Rabu, 26 Mei 2010

BERMIMPILAH SELAGI MASIH GRATIS.. :-D

Kalau lagi stress dan butuh refreshing tapi nggak bisa ninggalin kantor lama-lama, saya biasanya jalan-jalan keluar masuk cluster baru yang sedang dipasarkan di komplek perumahan saya. Belum tentu beli sih. Sekadar mengagumi bentuk bangunan atau ngeliat-liat rumah contohnya aja saya udah senang dan terhibur banget. Jadi, kalau perempuan lain refreshing dengan window shopping di mall, saya meredam stress dengan keliling-keliling di cluster. Puas banget kalau pulangnya berhasil merekam penataan interior rumah yang baru saya liat tadi di dalam angan dan menenteng brosur berikut daftar harganya, meski nggak jarang itu justru memicu stress baru. ^-^

Ya iyalah.. Sama seperti perempuan lain, saya juga suka nggak bisa tidur kalau lagi setengah mati menginginkan sebuah benda tapi nggak atau belum bisa kebeli. Masalahnya, ‘benda’ yang saya inginkan bukan sekadar sepasang sepatu atau sehelai gaun, tapi sebuah rumah! Nggak jarang rumah idaman yang sempat saya lihat sampai terbawa ke dalam mimpi. Yang paling parah, saya pernah sampai lupa menjemput Hugo pulang les gara-gara keasyikan ‘window shopping’ *Ibu yang nggak berbakti* :-D

Ceritanya, sore itu saya dan suami mengantar Hugo les Bahasa Inggris karena karyawan yang biasa mengantar jemput Hugo les sedang berhalangan. Mau ditinggal pulang, waktunya nanggung karena les-nya cuma satu jam. Tapi nunggu di mobil kok bosan juga. Saya lalu punya ide untuk mengisi waktu dengan melihat-lihat rumah contoh di cluster baru yang letaknya nggak begitu jauh dari tempat les Hugo. Ternyata rumah contohnya keren abis! Ckckck… saya sampai lupa ingatan, lupa daratan, dan lupa kalau punya anak yang harus dijemput dari tempat lesnya gara-gara mengagumi rumah itu. Kalau waktu itu saya nggak pergi bareng suami, mungkin saya juga lupa kalau punya suami hahaha..

Akhirnya saya memang nggak berhasil beli rumah yang ya-ampun-bagus-banget itu karena kemahalan untuk ukuran kantong saya. Bukannya nggak mungkin kebeli sih, tapi kalo belinya sekarang-sekarang, saya lompatnya ketinggian. Saat ini, saya ‘kelasnya’ baru bisa beli rumah di bawah Rp 500 juta-an, sementara rumah yang bikin saya nggak bisa tidur berhari-hari (sampai sempat kepikiran menjual semua aset yang saya punya untuk ‘ditukar’ dengan rumah itu :-p) harganya hampir Rp 2 milyar! Apa nggak ketinggian tuh mimpinya? Hehe..

Tapi saya nggak merasa bersalah pernah punya mimpi setinggi itu dan nggak kapok mengulang mimpi yang sama dengan versi yang berbeda. Soalnya, saya bisa meraih semua hal yang saya miliki saat ini awalnya dimulai dari sebuah mimpi. Dulu saya selalu memimpikan ingin punya rumah, mobil, dan buka usaha sendiri. Saya lalu berjuang untuk meraih dan mewujudkan mimpi-mimpi itu satu per satu, setahap demi setahap. Meskipun harus melewati proses yang panjang berliku, saya nggak pernah putus asa dan tetap konsisten pada tujuan awal, seberat apa pun rintangan yang harus dihadapi.

Saat menginginkan sesuatu, saya mengukir keinginan itu di benak saya dan menjadikannya sebuah tekad. Berdasarkan pengalaman, kalau tekad sudah kuat biasanya itu akan memotivasi saya untuk mewujudkannya, nggak peduli bagaimana pun caranya dan betapa pun keras usaha yang harus saya lakukan. Waktu lagi ngebet setengah mati pengen beli rumah, misalnya. Saya bisa nekat bayar tanda jadi meskipun uang di tabungan sebetulnya nggak cukup untuk bayar DP –seperti yang pernah saya ceritakan di postingan sebelumnya. Percaya nggak percaya, keinginan yang luar biasa besar ternyata bisa membuat kita mampu melakukan apa saja yang dalam kondisi biasa rasanya mustahil. Mimpi membuat hidup saya lebih ‘kaya’, lebih berwarna. Berani bermimpi setinggi mungkin menempa saya jadi lebih tangguh, lebih kreatif. Dan tantangan saat berusaha mewujudkannya membuat saya lebih bersemangat, lebih bergairah menghadapi hari esok.

Jangan pernah merasa mimpi kita terlalu tinggi untuk diraih. Waktu gaji saya dan suami nggak Rp 3 juta biarpun sudah digabung, punya rumah seharga Rp 200 juta rasanya impian yang jauuuh dan tinggiiii banget buat saya. Tapi saya memilih untuk tetap memimpikannya. Nggak sekadar bermimpi, saya berjuang untuk membelinya meskipun dalam prosesnya saya kepentok-pentok kanan-kiri, jatuh bangun berdarah-darah, dan senam jantung setiap saat. Toh akhirnya saya mampu mengatasi itu semua dan melewatinya. Setelah beberapa kali berhasil beli rumah yang harganya Rp 200 juta-an, saya lalu mencoba ’naik kelas’ dengan mengincar kavling seharga Rp 330 juta-an. Nggak masuk akal? Tapi akhirnya saya bisa juga tuh memiliki kavling itu, biarpun harus menjual dan menggadaikan aset yang saya punya. Sekarang, saat saya naksir berat sebuah rumah seharga Rp 1 milyar, saya lebih yakin bisa memilikinya meskipun angka segitu buat saya luar biasa besarnya.

Tentu saja saat berjuang mewujudkan mimpi kita harus pakai taktik dan pintar-pintar ngatur strategi. Untuk mendapatkan rumah Rp 1 milyar ini, salah satu rumah yang dulu saya beli seharga Rp 200 jutaan, saya jual dan laku seharga Rp 375 jutaan. Dipotong pajak penjual, biaya surat-surat dan komisi marketing, bersih-bersihnya saya dapat Rp 355 juta. Cukup buat bayar DP rumah 1 milyar dan biaya surat-surat, sisa pembayarannya akan saya cicil pakai fasilitas KPR. Kok kayaknya gampang amat? Iya, dibikin gampang aja.. Hidup udah susah, kalau semua-semua dibikin susah, bisa mabok muntah darah kita menjalaninya.. ^_^

Apa nggak berat tuh nyicil Rp 700 juta? Kalau dipikir-pikir memang berat. Tapi beberapa tahun terakhir ini saya belajar untuk nggak berpikir terlalu jauh ke depan. Punya hutang KPR yang harus dicicil 10 tahun, misalnya. Kalau mikirnya, ‘Lama banget sih terus-terusan bayar cicilan selama 10 tahun,’ atau ‘Lima tahun lagi saya masih mampu nggak ya bayar cicilannya?’ atau ‘Kalau beberapa tahun ke depan tiba-tiba kena krismon atau bank-nya dilikuidasi gimana?’ capek banget tuh otak kita diajak mikir sejauh itu. Bisa-bisa sampai tua kita nggak berani-berani nyicil rumah, atau melakukan apa pun kalau belum-belum mikirnya udah kejauhan *mikir yang serem-serem pula :-D*. Berencana sih boleh-boleh aja, harus malah. Tapi ngapain capek-capek memprediksi sesuatu yang belum tentu terjadi? Apalagi kalau pikiran itu bikin kita down duluan.. Rugi amat!

Begitu juga saat memutuskan mengelola usaha sendiri. Daripada pusing-pusing mikirin ‘aduh, majalahnya laku nggak ya?’ atau ‘nanti kalau kehabisan modal gimana?’ mendingan kerjakan saja dulu apa yang sudah menunggu di depan mata, yang bisa dikerjakan segera. Membuat isi majalah sebagus-bagusnya, misalnya. Atau mulai membuat jaringan distribusi untuk majalah yang kita buat. Saat dipilah satu per satu, pekerjaan yang harus kita lakukan bisa jadi sebetulnya sederhana saja. Tapi begitu ditumpuk jadi satu di otak belum-belum sudah bikin kita frustasi duluan. Makanya, dijalani dan dibiarkan mengalir saja. Ada hal-hal atau masalah tertentu di dalam hidup ini yang kadang nggak mampu kita selesaikan, kita cari sendiri solusinya. Tapi yakinlah semua pasti akan terlewati seiring dengan berjalannya waktu, dengan campur tangan faktor-faktor lain di luar diri kita yang mungkin bahkan nggak pernah terpikirkan oleh kita. Untuk itu, kita harus berusaha dan mau membuka diri menerima berbagai kemungkinan.

Saya percaya banget, nggak ada usaha yang sia-sia. Kalau kita tekun dan ngotot memperjuangkan sesuatu, pasti deh ada hasilnya meskipun mungkin nggak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Sejujurnya, saya dapat ‘ilmu ajaib’ ini dari suami tercinta. Dulu saya suka mikir segala sesuatu jauh banget ke depan. Dari suami saya belajar memandang masalah satu per satu, dimulai dari yang paling dulu harus dihadapi. Kalau nyicil rumah pakai KPR selama 10 tahun, pikirin aja pembayaran cicilan untuk bulan pertama, yang paling dekat dengan hari ini. Cicilan untuk bulan berikutnya lagi urusan nanti. Otak kita jadi nggak capek dan kita juga jadi lebih tenang, lebih berani melakukan hal-hal yang agak ‘nyerempet-nyerempet bahaya’ kalau kita memulainya dengan melangkah satu per satu dari langkah kecil yang sederhana dan sudah ada di depan mata.

Dengan pola pikir seperti itu, saya jadi yakin kalau nggak ada mimpi yang terlalu tinggi untuk diraih asal saya mau berjuang untuk menggapainya. Tapi sebuah mimpi tetap akan menjadi impian kosong yang nggak berarti apa-apa kalau kita nggak pernah melakukan apa pun untuk mewujudkannya, membiarkannya berhenti hanya sebatas mimpi saja. Jadi, jangan pernah takut bermimpi. Setinggi apa pun mimpi kita, yakinlah kita pasti mampu meraihnya meskipun untuk itu kita harus melewati jalan yang panjang-becek-curam-berliku. Memang sih, pada kenyataanya nggak semua mimpi bisa terwujud seindah seperti waktu masih ada di angan-angan. Tapi nggak ada ruginya kok kita sering-sering bermimpi. Toh gratis ini. Kecuali kalau harus bayar mahal setiap kali pengen mimpi, nah baru harus mikir panjang lebar dulu sebelum mulai bermimpi..^_^

Selasa, 25 Mei 2010

JADI BISANYA APA?

Seorang klien bertanya pada saya dengan nada yakin, “Punya 4 majalah musik, dan toko alat musik pasti Bu Intan jago main musik ya?”

“Nggak juga…” jawab saya kalem.

“Ya, paling nggak main gitar pasti bisa dong?”

“Wah, nggak tuh. Saya dan suami sama sekali nggak bisa main musik.”

“Oh, kalau gitu pasti ngerti banget soal musik ya? Bu Intan kan yang bikin-bikin artikel di majalah?”

“Jangan nuduh gitu dong, Pak. Masing-masing majalah saya ada penanggung jawab redaksinya dan saya nggak ikut-ikutan nulis karena saya nggak ngerti-ngerti banget tentang musik dan alat musik..”

“Lho, nggak bisa main musik dan nggak ngerti musik kok punya majalah musik?”

“Emang nggak boleh ya?”

“Boleh sih.. cuma aneh aja… Atau mungkin Bu Intan generasi kedua usaha ini ya? Hmm…maksudnya gini, dulunya orang tua Bu Intan atau Pak Eka usaha majalah dan toko musik, terus Bu Intan yang melanjutkan?”

“Nggak, Pak.. Saya dan suami merintis dari awal usaha ini. Kami yang memulainya dari nol, dari belum ada bentuknya…”

“Oh… “ Si bapak menatap saya dengan tatapan yang sulit saya tangkap maknanya. Mungkin dia lagi terheran-heran dan dalam hati bertanya-tanya, “Jadi Bu Intan bisanya apa?”

Sejujurnya, nggak sekali dua kali pertanyaan seperti ini mampir ke telinga saya. Sejauh ini sih saya selalu berusaha menjawab dengan sabar dan bijaksana (cuih! :-p). Tapi saat saya mencoba menjawab sejujur-jujurnya, nggak sedikit teman yang lalu geleng-geleng kepala antara heran, nggak percaya dan pengen nimpuk.. ^_^

Sejak awal menggeluti usaha majalah dan toko alat musik, saya memang nggak bisa main musik, nggak punya pengetahuan yang sangat luas tentang musik, dan nggak jago menulis artikel-artikel musik. Saya juga bukan ahli manajemen, nggak pernah kursus keuangan, dan belum sekalipun mengikuti pelatihan dasar-dasar kepemimpinan. Bahkan modal uang dalam jumlah besar pun saya nggak ada. Saya cuma punya keberanian untuk mewujudkan mimpi, kemauan untuk selalu belajar, kejelian menangkap peluang, serta sedikit keberuntungan.

Nggak heran, kalau karir saya sebagai pengusaha yang bergelut di bidang musik diwarnai beberapa ‘insiden’ yang mungkin buat orang lain memalukan. Saat melayani pelanggan di toko musik, misalnya, saya sebagai penjual seringkali kalah pinter sama pembeli. Si pembeli sudah tahu bentuk alat musik yang dicarinya, fitur-fiturnya, keunggulannya serta cara memakainya, saya kadang ngeliat barangnya aja belum pernah, cuma tahu harganya (karena pegang price list dari distributor). Begitu ada yang nanya alat musik tertentu yang bentuknya pun belum pernah saya lihat, Oom Google-lah andalan saya. Dari Oom Google saya tahu seperti apa alat musik yang dimaksud pelanggan, lengkap dengan spec dan harganya, tapi tetep aja nggak tahu cara memakainya. Sampai-sampai teman-teman distributor alat musik suka ngeledek, “Jualan kok nggak tahu barang tapi tahu harga...” Tapi anehnya, “Kok bisa laku juga ya?” komentar mereka.. Hehe.. *Belakangan saya malah jadi akrab sama pelanggan itu dan banyak belajar tentang alat musik dari dia*

Seorang teman saya, dia adalah gitaris band rock ternama, sempat merasa amat sangat ‘tertipu’. Gara-garanya, di awal-awal kami berkenalan dulu dia mengaku hati-hati banget ngobrol soal gitar dengan saya dan suami.

“Takut salah ngomong. Ngobrol sama yang punya majalah musik, pasti pengetahuan tentang musik dan gitarnya luas banget,” ujarnya.

Setelah kami kenal lebih lama, barulah saya ketahuan ‘belangnya’. Ternyata orang yang selama ini dianggapnya sakti mandraguna dalam hal pergitaran sama sekali nggak bisa main alat musik dan pengetahuan musiknya pun pas-pasan. Langsung deh dia merasa kena tipu.. ^_^

Saat memutuskan untuk menekuni suatu usaha kita memang HARUS PAHAM bidang yang akan kita geluti, tapi NGGAK HARUS BISA mengerjakan semua pekerjaan sendiri. Banyak orang yang nggak terlalu jago masak tapi bisa buka restoran. Dan nggak sedikit yang sama sekali nggak bisa menjahit tapi sukses mengelola usaha konveksi atau buka toko pakaian.

Orang yang ahli di satu bidang bukan jaminan pasti mampu menjalankan usaha. Seorang koki, misalnya, mungkin jago banget bikin aneka masakan tapi belum tentu berani dan mampu bikin restoran sendiri. Sementara orang yang nggak begitu pintar masak bisa jadi malah sukses buka restoran karena memahami betul seluk beluk usaha tersebut secara detil. Satu hal yang saya pahami belakangan, seorang pengusaha dituntut untuk mampu melihat setiap permasalahan di usaha yang digelutinya dari semua sisi, secara menyeluruh. Seorang pengusaha harus punya kemampuan untuk mengelola, memimpin, mengatur strategi, dan mengambil keputusan, bukan sekadar mampu melakukan sendiri semua pekerjaan di tempat usahanya.

Barangkali banyak pengusaha lain yang selain memahami seluk beluk usahanya secara detil dan punya kemampuan mengelola usaha yang baik, juga mampu mengerjakan semua jenis pekerjaan di usaha yang digelutinya, meskipun akhirnya bukan dia sendiri yang kemudian melakukannya. Tapi dengan keterbatasan kemampuan yang saya miliki, saya harus mengakui kalau saya bukan termasuk salah satu di antara mereka. Apakah saya malu dan jadi minder dengan keterbatasan saya? Nggak juga tuh. Saya mungkin nggak bisa menulis artikel musik yang cihuy, tapi saya paham proses produksi dan distribusi majalah serta cara menjalankan usaha ini secara keseluruhan, bukan hanya per bagian saja. Yang lebih penting saya mampu menempatkan orang yang tepat di posisi yang tepat serta mengelola orang-orang tersebut –juga unsur-unsur lain di usaha yang saya tekuni- agar bersama-sama bisa mencapai hasil yang diharapkan.

Jadi, jangan keburu putus asa duluan kalau kita ingin buka usaha di bidang tertentu, tapi nggak punya kemampuan untuk turun tangan langsung menangani semua pekerjaan di kantor. ^_^

Minggu, 23 Mei 2010

JUALAN BERMODAL BROSUR

Memenuhi kebutuhan pasar, alat musik yang di-display di toko saya sudah semakin banyak dan lengkap. Belum lagi yang di gudang. Rumah kontrakan yang saya jadikan toko dan baru ditempati 6 bulanan ini langsung penuh sesak dalam sekejap (nggak sekejap juga sih, emangnya sulapan? :p). Tapi itu pun ternyata belum cukup memenuhi permintaan pelanggan karena belakangan saya baru sadar, produk alat musik itu jenis dan merknya sangat beragam. Sebetulnya saya tahu banget cara membuat toko alat musik yang lengkap dan banyak variasi barangnya. Asak kita siap modal uang dalam jumlah besar itu gampang diatasi, Masalahnya dana saya cekak, cuma semangatnya aja yang luar biasa besar hehe..

Soalnya buka toko alat musik ternyata banyak ‘godaannya’. Awalnya saya cuma jualan gitar, bass, ampli, drum dan aksesoriesnya. Tapi pembeli yang datang ke toko suka tanya yang lain-lain. Misalnya, “Ada mixer 32 channel nggak?” Padahal toko saya punya persediaannya yang 12 dan 16 channel. Begitu saya stock mixer yang 32 channel, datang pelanggan lain yang cari mixer 24 channel.. tapi merk A. Sementara saya punya merk-nya C doang.. Walaaah.. ^_^

Sebagai pedagang yang baik dan benar, saya tentunya nggak pengen mengecewakan pelanggan. Setiap ada yang nanya barang tertentu yang belum ada di toko, saya segera cari informasi tentang barang tersebut di internet atau langsung ke distributornya, lalu buru-buru menyediakannya di toko. Tapi kalau diikutin terus, upaya melengkapi barang dagangan di toko ternyata nggak tamat-tamat. Apalagi belakangan toko saya mulai dikunjungi orang-orang yang berbelanja perangkat sound system. Modal buat belanja gitar atau ampli biar kelihatan ada stock di toko mungkin cukup Rp 10-20 jutaan. Lah, kalau sound system? Sudah merogoh kantong Rp 100 juta juga masih kurang. Kalau langsung ada yang beli sih lumayan. Tapi kalau nggak laku-laku dan barang itu nangkring di toko berbulan-bulan? Ya, duit segitu terpaksa mandek, nggak bisa diputar.

Kalau ingin toko berkembang, saya memang harus bisa memenuhi kebutuhan pelanggan dan menjadi toko alat musik yang bisa diandalkan. Pelanggan bisa ilfil duluan dong kalau setiap kali datang untuk cari alat musik, ternyata di toko saya nggak ada dan saya nggak bisa menyediakan? Jadi, memang perlu modal untuk melengkapi barang dagangan di toko, kecuali saya cukup senang dengan kondisi toko yang segitu-segitu aja. Kebetulan saya bukan orang yang cepat puas dalam hal bermain uang. Kalau ada kesempatan untuk membuat uang saya berkembang menjadi lebih banyak lagi, saya pasti tergoda untuk mengusahakannya.. Terlanjur basah, ya udah nyebur sekalian. Dalam hal ini saya harus mengakui, syair lagu dangdut pun kadang-kadang inspiratif.. ^_^

Seperti yang sudah saya tulis di awal, nggak ada masalah kalau saya adalah pengusaha kaya dengan modal besar. Usaha perlu dikembangkan, tinggal mengucurkan dana untuk tambahan modal. Apalagi saya dan suami melihat prospek usaha ini cukup bagus. Sayang kan kalau nggak dikembangkan secara maksimal? Tapi berhubung uang yang saya punya pas-pasan, saya harus pintar-pintar mengatur strategi –dan uang tentu saja- agar tujuan saya punya toko yang lengkap tercapai dengan modal seminimal mungkin. Kayaknya saya memang akrab banget nih dengan situasi kayak gini; keinginan besar, tapi kemampuan keuangan pas-pasan hehe.. Dan dalam situasi seperti ini, saya sungguh terselamatkan oleh kalimat andalan tentang uang yang konsisten saya terapkan, ‘yang penting bukan berapa banyaknya tapi bagaimana mengelolanya’.. :-D

Saya lalu ganti taktik; nggak lagi stock segala macam barang untuk melengkapi toko, tapi jadi lebih rajin mengumpulkan brosur-brosur alat musik yang biasanya disediakan oleh distributor. Suami juga lebih rajin cari informasi sebanyak-banyaknya tentang produk yang banyak diminati orang dan curi-curi ilmu dari teman-teman distributor alat musik. Inilah untungnya kalau kita selalu menjaga hubungan baik dengan banyak pihak. Begitu buka alat musik, saya merasa terbantu banget karena teman-teman dari distributor berbagai alat musik tersebut men-support saya dan suami dalam banyak hal dan nggak pelit bagi-bagi ilmu.

Nah, kalau ada pembeli datang menanyakan alat musik yang kebetulan nggak tersedia di toko, langsung saja saya dan suami bagi tugas. Sementara suami menyodorkan brosur atau foto dan spec barang yang biasanya ada di internet, saya blingsatan menelpon ke distributornya untuk menanyakan kesediaan barang sekaligus mengecek harga (kadang sedang ada promo turun harga atau sebaliknya kenaikan harga untuk produk tertentu). Kalau pembeli sepakat dengan harga yang kami tawarkan dan barang di distributor ready, karyawan toko langsung berangkat mengambil barang tersebut (kalau distributornya ada di sekitar Jakarta). Tapi kalau distributornya di luar Jakarta? Saya jelaskan ke pembeli bahwa barang baru datang besok, dan kalau memang serius membeli, saya minta si pembeli meninggalkan sejumlah uang sebagai tanda jadi.

Ternyata cara itu cukup efektif. Saya nggak perlu modal uang ratusan juta untuk melengkapi toko, tapi pelanggan puas karena setiap kali datang mencari alat musik tertentu saya bisa memenuhi meskipun barangnya nggak selalu ready di toko. Bisa dibilang, pelanggan cari alat musik apa aja saya punya deh! (Kecuali stock barang di distributor memang lagi kosong). Terbukti kan, uang bukan satu-satunya modal penting dalam mengelola usaha? Relasi dengan pihak-pihak yang berhubungan dengan usaha kita juga merupakan modal yang nggak bisa diabaikan. Dan benda yang kelihatannya sepele seperti brosur, ternyata justru bisa tampil sebagai penyelamat. ^_^

Rabu, 05 Mei 2010

TUKANG NGUTANG

Masih seputar kegiatan berhutang, setelah saya ingat-ingat ternyata saya punya pengalaman ngutang yang luar biasa banyaknya. Saking banyaknya, saya kadang curiga jangan-jangan di kening saya ada stempel bertuliskan ‘Tukang Ngutang’ hehe..

Seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, dulu saya paling ogah kalo disuruh ngutang. Padahal di awal-awal menikah godaannya luar biasa banget tuh. Saya sempat 2 tahun tinggal di rumah petak kontrakkan yang terletak di gank sempit di daerah Mampang. Setiap hari ada aja tukang jualan yang keliling kampung menawarkan barang dagangan yang bisa dibeli secara kredit. Mulai dari barang elektronik, taplak meja, sprei, baju tidur sampai panci. Barang-barang itu bisa dicicil harian, mingguan, atau bulanan, tergantung kesepakatan dengan si penjual. Tetangga saya pada hobi banget beli segala macam barang dengan cara kredit. Tapi sedikit pun saya nggak tergoda untuk ikut-ikutan.

Tapi belakangan saya mulai membuka mata dan hati untuk coba-coba ngutang. Saya ingat, pertama kali kepikiran untuk ngutang waktu pengen punya rumah sendiri. Tahu dong, sebuah rumah yang sederhana sekalipun harganya puluhan bahkan ratusan juta rupiah? Dengan gaji saya dan suami saat itu yang nggak lebih dari Rp 3 juta sebulan, rasanya mustahil banget kalau saya nekat berniat beli rumah dengan cara tunai. Katakanlah waktu akan dibeli harga rumah idaman, contoh aja nih, Rp 100 juta. Saya sudah menabung mati-matian, begitu tabungan saya mencapai Rp 100 juta, harga rumah pasti udah keburu naik. Nabung lagi, eh harga rumahnya naik lagi. Begitu seterusnya. Kalau diikutin, bisa sampai botak berjengger nggak kebeli-kebeli deh tuh rumah.. ^_^

Dengan berhutang, impian saya beli rumah jadi lebih masuk akal untuk diwujudkan. Saya cukup mengumpulkan uang untuk DP rumah, sisa pembayarannya bisa memanfaatkan fasilitas KPR yang banyak ditawarkan oleh bank hingga bisa dicicil sampai 20 tahun. Memang saya jadi dikenai bunga pinjaman. Rumah seharga Rp 181 juta, misalnya, kalau dicicil 10 tahun total uang yang akhirnya harus saya bayar pasti lebih dari Rp 250 juta, tergantung suku bunga bank yang sedang berlaku. Tapi daripada nggak jadi beli rumah gara-gara nggak bisa bayar tunai, ya mendingan nyicil ke bank kan? Toh bank memang menyediakan fasilitas itu untuk kita gunakan. Nggak usah malu ngutang ke bank untuk keperluan membeli rumah karena bukan kita satu-satunya orang di dunia ini yang melakukannya. Banyak temennya gitu loh hehe…

Sukses memanfaatkan fasilitas KPR untuk membeli rumah impian, saya lalu memperluas wawasan ngutang untuk memiliki mobil dengan cara kredit. Waktu beli mobil pertama saya, Toyota Kijang LSX tahun 2003, saya terhitung masih pemula dalam hal ngutang. Jam terbang saya belum tinggi, jadi belum jago-jago amat. Target saya waktu datang ke showroom mobil cuma satu; bagaimana caranya agar saya dipercaya untuk mengkredit mobil. Soalnya saya masih trauma gara-gara pernah ditolak waktu mengajukan KPR rumah pertama sampai harus pindah-pindah bank. Ternyata proses kredit mobil jauh lebih gampang daripada rumah. Setelah mengisi formulir dan melengkapi data yang diminta, ada petugas yang survey ke rumah saya untuk menyelidiki kemampuan keuangan saya -sanggup nggak nyicil mobil. Dalam waktu relatif singkat kredit saya langsung disetujui. Dulu saya pikir rumah saya di-survey petugas saat mengajukan kredit mobil karena saya bertampang ‘miskin’ dan nggak meyakinkan.. :-p Ternyata nggak loh. Itu memang proses standar yang harus dilewati semua orang yang akan mengkredit mobil, kecuali mungkin yang udah bolak-balik beli mobil memakai jasa leasing yang sama dan reputasi pembayaran cicilannya bagus.

Begitu usaha saya berkembang, saya makin akrab dengan yang namanya utang. Nggak tanggung-tanggung, saya nekat membeli 3 rumah dan 3 mobil dengan cara kredit dalam waktu nyaris bersamaan. Begitu cicilan mobil pertama hampir lunas, langsung saya sambung dengan nyicil mobil kedua. Cicilan mobil yang satu hampir lunas dan saya lagi butuh tambahan modal untuk mengembangkan usaha? Mobil lain yang sudah lunas cicilannya saya gadaikan lagi ke leasing. Begitu juga dengan rumah. Bisa dibilang, dari pertama punya rumah dan mobil saya hampir nggak pernah ngeliat wujud sertifikat atau BPKP-nya. Lah, wong setiap kali hampir lunas sertifikat rumah dan BPKB mobil rajin banget saya ‘titipin’ lagi di bank atau leasing.. ^_^.

Mertua saya sempat terkaget-kaget waktu suatu ketika saya dan suami buka kartu tentang jumlah cicilan utang yang harus kami bayar setiap bulannya.

“Kalian apa nggak pusing mikirin utang sebanyak itu?” tanyanya.

Saya cuma mesem-mesem.

Buat saya utang bukan untuk dipikirin, tapi untuk dibayar. Dan kalau mau mikirin utang seharusnya justru sebelum kita ngutang, bukan setelah terlanjur ngutang. Saat memutuskan untuk ngutang, kita harus memperhitungkan dan memikirkan betul bagaimana cara membayarnya. Kita sanggup nggak melunasinya, entah dengan cara dicicil atau langsung dilunasi semua? Kalau nggak sanggup, ya jangan nekat ngutang. Tapi kalau sanggup, langsung aja.. hajar bleh! ^_^

Pengusaha dengan modal dengkul seperti saya memang harus berani ngutang, asalkan tujuan berhutang untuk mengembangkan usaha, bukan untuk kebutuhan konsumtif. Kalau nggak ngutang, dari mana saya punya uang untuk menambah modal usaha atau bahkan membuat usaha baru? Ngutang bisa macam-macam caranya. Pengusaha lain mungkin mengandalkan kredit usaha kecil yang banyak ditawarkan oleh bank. Tapi saya mengkombinasikan usaha yang saya tekuni dengan hobi yang saya sukai untuk saling mendukung satu sama lain. Dengan mengelola usaha sendiri, saya jadi punya uang –dari keuntungan usaha- untuk membeli rumah (masih ingat kan, saya hobinya beli rumah loh..^_^). Dengan membeli rumah, saya jadi punya aset untuk menambah modal usaha. Gampangnya gini, kalau lagi punya uang saya beli rumah. Tapi kalau lagi butuh uang, saya ngutang dengan cara menggadaikan rumah ke bank. Perpaduan yang sip markusip kaaaan…

Apa saya nggak malu punya utang di mana-mana? Sejauh ini sih nggak. Soalnya saya ngutang untuk tujuan yang baik dan jelas. Hutang saya terukur, terencana dan saya mampu membayarnya (kecuali mendadak terjadi hal-hal di luar kuasa saya –misalnya kena musibah bencana alam, kerusuhan, dan sejenisnya yang membuat usaha saya terpaksa tutup dan nggak bisa jalan lagi). Kalau nekat ngutang sana-sini terus nggak bisa bayar, apalagi sama sekali nggak punya gambaran untuk membayarnya, baru deh saya malu banget.. hehe..

Lagipula, meski utang saya banyak, piutang saya di luar lebih banyak lagi kok. Agen-agen yang membantu memasarkan majalah saya kan pakai sistem konsinyasi, setelah majalah edisi terbaru terbit baru dia setor hasil penjualan majalah 2 edisi sebelumnya setelah dipotong retur. Begitu juga pemasang iklan. Begitu iklan dimuat di majalah saya, biasanya mereka baru membayar biaya pemasangan iklan 1-2 minggu kemudian. Tuh kan, bukan cuma saya satu-satunya di dunia ini yang tukang ngutang? ^_^