Jumat, 30 Juli 2010

BUANG UANG UNTUK BIKIN MESIN UANG

Beberapa minggu terakhir ini adalah hari-hari super sibuk buat saya. Sibuk ngapain? Ehm, saya lagi sibuk 'buang-buang' uang! :-D

Mungkin ada yang langsung komentar, 'sombong amat uang dibuang-buang!'. Ups, tunggu dulu! Saya nggak sembarangan buang uang untuk hal-hal yang nggak penting. Sebaliknya, saya justru lagi banyak membuang uang untuk bikin mesin uang. Ya, saya lagi bikin usaha baru lagi.

Saya memang banyak maunya. Punya 4 majalah musik dan toko alat musik nggak membuat saya cepat puas. Saya masih menyimpan keinginan untuk buka rental studio dan kursus musik. (Sebuah keinginan yang agak aneh mengingat sampai saat ini saya belum juga bisa memainkan alat musik ^_^) Banyak orang punya usaha rental studio, majalah musik, kursus musik atau toko alat musik. Tapi kayaknya masih jarang (atau malah belum ada?) yang sekaligus menggabungkan empat-empatnya. Saya sudah punya majalah musik dan toko alat musik, kalau sekalian buka studio rental dan kursus musik pasti sip markusip. Promonya bisa bareng dan saling mendukung. Event majalah bisa melibatkan toko, studio dan orang-orang yang kursus musik di tempat saya. Sebaliknya, promo toko, studio, dan tempat kursus bisa dimuat di majalah. Cihuy banget kan?

Nah, proses membangun usaha baru inilah yang membuat saya banyak 'buang-buang uang'. Soalnya jenis usaha yang saya pilih saat ini memang membutuhkan modal uang, meskipun dengan berbagai cara saya sudah berusaha banget untuk menekan pengeluaran. Ya, beginilah kalau pengusaha banyak maunya tapi modal pas-pasan.. :-p

Bikin studio rental, yang saya butuhkan pertama kali tentu saja ruangan untuk disulap jadi studio. Ternyata semua ruangan di rumah yang saya sewa untuk dijadikan toko sekaligus kantor majalah sudah penuh sesak. Terpaksa deh saya nyewa satu rumah lagi di dekat-dekat toko untuk mengungsikan kantor majalah. Bayar sewanya pake apa? Ya, pake duit dooong.. *buang duit jilid satu*

Rumah baru yang saya sewa ternyata nggak ada AC dan sambungan internetnya. Padahal kalau nggak ada AC dan sambungan internet, karyawan majalah saya nggak bisa kerja dengan maksimal. Nggak mungkin kan mereka dimodalin kipas satu-satu plus duit lima rebu perak buat ngenet di warnet? Mau nggak mau saya harus beli AC, pasang sambungan internet, dan belakangan nambah beli dispenser juga untuk kantor baru.. *buang duit jilid dua*

Kantor redaksi udah aman. Gimana dengan studio impian? Setelah ada ruangannya, saya harus pasang peredam ruangan biar nggak dipelototin tetangga sekitar. Tentunya juga biar yang nyewa studio saya merasa nyaman. Mulailah saya mencari tukang untuk membuat peredam ruangan dan menyiapkan alat-alat yang dibutuhkan seperti triplek, glass wool, gypsum, karpet, dan kawan-kawannya. Bayar tukang dan beli alat-alat pake apaaaa? Yak, pinter.. pake duit! *buang duit jilid tiga*

Urusan peredam ruangan sudah beres, sekarang waktunya mengisi studio dengan alat-alat band seperti gitar, bass, ampli, drum, mike, mixer dll. Oh ya, jangan lupa penjaga studionya! Saya merekrut seorang karyawan lagi, khusus untuk menjaga studio. Pengeluaran yang lumayan besar. Apanya yang dikeluarin? Duit, tentu saja! *buang duit jilid empat*

Kalau toko dan studio jalan, pasti bakalan banyak orang datang ke tempat saya dong. saya langsung kepikiran buka kantin kecil-kecilan di halaman toko dan studio. Rencananya sih pengen jualan makanan dan minuman ringan buat tambah-tambahan pemasukan. Modalnya nggak gede kok. Tinggal siapin meja, kursi, etalase dan pernak-pernik lainnya. Tapi sekecil-kecilnya modal yang harus dikeluarkan, tetep aja namanya duit.. *buang duit jilid lima*

Baru beres ngurusin studio rental, saya sudah ngos-ngosan nggak punya uang. Gimana kursus musiknya? Kayaknya saya harus bersabar nih. Sekarang saatnya membuat mesin uang saya nyetak uang dulu, baru nanti 'buang-buang uang' lagi. Nggak ada ruginya kok buang uang kalau untuk bikin mesin uang. Soalnya, mesin uang yang saya bikin -seharusnya- bisa menghasilkan uang lebih banyak lagi daripada yang sudah saya buang untuk membuatnya. Itulah asyiknya bermain dengan uang yang selalu bikin saya ketagihan. Wah, jadi nggak sabar deh nunggu mesin uangnya menghasilkan uang... :-D

Kamis, 01 Juli 2010

PENGEN PUNYA RUMAH? HARUS NIAT DAN SEDIKIT NEKAT! :-D

“Pengen punya rumah sendiri, tapi mau beli belum mampu,” curhat salah seorang teman saya suatu ketika. Padahal saya tahu banget, saat itu penghasilannya hampir dua kali lipat penghasilan saya. Jadi kenapa saya mampu beli rumah sementara teman saya nggak? Jawabannya sederhana banget; tergantung niat!

Beli rumah memang harus diniatin. Nggak bisa cuma sekadar kepengen, sekadar jadi wacana yang tersimpan rapi di dalam hati dan pikiran atau diucapkan saja berulang-ulang. Kalau begitu doang sampai sariawanan juga nggak punya-punya rumah dong..^_^ Kita harus mulai melakukan tindakan nyata untuk mewujudkan impian punya rumah. Dan sebetulnya itu bukan hal yang sangat sulit, asal ya itu tadi; niat. Kalau cuma pengen doang tapi nggak niat ya repot.

Seperti teman saya tadi. Ia mampu makan di resto setiap waktu, sanggup bayar biaya perawatan tubuh di salon mahal, beli baju, parfum, tas dan sepatu bermerk, liburan ke luar kota, dan lain-lain tapi ngakunya nggak mampu beli rumah. Walah, itu sih namanya bukan nggak mampu, tapi memang nggak menjadikan rumah sebagai prioritas yang harus dibeli.. ^_^

Waktu memutuskan untuk beli rumah, saya menggeser semua kebutuhan yang lain agar bisa menabung untuk DP rumah. Saya rela ‘puasa’ beli barang-barang tertentu selama ‘masa perjuangan’ itu. Kalau sebelumnya sebulan saya bisa 4 kali beli baju, setelah niat beli rumah saya kurangi jadi cuma satu kali saja. Tadinya hobi jajan di restoran, demi mewujudkan impian beli rumah untuk sementara waktu saya menarik diri dari peredaran di sekitar mall dan resto. Jadwal liburan ke luar kota saya coret, diganti dengan liburan di dekat-dekat rumah yang murah meriah. Saya juga menjauhi hal-hal yang sekiranya bisa menggoyahkan niat saya untuk menabung dan terus menerus menanamkan niat di benak saya bahwa saya melakukan semua itu biar bisa beli rumah.

Satu hal yang saya yakini sejak awal, kalau kita sudah niat pengen punya rumah, pasti ada aja jalannya untuk mewujudkannya. Banyak orang berpikir, ‘Ah gaji saya kan cuma segini, sementara kalau mau beli rumah harga sekian harus menyisihkan sekian juta buat bayar cicilan.. kayaknya belum mampu beli rumah sekarang.. nanti aja deh, nunggu kalau udah siap.’ Berdasarkan pengalaman saya, kalau nggak nekat kita nggak bakal pernah merasa siap beli rumah. Tapi punya uang sedikit, kalau kita niat dan nekat pasti kita bisa beli rumah, asal sesuai budget dan kemampuan. Misalnya aja nih, punya tabungan Rp 20 juta dan penghasilan cuma Rp 5 juta sebulan.. ya jangan nekat pengen beli rumah yang harganya Rp 700 juta yang DP-nya Rp 140 juta sendiri. Itu namanya bukan nekat lagi, tapi ngawur! ^_^

Menabung doang tapi nggak buru-buru dibelikan rumah dengan alasan jumlahnya belum cukup juga bukan ide yang baik. Saat tabungan kita bertambah, harga rumah keburu naik. Sampai jenggotan nabung, uang kita nggak akan pernah cukup untuk beli rumah secara tunai. Itulah gunanya ada fasilitas KPR (Kredit Pemilikan Rumah) yang disediakan oleh banyak bank. Manfaatin aja!:-p

Kalau pengen kredit rumah, rajin-rajinlah baca brosur yang berisi syarat-syarat menggunakan fasilitas KPR yang biasanya disediakan oleh bank. Jangan cuma ngisi TTS sambil berharap menang undian doang. Kelamaan! Satu lagi, sering-seringlah melihat-lihat rumah yang lagi kita incar. Pengalaman saya sih dengan sering melihat rumah impian, niat dan tekad kita untuk segera membeli jadi semakin terpacu. Dan -sekali lagi- kalau udah niat dan nekat pengen punya rumah, pasti adaaaa aja jalannya untuk mewujudkannya.

Kalau niat kita masih setengah-setengah, masih angin-anginan antara pengen beli rumah atau memuaskan hasrat untuk membeli barang-barang lain, impian punya rumah sendiri pasti jadi terasa jauuuuh banget dari jangkauan. Niat mau beli rumah, tapi tiap ngelewatin deretan barang yang lagi di-SALE di mall hati kebat-kebit dan nggak bisa menahan godaan untuk membeli, bobol deh tuh tabungan yang udah susah payah dikumpulin untuk DP rumah. ‘Ah, beli baju kan cuma beberapa ratus ribu, nggak ngaruh kali kalau tabungan dikurangin segitu..’ Mungkin pernah punya pikiran seperti itu? Jangan salah! Kita menabung dari beberapa puluh ribu yang dikumpulkan sedikit demi sedikit jadi beberapa juta, lalu beberapa puluh juta. Kalau belum apa-apa dikurangin beberapa ratus ribu ya nggak banyak-banyak. Jangan meremehkan uang kecil. Bahkan uang satu juta pun nggak genap kalau kurang –contoh aja nih- seratus perak. Apalagi dua puluh juta, kurang seratus ribu ya nggak dua puluh juta lagi namanya.

Dengan nekat memberanikan diri beli rumah, meskipun kemampuan finansial saya pas-pasan, sebetulnya saya sedang membalik pola pikir saya. Saya nggak berjuang untuk sesuatu yang gampang dulu. Saya justru memulai dengan menaklukan yang sulit dulu, baru yang gampang-gampang diurus belakangan; saya berusaha membeli barang-barang besar (rumah) dulu, baru kemudian membeli barang-barang kecil (sofa, lemari baju, meja makan, karpet, sepatu, tas, pernak-pernik rumah, dan sebagainya). Kalau kita sudah pernah bisa membeli barang yang harganya ratusan juta rupiah, berikutnya kita akan lebih gampang membeli barang yang harganya beberapa juta rupiah, apalagi 'cuma' beberapa ratus ribu rupiah. Setelah kita terbiasa bermain dengan uang ratusan juta, uang beberapa ratus ribu atau beberapa puluh juta jadi terasa lebih mudah diatasi. Sebaliknya kalau kita masih terus berkutat dengan uang kecil, kita harus punya keberanian lebih untuk mulai berpikir tentang uang besar, dan itu jauh lebih sulit dilakukan saat usia kita semakin bertambah dan produktivitas semakin menurun.

“Tapi saya hobi jalan-jalan keluar negeri,” ujar teman saya yang lain, yang mengaku belum juga sukses beli rumah padahal setahun bisa 2-3 kali melancong keluar negeri.

Ya, terserah. Itu kan pilihan masing-masing orang. Tiap-tiap orang punya minat dan prioritas yang berbeda-beda. Ada yang hobinya koleksi baju, ada yang menemukan kebahagiaan dengan keliling dunia, ada yang kepuasan batinnya kalau bisa membiayai sekolah adik-adiknya, ada juga yang baru merasa hidupnya lengkap kalau udah punya mobil atau rumah sendiri, dan sebagainya. Saya menghormati pilihan masing-masing orang dan nggak pernah merasa pilihan saya untuk mendahulukan punya rumah dibandingkan hal-hal lain adalah pilihan yang paling benar, paling oke. Tapi kalau sudah memilih untuk mengoleksi sesuatu barang yang bikin hampir semua uang tersedot ke sana, ya jangan berkeluh kesah kalau nggak bisa-bisa nabung untuk beli rumah. Kan sudah memilih? :-)