rumah di belakang toko saya dijual oleh pemiliknya. Pertama ngeliat papan bertuliskan ‘DIJUAL’ menempel manja di pagar rumah itu, hati saya sudah kebat-kebit *mungkin kayak gini rasanya kalau orang yang gila belanja lewat di deretan barang yang lagi di-SALE * :-D

“Kita liat ke dalam yuk!” ajak saya ke suami.

“Ngapain? Kayak punya duit aja sok-sok an liat ke dalam segala.” Suami saya langsung protes. Soalnya dia udah cukup sering memergoki saya mendadak nggak bisa tidur gara-gara siangnya abis ngeliat-liat rumah yang dijual. Tapi karena saya ngotot, sampai nekat menelepon marketing yang menjual rumah itu, akhirnya suami menyerah. Ditemani marketing, kami pun melihat-lihat ke dalam rumah dan keluar dari pintu pagarnya dengan satu tekad bulat; rumah itu harus dibeli! ;-p

“Uangnya dari mana?” tanya suami begitu kami tinggal berduaan.

Saya langsung mengambil kalkulator dan sibuk menghitung. Keputusannya, salah satu rumah kami harus dijual untuk membayar DP rumah itu. Suami saya paling males ngurusin hal-hal kayak gitu, tapi untungnya saya justru suka banget. Urusan menghitung, memutar, dan membuat uang berkembang buat saya seperti sebuah pemainan yang menyenangkan sekaligus menegangkan. Saya memang hobi bemain-main dengan uang meskipun, sumpah, saya sama sekali bukan keturunannya Paman Gober (tokoh di komik Donal Bebek yang ‘cinta mati’ sama uang sampai suka berenang di tengah tumpukan uang) :-)

Perlu waktu beberapa bulan untuk memasarkan rumah saya sebelum akhirnya laku, seperti yang pernah saya ceritain di tulisan sebelumnya. Setelah uang di tangan, lewat perantara marketing saya menyatakan niat untuk membeli rumah itu. Semua lancar pada awalnya. Harga sudah disepakati, bank tempat saya mengajukan KPR sudah datang untuk men-survey kemampuan keuangan saya (horeee.. saya dianggap layak untuk ngutang! :-p), dan saya sudah siap membayar DP ketika tiba-tiba saya mendapat kabar kalau sertifikat rumah yang akan saya beli ternyata bermasalah.

Awalnya saya masih ngotot mengupayakan segala cara untuk bisa tetap membeli rumah itu. Tapi setelah konsultasi dengan keluarga dan teman yang berprofesi sebagai notaris, akhirnya saya harus menerima kenyataan kalau rumah yang saya taksir mati-matian itu ternyata nggak aman untuk saya beli. Daripada timbul masalah di belakang hari, terpaksa saya merelakannya lepas dari genggaman. Padahal sudah di depan mata banget!

Dalam hidup, ada kalanya kita mengalami kekecawaan saat apa yang kita rencanakan nggak berjalan sesuai harapan. Saat sesuatu yang kita impikan ternyata nggak terwujud meskipun sudah kita perjuangkan habis-habisan. Tapi saya belajar menerima ini sebagai bagian dari episode hidup yang harus saya lewati. Saat gagal mewujukan mimpi, jujur aja saya memang kecewa. Tapi saya selalu yakin kalau apa yang terjadi memang yang terbaik bagi saya, setidaknya untuk saat ini.

Untuk sampai ke suatu tujuan yang kita impikan, nggak selamanya kita menemukan jalan aspal yang mulus, lurus, dan rata. Ada kalanya kita harus belok dulu, meskipun itu membuat jarak tempuh kita untuk sampai ke tempat tujuan jadi semakin jauh. Nggak jarang kita justru harus mundur selangkah untuk mengambil ancang-ancang agar bisa melompati rintangan yang ada di depan mata. Jatuh, kepleset, kepentok, atau sesekali ingin berhenti karena sudah terlalu lelah adalah hal biasa dalam suatu perjalanan. Tapi selama kita fokus pada tujuan awal, suatu saat kita pasti akan sampai ke sana, mungkin dengan cara-cara yang nggak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Saya mengalaminya waktu cari rumah kontrakan untuk dijadiin toko. Sebelum menemukan rumah yang sekarang saya tempati, saya jatuh hati sama sebuah rumah yang posisinya persis di pinggir jalan besar dan kanan kirinya ramai orang membuka usaha, mulai dari salon, restoran, tempat kursus, praktek dokter, studio foto sampai distro. Sewa tempatnya Rp 55 juta setahun dan pemilik rumah hanya mau rumahnya disewa minimal 2 tahun. Berarti saya harus siap uang Rp 110 juta kan? Setelah mengorek tabungan dan sempat cari pinajaman sana-sini, saya berhasil mengumpulkan uang sebesar itu dalam waktu beberapa hari. Tapi apa yang terjadi? Si pemilik rumah sudah memutuskan menyewakan rumahnya kepada orang lain yang sanggup menyewa dalam jangka waktu 5 tahun sekaligus. Saya patah hati seketika. Hiks!

Tapi ternyata mimpi saya bukannya sia-sia, cuma tertunda sebentar dan kemudian terwujud dalam bentuk yang nggak saya duga sebelumnya. Oleh si marketing saya ditawari rumah lain yang harga sewanya setengah rumah idaman tadi, tapi posisinya agak masuk ke dalam komplek -nggak di pinggir jalan banget. Awalnya tentu saja saya menolak. Saya kan mau jualan, makanya cari rumah di pinggir jalan. Tapi, dengan berbagai pertimbangan akhirnya saya setuju untuk ngontrak di rumah itu. Dan ternyata di lokasi yang awalnya nggak saya lirik sedikit pun itu justru toko saya mulai menggeliat dan punya pelanggan. Uang Rp 55 juta yang tadinya cuma bisa buat bayar sewa setahun bisa buat 2 tahun lagi!

Kenyataan itu membuat saya belajar satu hal; kalau mimpi kita nggak terwujud sesuai yang kita harapkan, bukan berarti kita sudah gagal meraihnya. Barangkali hanya tertunda, hanya belum waktunya. Ketika impian tak menjadi kenyataan, saya percaya Si Bos Penguasa Alam sedang merencanakan sesuatu yang lebih indah untuk saya. Dan Ia akan mewujudkannya pada saat yang tepat. Pada saat saya sudah benar-benar siap menerimanya.

Begitulah cara saya menghibur diri kalau lagi kecewa dan patah hati.. :-D

Rabu, 26 Mei 2010

BERMIMPILAH SELAGI MASIH GRATIS.. :-D

Kalau lagi stress dan butuh refreshing tapi nggak bisa ninggalin kantor lama-lama, saya biasanya jalan-jalan keluar masuk cluster baru yang sedang dipasarkan di komplek perumahan saya. Belum tentu beli sih. Sekadar mengagumi bentuk bangunan atau ngeliat-liat rumah contohnya aja saya udah senang dan terhibur banget. Jadi, kalau perempuan lain refreshing dengan window shopping di mall, saya meredam stress dengan keliling-keliling di cluster. Puas banget kalau pulangnya berhasil merekam penataan interior rumah yang baru saya liat tadi di dalam angan dan menenteng brosur berikut daftar harganya, meski nggak jarang itu justru memicu stress baru. ^-^

Ya iyalah.. Sama seperti perempuan lain, saya juga suka nggak bisa tidur kalau lagi setengah mati menginginkan sebuah benda tapi nggak atau belum bisa kebeli. Masalahnya, ‘benda’ yang saya inginkan bukan sekadar sepasang sepatu atau sehelai gaun, tapi sebuah rumah! Nggak jarang rumah idaman yang sempat saya lihat sampai terbawa ke dalam mimpi. Yang paling parah, saya pernah sampai lupa menjemput Hugo pulang les gara-gara keasyikan ‘window shopping’ *Ibu yang nggak berbakti* :-D

Ceritanya, sore itu saya dan suami mengantar Hugo les Bahasa Inggris karena karyawan yang biasa mengantar jemput Hugo les sedang berhalangan. Mau ditinggal pulang, waktunya nanggung karena les-nya cuma satu jam. Tapi nunggu di mobil kok bosan juga. Saya lalu punya ide untuk mengisi waktu dengan melihat-lihat rumah contoh di cluster baru yang letaknya nggak begitu jauh dari tempat les Hugo. Ternyata rumah contohnya keren abis! Ckckck… saya sampai lupa ingatan, lupa daratan, dan lupa kalau punya anak yang harus dijemput dari tempat lesnya gara-gara mengagumi rumah itu. Kalau waktu itu saya nggak pergi bareng suami, mungkin saya juga lupa kalau punya suami hahaha..

Akhirnya saya memang nggak berhasil beli rumah yang ya-ampun-bagus-banget itu karena kemahalan untuk ukuran kantong saya. Bukannya nggak mungkin kebeli sih, tapi kalo belinya sekarang-sekarang, saya lompatnya ketinggian. Saat ini, saya ‘kelasnya’ baru bisa beli rumah di bawah Rp 500 juta-an, sementara rumah yang bikin saya nggak bisa tidur berhari-hari (sampai sempat kepikiran menjual semua aset yang saya punya untuk ‘ditukar’ dengan rumah itu :-p) harganya hampir Rp 2 milyar! Apa nggak ketinggian tuh mimpinya? Hehe..

Tapi saya nggak merasa bersalah pernah punya mimpi setinggi itu dan nggak kapok mengulang mimpi yang sama dengan versi yang berbeda. Soalnya, saya bisa meraih semua hal yang saya miliki saat ini awalnya dimulai dari sebuah mimpi. Dulu saya selalu memimpikan ingin punya rumah, mobil, dan buka usaha sendiri. Saya lalu berjuang untuk meraih dan mewujudkan mimpi-mimpi itu satu per satu, setahap demi setahap. Meskipun harus melewati proses yang panjang berliku, saya nggak pernah putus asa dan tetap konsisten pada tujuan awal, seberat apa pun rintangan yang harus dihadapi.

Saat menginginkan sesuatu, saya mengukir keinginan itu di benak saya dan menjadikannya sebuah tekad. Berdasarkan pengalaman, kalau tekad sudah kuat biasanya itu akan memotivasi saya untuk mewujudkannya, nggak peduli bagaimana pun caranya dan betapa pun keras usaha yang harus saya lakukan. Waktu lagi ngebet setengah mati pengen beli rumah, misalnya. Saya bisa nekat bayar tanda jadi meskipun uang di tabungan sebetulnya nggak cukup untuk bayar DP –seperti yang pernah saya ceritakan di postingan sebelumnya. Percaya nggak percaya, keinginan yang luar biasa besar ternyata bisa membuat kita mampu melakukan apa saja yang dalam kondisi biasa rasanya mustahil. Mimpi membuat hidup saya lebih ‘kaya’, lebih berwarna. Berani bermimpi setinggi mungkin menempa saya jadi lebih tangguh, lebih kreatif. Dan tantangan saat berusaha mewujudkannya membuat saya lebih bersemangat, lebih bergairah menghadapi hari esok.

Jangan pernah merasa mimpi kita terlalu tinggi untuk diraih. Waktu gaji saya dan suami nggak Rp 3 juta biarpun sudah digabung, punya rumah seharga Rp 200 juta rasanya impian yang jauuuh dan tinggiiii banget buat saya. Tapi saya memilih untuk tetap memimpikannya. Nggak sekadar bermimpi, saya berjuang untuk membelinya meskipun dalam prosesnya saya kepentok-pentok kanan-kiri, jatuh bangun berdarah-darah, dan senam jantung setiap saat. Toh akhirnya saya mampu mengatasi itu semua dan melewatinya. Setelah beberapa kali berhasil beli rumah yang harganya Rp 200 juta-an, saya lalu mencoba ’naik kelas’ dengan mengincar kavling seharga Rp 330 juta-an. Nggak masuk akal? Tapi akhirnya saya bisa juga tuh memiliki kavling itu, biarpun harus menjual dan menggadaikan aset yang saya punya. Sekarang, saat saya naksir berat sebuah rumah seharga Rp 1 milyar, saya lebih yakin bisa memilikinya meskipun angka segitu buat saya luar biasa besarnya.

Tentu saja saat berjuang mewujudkan mimpi kita harus pakai taktik dan pintar-pintar ngatur strategi. Untuk mendapatkan rumah Rp 1 milyar ini, salah satu rumah yang dulu saya beli seharga Rp 200 jutaan, saya jual dan laku seharga Rp 375 jutaan. Dipotong pajak penjual, biaya surat-surat dan komisi marketing, bersih-bersihnya saya dapat Rp 355 juta. Cukup buat bayar DP rumah 1 milyar dan biaya surat-surat, sisa pembayarannya akan saya cicil pakai fasilitas KPR. Kok kayaknya gampang amat? Iya, dibikin gampang aja.. Hidup udah susah, kalau semua-semua dibikin susah, bisa mabok muntah darah kita menjalaninya.. ^_^

Apa nggak berat tuh nyicil Rp 700 juta? Kalau dipikir-pikir memang berat. Tapi beberapa tahun terakhir ini saya belajar untuk nggak berpikir terlalu jauh ke depan. Punya hutang KPR yang harus dicicil 10 tahun, misalnya. Kalau mikirnya, ‘Lama banget sih terus-terusan bayar cicilan selama 10 tahun,’ atau ‘Lima tahun lagi saya masih mampu nggak ya bayar cicilannya?’ atau ‘Kalau beberapa tahun ke depan tiba-tiba kena krismon atau bank-nya dilikuidasi gimana?’ capek banget tuh otak kita diajak mikir sejauh itu. Bisa-bisa sampai tua kita nggak berani-berani nyicil rumah, atau melakukan apa pun kalau belum-belum mikirnya udah kejauhan *mikir yang serem-serem pula :-D*. Berencana sih boleh-boleh aja, harus malah. Tapi ngapain capek-capek memprediksi sesuatu yang belum tentu terjadi? Apalagi kalau pikiran itu bikin kita down duluan.. Rugi amat!

Begitu juga saat memutuskan mengelola usaha sendiri. Daripada pusing-pusing mikirin ‘aduh, majalahnya laku nggak ya?’ atau ‘nanti kalau kehabisan modal gimana?’ mendingan kerjakan saja dulu apa yang sudah menunggu di depan mata, yang bisa dikerjakan segera. Membuat isi majalah sebagus-bagusnya, misalnya. Atau mulai membuat jaringan distribusi untuk majalah yang kita buat. Saat dipilah satu per satu, pekerjaan yang harus kita lakukan bisa jadi sebetulnya sederhana saja. Tapi begitu ditumpuk jadi satu di otak belum-belum sudah bikin kita frustasi duluan. Makanya, dijalani dan dibiarkan mengalir saja. Ada hal-hal atau masalah tertentu di dalam hidup ini yang kadang nggak mampu kita selesaikan, kita cari sendiri solusinya. Tapi yakinlah semua pasti akan terlewati seiring dengan berjalannya waktu, dengan campur tangan faktor-faktor lain di luar diri kita yang mungkin bahkan nggak pernah terpikirkan oleh kita. Untuk itu, kita harus berusaha dan mau membuka diri menerima berbagai kemungkinan.

Saya percaya banget, nggak ada usaha yang sia-sia. Kalau kita tekun dan ngotot memperjuangkan sesuatu, pasti deh ada hasilnya meskipun mungkin nggak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Sejujurnya, saya dapat ‘ilmu ajaib’ ini dari suami tercinta. Dulu saya suka mikir segala sesuatu jauh banget ke depan. Dari suami saya belajar memandang masalah satu per satu, dimulai dari yang paling dulu harus dihadapi. Kalau nyicil rumah pakai KPR selama 10 tahun, pikirin aja pembayaran cicilan untuk bulan pertama, yang paling dekat dengan hari ini. Cicilan untuk bulan berikutnya lagi urusan nanti. Otak kita jadi nggak capek dan kita juga jadi lebih tenang, lebih berani melakukan hal-hal yang agak ‘nyerempet-nyerempet bahaya’ kalau kita memulainya dengan melangkah satu per satu dari langkah kecil yang sederhana dan sudah ada di depan mata.

Dengan pola pikir seperti itu, saya jadi yakin kalau nggak ada mimpi yang terlalu tinggi untuk diraih asal saya mau berjuang untuk menggapainya. Tapi sebuah mimpi tetap akan menjadi impian kosong yang nggak berarti apa-apa kalau kita nggak pernah melakukan apa pun untuk mewujudkannya, membiarkannya berhenti hanya sebatas mimpi saja. Jadi, jangan pernah takut bermimpi. Setinggi apa pun mimpi kita, yakinlah kita pasti mampu meraihnya meskipun untuk itu kita harus melewati jalan yang panjang-becek-curam-berliku. Memang sih, pada kenyataanya nggak semua mimpi bisa terwujud seindah seperti waktu masih ada di angan-angan. Tapi nggak ada ruginya kok kita sering-sering bermimpi. Toh gratis ini. Kecuali kalau harus bayar mahal setiap kali pengen mimpi, nah baru harus mikir panjang lebar dulu sebelum mulai bermimpi..^_^

Selasa, 25 Mei 2010

JADI BISANYA APA?

Seorang klien bertanya pada saya dengan nada yakin, “Punya 4 majalah musik, dan toko alat musik pasti Bu Intan jago main musik ya?”

“Nggak juga…” jawab saya kalem.

“Ya, paling nggak main gitar pasti bisa dong?”

“Wah, nggak tuh. Saya dan suami sama sekali nggak bisa main musik.”

“Oh, kalau gitu pasti ngerti banget soal musik ya? Bu Intan kan yang bikin-bikin artikel di majalah?”

“Jangan nuduh gitu dong, Pak. Masing-masing majalah saya ada penanggung jawab redaksinya dan saya nggak ikut-ikutan nulis karena saya nggak ngerti-ngerti banget tentang musik dan alat musik..”

“Lho, nggak bisa main musik dan nggak ngerti musik kok punya majalah musik?”

“Emang nggak boleh ya?”

“Boleh sih.. cuma aneh aja… Atau mungkin Bu Intan generasi kedua usaha ini ya? Hmm…maksudnya gini, dulunya orang tua Bu Intan atau Pak Eka usaha majalah dan toko musik, terus Bu Intan yang melanjutkan?”

“Nggak, Pak.. Saya dan suami merintis dari awal usaha ini. Kami yang memulainya dari nol, dari belum ada bentuknya…”

“Oh… “ Si bapak menatap saya dengan tatapan yang sulit saya tangkap maknanya. Mungkin dia lagi terheran-heran dan dalam hati bertanya-tanya, “Jadi Bu Intan bisanya apa?”

Sejujurnya, nggak sekali dua kali pertanyaan seperti ini mampir ke telinga saya. Sejauh ini sih saya selalu berusaha menjawab dengan sabar dan bijaksana (cuih! :-p). Tapi saat saya mencoba menjawab sejujur-jujurnya, nggak sedikit teman yang lalu geleng-geleng kepala antara heran, nggak percaya dan pengen nimpuk.. ^_^

Sejak awal menggeluti usaha majalah dan toko alat musik, saya memang nggak bisa main musik, nggak punya pengetahuan yang sangat luas tentang musik, dan nggak jago menulis artikel-artikel musik. Saya juga bukan ahli manajemen, nggak pernah kursus keuangan, dan belum sekalipun mengikuti pelatihan dasar-dasar kepemimpinan. Bahkan modal uang dalam jumlah besar pun saya nggak ada. Saya cuma punya keberanian untuk mewujudkan mimpi, kemauan untuk selalu belajar, kejelian menangkap peluang, serta sedikit keberuntungan.

Nggak heran, kalau karir saya sebagai pengusaha yang bergelut di bidang musik diwarnai beberapa ‘insiden’ yang mungkin buat orang lain memalukan. Saat melayani pelanggan di toko musik, misalnya, saya sebagai penjual seringkali kalah pinter sama pembeli. Si pembeli sudah tahu bentuk alat musik yang dicarinya, fitur-fiturnya, keunggulannya serta cara memakainya, saya kadang ngeliat barangnya aja belum pernah, cuma tahu harganya (karena pegang price list dari distributor). Begitu ada yang nanya alat musik tertentu yang bentuknya pun belum pernah saya lihat, Oom Google-lah andalan saya. Dari Oom Google saya tahu seperti apa alat musik yang dimaksud pelanggan, lengkap dengan spec dan harganya, tapi tetep aja nggak tahu cara memakainya. Sampai-sampai teman-teman distributor alat musik suka ngeledek, “Jualan kok nggak tahu barang tapi tahu harga...” Tapi anehnya, “Kok bisa laku juga ya?” komentar mereka.. Hehe.. *Belakangan saya malah jadi akrab sama pelanggan itu dan banyak belajar tentang alat musik dari dia*

Seorang teman saya, dia adalah gitaris band rock ternama, sempat merasa amat sangat ‘tertipu’. Gara-garanya, di awal-awal kami berkenalan dulu dia mengaku hati-hati banget ngobrol soal gitar dengan saya dan suami.

“Takut salah ngomong. Ngobrol sama yang punya majalah musik, pasti pengetahuan tentang musik dan gitarnya luas banget,” ujarnya.

Setelah kami kenal lebih lama, barulah saya ketahuan ‘belangnya’. Ternyata orang yang selama ini dianggapnya sakti mandraguna dalam hal pergitaran sama sekali nggak bisa main alat musik dan pengetahuan musiknya pun pas-pasan. Langsung deh dia merasa kena tipu.. ^_^

Saat memutuskan untuk menekuni suatu usaha kita memang HARUS PAHAM bidang yang akan kita geluti, tapi NGGAK HARUS BISA mengerjakan semua pekerjaan sendiri. Banyak orang yang nggak terlalu jago masak tapi bisa buka restoran. Dan nggak sedikit yang sama sekali nggak bisa menjahit tapi sukses mengelola usaha konveksi atau buka toko pakaian.

Orang yang ahli di satu bidang bukan jaminan pasti mampu menjalankan usaha. Seorang koki, misalnya, mungkin jago banget bikin aneka masakan tapi belum tentu berani dan mampu bikin restoran sendiri. Sementara orang yang nggak begitu pintar masak bisa jadi malah sukses buka restoran karena memahami betul seluk beluk usaha tersebut secara detil. Satu hal yang saya pahami belakangan, seorang pengusaha dituntut untuk mampu melihat setiap permasalahan di usaha yang digelutinya dari semua sisi, secara menyeluruh. Seorang pengusaha harus punya kemampuan untuk mengelola, memimpin, mengatur strategi, dan mengambil keputusan, bukan sekadar mampu melakukan sendiri semua pekerjaan di tempat usahanya.

Barangkali banyak pengusaha lain yang selain memahami seluk beluk usahanya secara detil dan punya kemampuan mengelola usaha yang baik, juga mampu mengerjakan semua jenis pekerjaan di usaha yang digelutinya, meskipun akhirnya bukan dia sendiri yang kemudian melakukannya. Tapi dengan keterbatasan kemampuan yang saya miliki, saya harus mengakui kalau saya bukan termasuk salah satu di antara mereka. Apakah saya malu dan jadi minder dengan keterbatasan saya? Nggak juga tuh. Saya mungkin nggak bisa menulis artikel musik yang cihuy, tapi saya paham proses produksi dan distribusi majalah serta cara menjalankan usaha ini secara keseluruhan, bukan hanya per bagian saja. Yang lebih penting saya mampu menempatkan orang yang tepat di posisi yang tepat serta mengelola orang-orang tersebut –juga unsur-unsur lain di usaha yang saya tekuni- agar bersama-sama bisa mencapai hasil yang diharapkan.

Jadi, jangan keburu putus asa duluan kalau kita ingin buka usaha di bidang tertentu, tapi nggak punya kemampuan untuk turun tangan langsung menangani semua pekerjaan di kantor. ^_^

Minggu, 23 Mei 2010

JUALAN BERMODAL BROSUR

Memenuhi kebutuhan pasar, alat musik yang di-display di toko saya sudah semakin banyak dan lengkap. Belum lagi yang di gudang. Rumah kontrakan yang saya jadikan toko dan baru ditempati 6 bulanan ini langsung penuh sesak dalam sekejap (nggak sekejap juga sih, emangnya sulapan? :p). Tapi itu pun ternyata belum cukup memenuhi permintaan pelanggan karena belakangan saya baru sadar, produk alat musik itu jenis dan merknya sangat beragam. Sebetulnya saya tahu banget cara membuat toko alat musik yang lengkap dan banyak variasi barangnya. Asak kita siap modal uang dalam jumlah besar itu gampang diatasi, Masalahnya dana saya cekak, cuma semangatnya aja yang luar biasa besar hehe..

Soalnya buka toko alat musik ternyata banyak ‘godaannya’. Awalnya saya cuma jualan gitar, bass, ampli, drum dan aksesoriesnya. Tapi pembeli yang datang ke toko suka tanya yang lain-lain. Misalnya, “Ada mixer 32 channel nggak?” Padahal toko saya punya persediaannya yang 12 dan 16 channel. Begitu saya stock mixer yang 32 channel, datang pelanggan lain yang cari mixer 24 channel.. tapi merk A. Sementara saya punya merk-nya C doang.. Walaaah.. ^_^

Sebagai pedagang yang baik dan benar, saya tentunya nggak pengen mengecewakan pelanggan. Setiap ada yang nanya barang tertentu yang belum ada di toko, saya segera cari informasi tentang barang tersebut di internet atau langsung ke distributornya, lalu buru-buru menyediakannya di toko. Tapi kalau diikutin terus, upaya melengkapi barang dagangan di toko ternyata nggak tamat-tamat. Apalagi belakangan toko saya mulai dikunjungi orang-orang yang berbelanja perangkat sound system. Modal buat belanja gitar atau ampli biar kelihatan ada stock di toko mungkin cukup Rp 10-20 jutaan. Lah, kalau sound system? Sudah merogoh kantong Rp 100 juta juga masih kurang. Kalau langsung ada yang beli sih lumayan. Tapi kalau nggak laku-laku dan barang itu nangkring di toko berbulan-bulan? Ya, duit segitu terpaksa mandek, nggak bisa diputar.

Kalau ingin toko berkembang, saya memang harus bisa memenuhi kebutuhan pelanggan dan menjadi toko alat musik yang bisa diandalkan. Pelanggan bisa ilfil duluan dong kalau setiap kali datang untuk cari alat musik, ternyata di toko saya nggak ada dan saya nggak bisa menyediakan? Jadi, memang perlu modal untuk melengkapi barang dagangan di toko, kecuali saya cukup senang dengan kondisi toko yang segitu-segitu aja. Kebetulan saya bukan orang yang cepat puas dalam hal bermain uang. Kalau ada kesempatan untuk membuat uang saya berkembang menjadi lebih banyak lagi, saya pasti tergoda untuk mengusahakannya.. Terlanjur basah, ya udah nyebur sekalian. Dalam hal ini saya harus mengakui, syair lagu dangdut pun kadang-kadang inspiratif.. ^_^

Seperti yang sudah saya tulis di awal, nggak ada masalah kalau saya adalah pengusaha kaya dengan modal besar. Usaha perlu dikembangkan, tinggal mengucurkan dana untuk tambahan modal. Apalagi saya dan suami melihat prospek usaha ini cukup bagus. Sayang kan kalau nggak dikembangkan secara maksimal? Tapi berhubung uang yang saya punya pas-pasan, saya harus pintar-pintar mengatur strategi –dan uang tentu saja- agar tujuan saya punya toko yang lengkap tercapai dengan modal seminimal mungkin. Kayaknya saya memang akrab banget nih dengan situasi kayak gini; keinginan besar, tapi kemampuan keuangan pas-pasan hehe.. Dan dalam situasi seperti ini, saya sungguh terselamatkan oleh kalimat andalan tentang uang yang konsisten saya terapkan, ‘yang penting bukan berapa banyaknya tapi bagaimana mengelolanya’.. :-D

Saya lalu ganti taktik; nggak lagi stock segala macam barang untuk melengkapi toko, tapi jadi lebih rajin mengumpulkan brosur-brosur alat musik yang biasanya disediakan oleh distributor. Suami juga lebih rajin cari informasi sebanyak-banyaknya tentang produk yang banyak diminati orang dan curi-curi ilmu dari teman-teman distributor alat musik. Inilah untungnya kalau kita selalu menjaga hubungan baik dengan banyak pihak. Begitu buka alat musik, saya merasa terbantu banget karena teman-teman dari distributor berbagai alat musik tersebut men-support saya dan suami dalam banyak hal dan nggak pelit bagi-bagi ilmu.

Nah, kalau ada pembeli datang menanyakan alat musik yang kebetulan nggak tersedia di toko, langsung saja saya dan suami bagi tugas. Sementara suami menyodorkan brosur atau foto dan spec barang yang biasanya ada di internet, saya blingsatan menelpon ke distributornya untuk menanyakan kesediaan barang sekaligus mengecek harga (kadang sedang ada promo turun harga atau sebaliknya kenaikan harga untuk produk tertentu). Kalau pembeli sepakat dengan harga yang kami tawarkan dan barang di distributor ready, karyawan toko langsung berangkat mengambil barang tersebut (kalau distributornya ada di sekitar Jakarta). Tapi kalau distributornya di luar Jakarta? Saya jelaskan ke pembeli bahwa barang baru datang besok, dan kalau memang serius membeli, saya minta si pembeli meninggalkan sejumlah uang sebagai tanda jadi.

Ternyata cara itu cukup efektif. Saya nggak perlu modal uang ratusan juta untuk melengkapi toko, tapi pelanggan puas karena setiap kali datang mencari alat musik tertentu saya bisa memenuhi meskipun barangnya nggak selalu ready di toko. Bisa dibilang, pelanggan cari alat musik apa aja saya punya deh! (Kecuali stock barang di distributor memang lagi kosong). Terbukti kan, uang bukan satu-satunya modal penting dalam mengelola usaha? Relasi dengan pihak-pihak yang berhubungan dengan usaha kita juga merupakan modal yang nggak bisa diabaikan. Dan benda yang kelihatannya sepele seperti brosur, ternyata justru bisa tampil sebagai penyelamat. ^_^

Rabu, 05 Mei 2010

TUKANG NGUTANG

Masih seputar kegiatan berhutang, setelah saya ingat-ingat ternyata saya punya pengalaman ngutang yang luar biasa banyaknya. Saking banyaknya, saya kadang curiga jangan-jangan di kening saya ada stempel bertuliskan ‘Tukang Ngutang’ hehe..

Seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, dulu saya paling ogah kalo disuruh ngutang. Padahal di awal-awal menikah godaannya luar biasa banget tuh. Saya sempat 2 tahun tinggal di rumah petak kontrakkan yang terletak di gank sempit di daerah Mampang. Setiap hari ada aja tukang jualan yang keliling kampung menawarkan barang dagangan yang bisa dibeli secara kredit. Mulai dari barang elektronik, taplak meja, sprei, baju tidur sampai panci. Barang-barang itu bisa dicicil harian, mingguan, atau bulanan, tergantung kesepakatan dengan si penjual. Tetangga saya pada hobi banget beli segala macam barang dengan cara kredit. Tapi sedikit pun saya nggak tergoda untuk ikut-ikutan.

Tapi belakangan saya mulai membuka mata dan hati untuk coba-coba ngutang. Saya ingat, pertama kali kepikiran untuk ngutang waktu pengen punya rumah sendiri. Tahu dong, sebuah rumah yang sederhana sekalipun harganya puluhan bahkan ratusan juta rupiah? Dengan gaji saya dan suami saat itu yang nggak lebih dari Rp 3 juta sebulan, rasanya mustahil banget kalau saya nekat berniat beli rumah dengan cara tunai. Katakanlah waktu akan dibeli harga rumah idaman, contoh aja nih, Rp 100 juta. Saya sudah menabung mati-matian, begitu tabungan saya mencapai Rp 100 juta, harga rumah pasti udah keburu naik. Nabung lagi, eh harga rumahnya naik lagi. Begitu seterusnya. Kalau diikutin, bisa sampai botak berjengger nggak kebeli-kebeli deh tuh rumah.. ^_^

Dengan berhutang, impian saya beli rumah jadi lebih masuk akal untuk diwujudkan. Saya cukup mengumpulkan uang untuk DP rumah, sisa pembayarannya bisa memanfaatkan fasilitas KPR yang banyak ditawarkan oleh bank hingga bisa dicicil sampai 20 tahun. Memang saya jadi dikenai bunga pinjaman. Rumah seharga Rp 181 juta, misalnya, kalau dicicil 10 tahun total uang yang akhirnya harus saya bayar pasti lebih dari Rp 250 juta, tergantung suku bunga bank yang sedang berlaku. Tapi daripada nggak jadi beli rumah gara-gara nggak bisa bayar tunai, ya mendingan nyicil ke bank kan? Toh bank memang menyediakan fasilitas itu untuk kita gunakan. Nggak usah malu ngutang ke bank untuk keperluan membeli rumah karena bukan kita satu-satunya orang di dunia ini yang melakukannya. Banyak temennya gitu loh hehe…

Sukses memanfaatkan fasilitas KPR untuk membeli rumah impian, saya lalu memperluas wawasan ngutang untuk memiliki mobil dengan cara kredit. Waktu beli mobil pertama saya, Toyota Kijang LSX tahun 2003, saya terhitung masih pemula dalam hal ngutang. Jam terbang saya belum tinggi, jadi belum jago-jago amat. Target saya waktu datang ke showroom mobil cuma satu; bagaimana caranya agar saya dipercaya untuk mengkredit mobil. Soalnya saya masih trauma gara-gara pernah ditolak waktu mengajukan KPR rumah pertama sampai harus pindah-pindah bank. Ternyata proses kredit mobil jauh lebih gampang daripada rumah. Setelah mengisi formulir dan melengkapi data yang diminta, ada petugas yang survey ke rumah saya untuk menyelidiki kemampuan keuangan saya -sanggup nggak nyicil mobil. Dalam waktu relatif singkat kredit saya langsung disetujui. Dulu saya pikir rumah saya di-survey petugas saat mengajukan kredit mobil karena saya bertampang ‘miskin’ dan nggak meyakinkan.. :-p Ternyata nggak loh. Itu memang proses standar yang harus dilewati semua orang yang akan mengkredit mobil, kecuali mungkin yang udah bolak-balik beli mobil memakai jasa leasing yang sama dan reputasi pembayaran cicilannya bagus.

Begitu usaha saya berkembang, saya makin akrab dengan yang namanya utang. Nggak tanggung-tanggung, saya nekat membeli 3 rumah dan 3 mobil dengan cara kredit dalam waktu nyaris bersamaan. Begitu cicilan mobil pertama hampir lunas, langsung saya sambung dengan nyicil mobil kedua. Cicilan mobil yang satu hampir lunas dan saya lagi butuh tambahan modal untuk mengembangkan usaha? Mobil lain yang sudah lunas cicilannya saya gadaikan lagi ke leasing. Begitu juga dengan rumah. Bisa dibilang, dari pertama punya rumah dan mobil saya hampir nggak pernah ngeliat wujud sertifikat atau BPKP-nya. Lah, wong setiap kali hampir lunas sertifikat rumah dan BPKB mobil rajin banget saya ‘titipin’ lagi di bank atau leasing.. ^_^.

Mertua saya sempat terkaget-kaget waktu suatu ketika saya dan suami buka kartu tentang jumlah cicilan utang yang harus kami bayar setiap bulannya.

“Kalian apa nggak pusing mikirin utang sebanyak itu?” tanyanya.

Saya cuma mesem-mesem.

Buat saya utang bukan untuk dipikirin, tapi untuk dibayar. Dan kalau mau mikirin utang seharusnya justru sebelum kita ngutang, bukan setelah terlanjur ngutang. Saat memutuskan untuk ngutang, kita harus memperhitungkan dan memikirkan betul bagaimana cara membayarnya. Kita sanggup nggak melunasinya, entah dengan cara dicicil atau langsung dilunasi semua? Kalau nggak sanggup, ya jangan nekat ngutang. Tapi kalau sanggup, langsung aja.. hajar bleh! ^_^

Pengusaha dengan modal dengkul seperti saya memang harus berani ngutang, asalkan tujuan berhutang untuk mengembangkan usaha, bukan untuk kebutuhan konsumtif. Kalau nggak ngutang, dari mana saya punya uang untuk menambah modal usaha atau bahkan membuat usaha baru? Ngutang bisa macam-macam caranya. Pengusaha lain mungkin mengandalkan kredit usaha kecil yang banyak ditawarkan oleh bank. Tapi saya mengkombinasikan usaha yang saya tekuni dengan hobi yang saya sukai untuk saling mendukung satu sama lain. Dengan mengelola usaha sendiri, saya jadi punya uang –dari keuntungan usaha- untuk membeli rumah (masih ingat kan, saya hobinya beli rumah loh..^_^). Dengan membeli rumah, saya jadi punya aset untuk menambah modal usaha. Gampangnya gini, kalau lagi punya uang saya beli rumah. Tapi kalau lagi butuh uang, saya ngutang dengan cara menggadaikan rumah ke bank. Perpaduan yang sip markusip kaaaan…

Apa saya nggak malu punya utang di mana-mana? Sejauh ini sih nggak. Soalnya saya ngutang untuk tujuan yang baik dan jelas. Hutang saya terukur, terencana dan saya mampu membayarnya (kecuali mendadak terjadi hal-hal di luar kuasa saya –misalnya kena musibah bencana alam, kerusuhan, dan sejenisnya yang membuat usaha saya terpaksa tutup dan nggak bisa jalan lagi). Kalau nekat ngutang sana-sini terus nggak bisa bayar, apalagi sama sekali nggak punya gambaran untuk membayarnya, baru deh saya malu banget.. hehe..

Lagipula, meski utang saya banyak, piutang saya di luar lebih banyak lagi kok. Agen-agen yang membantu memasarkan majalah saya kan pakai sistem konsinyasi, setelah majalah edisi terbaru terbit baru dia setor hasil penjualan majalah 2 edisi sebelumnya setelah dipotong retur. Begitu juga pemasang iklan. Begitu iklan dimuat di majalah saya, biasanya mereka baru membayar biaya pemasangan iklan 1-2 minggu kemudian. Tuh kan, bukan cuma saya satu-satunya di dunia ini yang tukang ngutang? ^_^

Jumat, 30 April 2010

MAIN CANTIK DENGAN KARTU KREDIT

Sudah lama sebetulnya saya pengen bikin tulisan ini. Idenya udah ada di kepala, tapi belum sempat-sempat menuangkannya dalam bentuk tulisan karena sibuk ngurusin segala macem. Tadi pagi, SMS seorang teman bikin saya semangat untuk buru-buru nulis mumpung lagi nggak sibuk dan lagi mood untuk nulis..

Beberapa waktu lalu saya ngobrol-ngobrol sama seorang teman tentang kartu kredit. Teman saya ini, sebut saja namanya EM, mengaku kalau ia dan suaminya sama-sama nggak pernah punya kartu kredit. Bukan karena nggak memenuhi persyaratan untuk itu, tapi lebih pada alasan takut.

“Takut kenapa?” tanya saya heran.

“Takut diuber-uber dept collector,” sahut teman saya ini lugu. “Mungkin karena aku nggak terlalu ngerti tentang kartu kredit ya, Mbak. Aku cuma sering denger orang kelilit utang kartu kedit juta-jutaan, nggak mampu bayar, terus diuber-uber dept collector. Makanya aku dan suami nggak mau punya kartu kredit.”

Sebagian orang memang beranggapan kalau punya kartu kredit bukanlah ide yang menarik, bahkan kalau bisa dihindari sejauh-jauhnya. Soalnya kalau sudah terjerat hutang kartu kredit memang mengerikan. Hutang kita dikenai bunga berbunga yang membuatnya bertambah besar setiap bulannya, meskipun kita rutin membayar sebagian tagihan (tapi nggak sampai lunas). Yang paling nyebelin tentu saja berurusan dengan tukang tagih alias dept collector yang nggak kenal sopan santun waktu meneror nasabah yang pembayarannya bermasalah. (Kebayang nggak kalau dept collector sopan dan mesra ke nasabah yang bandel nggak bayar-bayar tagihan? Kayak gini, misalnya,
‘Say, tagihan kartu kreditnya tolong dibayar dooong.. Sorry ya, bukan maksudnya saya ngejar-ngejar atau bikin kamu tersinggung.. Saya sih seneng-seneng aja nelpon kamu tiap hari, abis kamu suaranya lembut banget.. Pasti orangnya juga manis.. Tapi kalau kamu nggak bayar-bayar, nanti saya ditegur atasan.. Masa sih kamu tega? Bantuin saya ya, Cin.. Pliiisss…’ :-D)

Dulu saya juga termasuk salah seorang yang anti kartu kredit. Nggak usah deh kartu kredit, ngutang aja saya paling ogah. Prinsip saya, kalau pengen sesuatu dan kebetulan punya uang ya dibeli. Kalau nggak punya uang ya udah, diem aja jangan nakal ^_^ Untung saya bukan orang yang gampang ‘panas’. Lihat teman, tetangga, saudara beli ini itu, saya bisa menahan diri untuk nggak ikut-ikutan beli –meskipun kadang-kadang sebetulnya pengen juga punya barang itu.. Untunglah saya gadis jujur yang teguh beriman.. ^_^

Balik lagi ke soal kartu kredit yaaa.. Saya mulai berpikir ulang untuk memakai kartu kredit setelah punya usaha sendiri. Itu juga saya nggak mengajukan permohonan untuk dibuatkan kartu kredit ke bank lho.. Suatu hari, tiba-tiba saya dikirimi 2 buah kartu gold -1 Visa dan 1 lagi Mastercard- oleh salah satu bank penerbit kartu kredit setelah sekian lama saya menjadi nasabah di sana. Suami awalnya kurang setuju saya punya kartu kredit –alasannya kurang lebih sama dengan teman saya EM- tapi akhirnya membiarkan saja karena tahu saya bukan tipe orang yang hobi belanja tak terkendali. Kan udah saya bilang, saya gadis jujur yang teguh beriman.. *huueeeek…* :-D

Kalau tahu cara memanfaatkannya, punya kartu kredit itu sebetulnya menguntungkan. Tapi kalau nggak dipakai dengan bijak memang bisa-bisa malah menyesatkan. Nggak sedikit orang terlena lalu kebablasan karena cara pakainya gampang banget. Tinggal gesek dan diminta tanda tangan, barang idaman bisa langsung berpindah tangan. Tapi begitu tagihan datang, baru deh keliyengan liat jumlah yang harus dibayar..

Makanya, pertama-tama pakai kartu kredit dulu saya masih agak malu-malu karena masih mempelajari celahnya. Paling-paling kartu saya gesek untuk belanja kebutuhan sehari-hari di supermarket atau membayar sesuatu yang memang menjadi kewajiban saya, misalnya tagihan listrik, telepon, HP, iuran member di gym dan sejenisnya. Dulu saya mikirnya sederhana aja, mau sekarang atau bulan depan, toh saya memang harus mengeluarkan uang untuk membayar atau membeli kebutuhan yang tadi saya sebutkan. Saya cuma memundurkan waktu pembayaran untuk mengawet-awet uang tunai yang saya punya agar di rekening tabungan saya selalu ada uang untuk kebutuhan mendadak yang pembayarannya nggak bisa menggunakan kartu kredit. Selain itu, malas juga kan kalau kemana-mana saya harus bawa-bawa uang tunai? Menjelang jatuh tempo pembayaran kartu kredit, saya selalu melunasi semua tagihan tanpa sisa. Nggak kena bunga deh!

Setelah beberapa bulan semua berjalan lancar dan aman, saya mulai lebih berani memakai kartu kredit. Waktu ruangan kerja saya di kantor butuh AC baru, saya melipir ke salah satu hypermarket yang sedang menawarkan promo bunga 0% untuk cicilan 6 bulan. Dibayar tunai atau dicicil saya tetap harus beli AC kan? Daripada harus seketika membayar tunai AC yang harganya Rp 3-4 jutaan, mendingan dicicil 6 kali dong kalau bunganya 0%. Uang tunai bisa diawet-awet untuk kebutuhan lain. Begitu juga kalau lagi ada urusan pekerjaan ke luar kota. Kartu kredit kan suka tuh kerja sama dengan hotel, rumah makan, toko, travel atau merchant lain untuk memberikan promo diskon atau penawaran special bagi nasabahnya. Saya manfaatin deh kartu kredit untuk menginap di hotel-hotel yang lagi promo kalau pembayarannya menggunakan kartu kredit yang saya punya. Lumayan lho, saya pernah nginep di hotel dengan harga special, makan di resto dengan diskon 50%, dan masih dapat diskon lagi waktu beli baju di sebuah toko yang semuanya menggelar promo bareng kartu kredit yang saya punya. Habis itu saya mash dapat reward dari kartu kredit yang bisa ditukarkan dengan hadiah pilihan atau kesempatan memenangkan undian berhadiah mobil atau rumah, eh bayar tagihannya masih bulan depan lagi! Enak banget kaaan…

Belakangan saya mendapat ide kalau punya kartu kredit ternyata sangat tepat dikombinasikan dengan asuransi kesehatan pribadi. Saya sudah pernah cerita kan kalau saya sekeluarga ikut asuransi kesehatan? Kalau satu anggota keluarga saya sakit dan harus dirawat di Rumah Sakit, perpaduan asuransi kesehatan dan kartu kredit ini sungguh amat menguntungkan buat saya. Kalau diikutkan asuransi oleh perusahaan kan enak, begitu harus opname tinggal menunjukkan kartu anggota dan bisa langsung masuk kamar perawatan. Tapi asuransi kesehatan perorangan seperti saya harus bayar di muka, baru kemudian bisa mengajukan klaim ke asuransi dengan menunjukkan kwitansi asli dan data-data yang diminta. Kalau lagi megang duit sih nggak masalah. Lah, kalau nggak? Udah pusing ngurusin penyakit, masih harus ngotot-ngototan sama pihak RS karena uang yang kita punya nggak cukup untuk membayar deposit yang harus dibayar dimuka. Kalau punya kartu kredit kan tinggal gesek aja. Setelah uang penggantian dari asuransi cair (asuransi saya kurang lebih 2 mingguan), langsung bayarin deh tuh tagihan kartu kredit. Nggak kena bunga deh!

Makin ke sini, saya makin pintar dan berani menggunakan kartu kredit. Saya rajin menggesek kartu kredit hampir di semua transaksi yang bisa saya bayar dengan kartu kredit pasti. Pedoman saya cuma satu; yang penting pembayaran atau pembelian menggunakan kartu kredit itu memang benar-benar wajib saya lakukan, nggak bisa nggak dan sebelum jatuh tempo sudah harus dilunasi sepenuhnya. Makanya biar hobi gesek sana gesek sini, saya tetap mengontrol penggunaan kartu kredit supaya jangan sampai bulan depannya saya melet-melet melunasi tagihannya. Dan hasilnya, sudah empat tahun pakai kartu kredit saya belum pernah tuh berurusan sama dept collector. Yang ada malah saya dikejar-kejar marketing kartu kredit yang berebut menawari saya untuk memakai kartu kredit keluaran bank lain dengan berbagai tawaran seperti bebas iuran tahunan seumur hidup, langsung disetujui untuk dapat kartu platinum, dapet hadiah langsung berupa VCD Player, HP, dll. Tapi saya nggak tergoda punya kartu kredit banyak-banyak. Belum lupa kan, saya gadis jujur yang teguh beriman? Pletak! *aduh! siapa yang ngelempar sendal nih?* :-D

Rabu, 28 April 2010

PENGALAMAN MENJUAL RUMAH


Selasa, 27 April lalu untuk pertama kalinya saya menjual salah satu rumah yang saya punya. Pengalaman baru tuh! Kalau beli rumah sih saya udah bolak-balik, udah cukup pengalaman deh. Tapi baru kali ini saya tahu seluk beluk cara menjual rumah.

Ternyata jual rumah gampang-gampang susah ya.. Saya udah niat jual rumah dari pertengahan tahun 2009 lalu, tapi baru berhasil melepasnya April 2010 ini. Dulu saya sempat mencoba memasarkan rumah itu sendiri dengan cara menempel kertas bertuliskan ‘DIJUAL’ dan nomer telepon saya di depan rumah yang akan dijual. Saya juga sempat pasang iklan di koran dan internet. Nggak pakai nunggu lama, respon langsung bermunculan dari mana-mana, tapi paling banyak justru dari marketing agen property yang menawarkan diri untuk membantu memasarkan rumah saya, tentu saja dengan imbalan komisi yang prosentasenya disesuaikan dengan harga rumah. Ada sih satu dua pembeli langsung yang menelpon saya, malahan udah liat-liat rumah dan tawar menawar harga tapi belum ada yang deal.

Awalnya, karena belum terlalu paham dan berpengalaman dalam urusan jual menjual rumah, saya setuju aja waktu sebuah agen property menawarkan untuk kontrak ekslusif dengan agen itu. Maksudnya, saya hanya mengijinkan agen property ini aja yang membantu memasarkan rumah saya, agen property lain nggak boleh ikut-ikutan. Keuntungan sistem ekslusif ini, saya jadi nggak perlu berhubungan dengan banyak agen, cukup mempercayakan semua proses penjualan rumah kepada agen property yang saya tunjuk secara ekslusif. Enaknya lagi kalau kebetulan ketemu marketing yang gencar menawar-nawarkan rumah dan punya banyak buyer alias calon pembeli. Tapi yang terjadi, marketing yang saya pilih ternyata kurang agresif. Saya tunggu beberapa bulan, rumah saya belum laku-laku juga. Boro-boro laku, buyer yang dibawa si marketing untuk dateng ngeliat rumah saya aja jarang-jarang.

Atas saran seorang teman, akhirnya saya ganti taktik dengan mengijinkan semua agen property ikut membantu memasarkan rumah saya (istilahnya ‘open’). Jadi, siapa aja boleh membantu memasarkan, tapi yang berhasil cepat menjuallah yang dapat komisinya. Ribetnya, karena rumah yang akan saya jual dalam kondisi kosong dan kunci rumah saya pegang (nggak mungkin kan semua agen property yang membantu memasarkan saya pinjemin kunci rumah), saya jadi harus bolak-balik ke rumah itu setiap kali ada marketing datang membawa buyer untuk melihat rumah. Mending kalau saya lagi nggak ada kerjaan. Lagi meeting sama klien atau nonton bioskop sama Hugo, tiba-tiba ditelpon marketing diminta mengantar kunci rumah saat itu juga karena ada buyer datang sempet beberapa kali bikin saya bête.

O ya, waktu memutuskan untuk memakai jasa agen property, saya diminta mengisi dan menanda tangan formulir yang berisi data property yang akan dijual, seperti alamat property, luas tanah, luas bangunan, status sertifikat (hak guna bangunan atau hak milik) dan sejenisnya. Untuk harga rumah di bawah Rp 1 milyar, biasanya agent property menetapkan komisi sebesar 3% dari harga jual rumah saat transaksi dan 2,5% untuk harga rumah di atas 1 milyar, tapi bisa berubah, tergantung kesepakatan antara pemilik rumah dan si marketing.

Sama seperti waktu beli, jual rumah pun saya kena pajak. Dulu saya cuma kenal istilah pajak penjual dan pajak pembeli tapi nggak terlalu ngerti hitung-hitungannya (waktu beli rumah kan selalu langsung ke pengembang, jadi pasrah aja disuruh bayar ini itu karena saya anggap udah bagian dari biaya beli rumah). Nah, gara-gara jual rumah, sekarang saya jadi ngerti maksudnya istilah itu. Pajak pembeli adalah pajak yang harus dibayarkan seseorang saat ia membeli rumah, jumlahnya dihitung dari total NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) – Rp 30 juta x 5%. Sementara pajak penjual dibayarkan oleh si penjual rumah, jumlahnya lebih besar karena dihitung total NJOP x 5%. Buat yang belum tahu, NJOP rumah kita (tanah dan bangunan) bisa dilihat di lembaran PBB (Pajak Bumi dan Bangunan).

Selain pajak penjual, biaya yang harus disiapkan saat kita menjual rumah adalah biaya legalisir pajak, cek sertifikat, dan komisi untuk marketing kalau kita menggunakan jasa agen property. Buat pembeli rumah jangan keburu GR dulu.. Biarpun pajak yang harus dibayar lebih kecil dibandingkan pajak penjual, tapi pembeli rumah kena biaya AJB + balik nama, legalisir pajak, PNBP untuk AJB, SPS APHT, dan APHT + SHT. Ribet ya? Sebetulnya nggak juga sih karena semuanya sudah diurus sama notaris. Kita tinggal duduk manis dan bersiap pegal-pegal tangannya karena harus menanda tangan segepok berkas pada saat proses jual beli berlangsung.

Ternyata bener kata banyak orang selama ini, beli dan jual rumah itu cocok-cocokkan, jodoh-jodohan. Harga udah cocok dan pembeli udah suka rumah saya, kalau nggak jodoh adaaaa aja halangannya. Sebaliknya, kalau memang udah jodohnya, rumah bisa begitu gampang dan cepat berpindah tangan.

Itu yang terjadi dengan rumah saya. Suatu hari salah satu marketing agen property mengantar marketing seorang buyer keliling-keliling di komplek perumahahan tempat saya tinggal. Si buyer memang lagi cari-cari rumah di sekitar situ. Dibawa ke beberapa rumah, si mbak belum merasa sreg. Tapi begitu melihat rumah saya, dia langsung suka, bahkan sebelum melihat bagian dalam rumah karena marketingnya belum janjian sama saya untuk melihat rumah pada hari itu dan kebetulan saat itu saya lagi di luar kota. Begitu esoknya ia melihat bagian dalam rumah saya, ia langsung mantap untuk membeli dan langsung mentransfer tanda jadi tanpa harus melewati proses tawar menawar yang alot. Proses pengajuan KPR berjalan lancar. Maka, jadilah 27 April kemarin salah satu hari bersejarah buat saya karena untuk pertama kalinya saya punya pengalaman menjual rumah.

Selasa, 27 April 2010

SIASAT NEKAT BELI RUMAH

Nggak sedikit teman dan kenalan saya yang terheran-heran ngeliat saya bolak-balik beli rumah. “Kamu ngapain sih beli rumah banyak-banyak? Memangnya nggak repot ngurusnya?”

Buat sebagian orang, apa yang saya lakukan mungkin kelihatan rada kurang kerjaan. Punya rumah 3, toh saya cuma bisa menempati salah satunya. Nggak mungkin kan saya tinggal di rumah pertama, suami di rumah kedua, terus anak tinggal di rumah ketiga? Tapi gimana ya, namanya juga hobi… hehe.. Lagian saya punya beberapa rumah karena kebutuhan juga kok..

Awalnya, saya beli rumah dengan tujuan untuk ditempati. Waktu kemudian saya buka usaha sendiri, saya menjadikan rumah itu sebagai kantor sekaligus tempat tinggal. Ternyata usaha saya berkembang, rumah pertama saya jadi terasa terlalu sempit untuk menampung dua aktifitas sekaligus (tempat usaha sekaligus tempat tinggal). Makanya saya memutuskan membeli rumah kedua, tahun 2005..

Dulu saya mikirnya sederhana aja. Kalau saya nyewa rumah atau kantor untuk tempat usaha, toh saya juga harus mengeluarkan uang untuk biaya sewa. Tapi kalau saya sekalian mencicil rumah, meskipun tiap bulan harus bayar cicilan kan lama-lama rumahnya jadi milik saya. Mungkin ahli keuangan nggak sependapat dengan cara berpikir saya karena dengan begitu saya membuat uang saya menjadi harta tak bergerak. Tapi saya bukan ahli keuangan. Masa bodoh dengan segala macam ilmu keuangan. Yang saya tahu, dengan membeli rumah saya dipaksa untuk teratur menabung (membayar cicilan rumah). Daripada uang saya habis dipakai untuk membeli barang-barang yang nggak jelas, mendingan ditabung jadi rumah…

Begitu juga waktu memutuskan membeli rumah ketiga, tahun 2006. Saat itu usaha saya makin berkembang. Rumah pertama yang saya jadikan tempat usaha nggak cukup lagi menampung karyawan dan aktifitas usaha. Saya kembali membeli rumah dengan cara kredit. Tuh bener kan, saya bolak-balik beli rumah memang karena didorong kebutuhan… Bukan untuk gaya-gayaan, apalagi iseng doang hehe...

Oh ya, saya bisa punya beberapa rumah bukan karena saya kaya luar biasa lho.. Uang yang saya punya sebetulnya nggak banyak-banyak amat. Lebih seringnya sih saya cuma modal nekat dan pinter-pinter atur siasat. Gimana nggak nekat, saya berani tuh memutuskan beli rumah seharga Rp 200 juta, padahal cuma punya uang di tabungan nggak lebih dari Rp 20 juta. Kok bisa?

Untuk sebagian orang (ternasuk saya :p) kendala utama saat akan membeli rumah biasanya ada di pembayaran DP, Nggak sedikit kenalan saya yang mengaku siap terikat komitmen untuk membayar cicilan bulanan selama sekian tahun demi memiliki rumah impian, tapi belum-belum udah frustasi duluan ngumpulin uang untuk DP. Dalam hal ini, saya akui, saya sangat diuntungkan oleh pengembang perumahan tempat saya tinggal yang rajin bikin program yang memudahkan orang berkantong cekak kayak saya untuk beli rumah (makanya saya beli rumahnya di situ-situ terus :D). Salah satunya adalah dengan memberi keringanan pembayaran DP yang bisa dicicil sampai 10 kali, seperti yang sudah pernah saya ceritain di postingan sebelumnya.

Balik lagi ke siasat nekat beli rumah yaa.. Waktu mau beli rumah pakai fasilitas KPR, biasanya saya diminta membayar DP sebesar 20% dari harga rumah. Kalau harga rumah Rp 200 juta, berarti DP-nya Rp 40 juta atau Rp 4 juta per bulan dengan asumsi DP bisa dicicil 10 kali. Dengan uang Rp 20 juta, paling nggak cicilan DP untuk 5 bulan ke depan aman kan? Cicilan DP bulan ke 6 dan seterusnya nanti bisa dicari dan dipikirin sambil jalan. Yang penting bayar dulu tanda jadinya. Pengalaman saya sih kalau sudah niat dan mantap membeli rumah, bisanya ada aja jalannya sehingga saya bisa melunasi semua kewajiban, termasuk membayar biaya BPHTB, AJB, notaris, dan lain-lain.. Kerja jadi lebih semangat karena terpacu pengen punya sesuatu, dalam hal ini rumah. Ya pastinya kita memang harus berusaha keras mengumpulkan uang, nggak bisa cuma duduk ongkang-ongkang kaki sambil berharap menang undian hehe.

Beres urusan DP, tugas kita selanjutnya adalah rajin-rajin berdoa biar pengajuan KPR kita disetujui bank.. ^_^ Kalau bank menyetujui pengajuan KPR kita, berarti aman deh tuh. Kita tinggal akad kredit terus mulai bayar cicilan bulanannya. Tapi kalau pengajuan KPR kita ternyata ditolak juga bukan berarti kiamat yaa... Jangan buru-buru sedih apalagi sampai pengen bunuh diri. Rugi amat… Mendingan segera cari bank lain dan buat pengajuan KPR lagi ke bank tersebut. Meskipun secara umum persyaratan yang diminta semua bank saat kita mengajukan KPR relatif sama, tapi masing-masing bank punya kebijakan tersendiri yang memungkinkan kita lolos di salah satu bank, meskipun sebelumnya ditolak di bank lain. Yang penting kita memenuhi semua persyaratan untuk mendapat fasilitas KPR. Kalau nggak punya penghasilan tetap atau usia kita waktu mengajukan KPR nyaris 60 tahun sementara jangka waktu KPR yang kita minta 20 tahun, biar ngajuin KPR ke 10 bank juga udah pasti nggak bakal dikabulin hehe..

Kalau punya pinjaman KPR di bank, nggak usah terlalu diitung-itung dan ditunggu-tunggu kapan lunasnya, apalagi sampai badan kurus kering mikirin itu doang. Biarin aja (tapi dibayar, tentunya). Dengan berjalannya waktu, lama-lama kita akan terbiasa kok penghasilan kita dipotong setiap bulan untuk membayar cicilan. Kalau kebetulan lagi punya rejeki lebih, kita bisa melunasi sebagian pinjaman di bank (biasanya kena penalti tapi jumlahnya nggak gede-gede amat, tergantung dari besarnya pinjaman kita) biar pinjaman cepat lunas. Nggak terasa kok, pada saatnya nanti tahu-tahu pinjaman kita pasti lunas juga.

Satu hal yang harus disadari, semakin lama harga rumah semakin gila-gilaan. Tentu saja, luas bumi dari dulu ya cuma segitu-segitunya, sementara jumlah manusia yang membutuhkan rumah makin bertambah. Makanya, mumpung masih ada rumah yang bisa dibeli, mulailah untuk berhemat, menabung, dan berencana untuk beli rumah karena, yakinlah sumpah, membeli rumah di lokasi yang tepat nggak ada rugi-ruginya sama sekali dan bisa jadi investasi berharga di kemudian hari.