Selasa, 19 Oktober 2010

JANGAN PERNAH MEREMEHKAN UANG KECIL

Suami saya ngomel-ngomel waktu saya memenuhi teras toko dan studio musik saya dengan dagangan yang menurutnya ‘nggak nyambung’. Ih, di sebelah mana nggak nyambungnya? Biasa aja kali kalau di studio musik jualan makanan ringan, minuman dingin, kopi, mie instan, dan sejenisnya.

“Ini toko dan studio musik, bukan warung sembako,” protesnya waktu melihat saya memberi instruksi ke pegawai toko untuk membersihkan etalase kecil yang kami beli di awal-awal buka toko alat musik dulu. Berhubung pernak-pernik alat musik yang kami jual sudah makin banyak dan nggak muat lagi di etalase itu, suami memutuskan membeli etalase baru yang lebih besar. Akibatnya etalase kecil itu sudah beberapa hari dibiarkan menganggur. Sayang kan udah dibeli mahal-mahal?

Saya diam saja, sibuk mengeluarkan aneka snack yang baru saya beli sambil lewat waktu mau berangkat kerja. “Yang kayak gini dijual Rp 3.000-an ya. Kalau yang gini-gini Rp 1.000. Nah, kalau yang ini dijual Rp 500 aja,” ujar saya, menjelaskan harga-harga barang dagangan ke pegawai.

“Tuh, apalagi harganya cuma gopek. Ngeribet-ribetin, bikin capek yang jualan aja. Untungnya pasti nggak seberapa, orang harganya aja cuma lima ratus perak,” Suami mulai protes lagi. Saya cuek aja. Cuma senyum-senyum doang, tapi tetap melanjutkan perjuangan dibantu pegawai yang kayaknya mulai bingung menentukan arah dan tujuan –mau memihak bos yang mana nih, saya atau suami?…^_^

Buat orang lain (bahkan buat suami yang sudah mendampingi saya hampir 10 tahun :p) mungkin apa yang saya lakukan kelihatan kurang kerjaan banget. Ngapain capek-capek jualan snack harga Rp 500, padahal saya punya usaha penerbitan majalah, toko alat musik, dan rental studio yang keuntungannya sudah pasti jauuuh di atas harga snack dan minuman? Apa masih kurang penghasilan dari jual majalah, alat musik, dan menyewakan studio musik? Hehe.. masalahnya bukan di situ. Saya cuma paling nggak bisa menyia-nyiakan peluang, sekecil apa pun itu.

Sejak buka studio rental, saya memang sudah bercita-cita pengen bikin warung kecil-kecilan di halaman studio dan toko yang kebetulan bertempat di satu lokasi (baca; di satu rumah). Saya mikirnya sederhana aja; orang kalau habis latihan atau nunggu giliran main di studio pasti ada aja yang haus, lapar, atau minimal pengen ngemil. Sementara di sekitar studio dan toko saya -yang letaknya di dalam komplek- sama sekali nggak ada warung. Harus jalan dulu kira-kira 100 meter, baru deh nemu mini market. Kalau udah keburu haus, orang pasti malas dong harus jalan jauh dulu cuma untuk beli sebotol minuman dingin. Bawa bekal dari rumah sebelum berangkat latihan band? Ah, kayaknya itu bukan tipikal anak band banget deh.

Tadinya sempat mau beli kulkas sendiri untuk diisiin minuman dingin. Tapi waktu lagi ngantri di dokter gigi, saya ngeliat di tempat praktek dokter gigi langganan saya itu ada kulkas besar bergambar salah satu produk soft drink ternama, sebut saja merknya ‘Colak-Colek’. Iseng-iseng saya nanya ke mbak asisten dokter gigi, gimana sih caranya biar bisa dapat kulkas kayak gitu. Saya lalu dikasih nomer telepon sales ‘Colak-Colek’, dan bukan saya namanya kalau nggak langsung menelepon si sales begitu sampai di rumah..:-p

Ternyata kerja sama yang ditawarkan pihak ‘Colak-Colek’ cukup menguntungkan. Mereka akan meletakkan kulkas di tempat usaha saya, lalu secara berkala akan mengisinya dengan berbagai minuman ringan yang masih satu pabrik sama si ‘Colak-Colek’ itu. Tentunya saya dapat keuntungan dari setiap botol minuman yang berhasil saya jual. Kalau kulkas rusak, bermasalah, atau perlu di-service, tinggal telepon aja, teknisi ‘Colak-Colek’ yang akan mengurusnya. Kulkas hilang juga bukan tanggung jawab saya –sepanjang nggak dengan sengaja saya jual :p- padahal itu kulkas bakal saya taruh di teras rumah (bukan di dalam rumah) biar lebih menggoda iman orang yang datang ke toko saya untuk membeli minuman dingin di dalamnya (kalau diumpetin di dalam rumah, siapa yang tahu saya jualan minuman?).

“Nggak ada, Bu, yang mau iseng nyolong kulkas 2 pintu ini. Berat banget.. lagian bisa keburu kepergok satpam kalau nekat gotong-gotong barang segede ini..” ujar sales ‘Colak-Colek’ yang kebetulan namanya sama dengan salah seorang pegawai toko saya *informasi nggak penting * :-D.

Enak kaaan… nggak perlu beli kulkas? Keuntungan lain, saya nggak perlu repot-repot belanja minuman setiap kali stock menipis. Kan sales ‘Colak-Colek’ akan rutin berkunjung untuk mengecek dan mengisi kulkas titipannya itu. Memang sih harus bayar di muka untuk setiap minuman yang diisikan ke kulkas. Tapi kan sama aja, punya kulkas sendiri juga saya harus modalin isinya duluan. Plus modalin buat beli kulkasnya lagi!

Minuman udah ada, saya mulai celamitan jualan snack dan teman-temannya. Mungkin ada yang mikir, ‘Semangat amat jualan gitu doang. Emang berapa sih untungnya?’ Jangan salah. Untungnya mungkin memang nggak seberapa. Tapi saya berprinsip jangan pernah meremehkan uang kecil. Keuntungan jual minuman 1 botolnya kurang lebih Rp 1.000, misalnya. Kalau sehari rata-rata laku 15 botol, kan sudah dapat keuntungan Rp 15.000 tuh. Sebulan total keuntungan jadi Rp 450.000. Lumayan kan buat tambah-tambah bayar listrik atau telepon? Padahal kalau toko dan studio rame, pasti penjualannya bisa lebih dari 15 botol. Kalo nggak rame? Idih, kok belom-belom udah mikir jeleknya duluan sih… Harus yakin dan optimis dong kalau mau usaha! ^_^

Begitu juga jual snack. Mungkin saya cuma dapat keuntungan beberapa ratus rupiah untuk 1 bungkus snack yang terjual (kalau yang harganya Rp 500, keuntungannya malah cuma beberapa puluh rupiah). Tapi kalau sehari bisa laku banyak kan tetep aja judulnya uang masuk. Saya percaya, sesedikit apa pun uang, kalau dikumpulkan dengan tekun pasti lama-lama jadi banyak. Saya sudah membuktikannya kok.

Di awal-awal terbit, dua majalah saya, Mr. G dan G2 saya jual seharga Rp 3.000. Rabat yang saya kasih ke agen rata-rata 30%, berarti saya tinggal mengantongi Rp 2.100 per majalah. Itu belum dipotong biaya produksi, operasional kantor, gaji karyawan, dan masih menanggung resiko barang retur kalau nggak laku. Bersih-bersihnya, keuntungan saya nggak nyampe lima ratus rupiah per majalah yang laku terjual. Tipis banget kan? Tapi dengan tekun mengumpulkan keuntungan yang nggak seberapa itu, ternyata saya bisa juga tuh beli beberapa rumah dan mobil. Jadi sekali lagi, jangan pernah meremehkan uang kecil karena kalau dikumpul-kumpulkan uang kecil bisa juga jadi besar.

Lagipula terlepas dari berapa pun keuntungannya, jualan snack dan minuman itu sebetulnya cuma nilai tambah untuk toko dan studio musik saya. Pelanggan yang datang ke toko dan studio nggak perlu repot-repot lari ke mini market terdekat cuma untuk beli minum (begitu balik lagi ke studio untuk nerusin latihan, keburu udah haus lagi :-D). Untuk itu toh saya juga nggak harus mengeluarkan usaha ekstra keras. Pembeli warung bisa dilayani oleh pegawai toko atau studio karena nggak setiap saat mereka melayani pembeli alat musik atau penyewa studio. Belanja barang dagangan juga bisa saya lakukan sambil lewat waktu mau berangkat ke toko.

Kalau yang beli makin rame bisa keteteran dong warungnya? Ya, kalau memang nantinya warung saya ramenya nggak karuan, sampai nggak tertangani lagi sama pegawai toko dan studio, berarti keuntungannya juga udah lebih banyak lagi dong.. Tinggal tambah aja pegawai khusus untuk melayani warung, beres deh.. :-)

Lama-lama, setelah melihat ada juga orang yang tergoda beli dagangan saya, suami mulai bisa menerima kenyataan dan pasrah membiarkan saya jualan barang yang menurutnya ‘nggak nyambung’ itu. “Nggak sekalian jualan sabun sama shampoo? Kali-kali aja ada orang abis beli gitar jadi pengen keramas.” Dia mulai bisa ngeledekin saya. “Asal jangan nekat jualan pembalut wanita lho!” ancamnya. Hahaha..

Jumat, 08 Oktober 2010

PENTINGNYA PUNYA ASET

Beberapa waktu lalu nggak sengaja saya ketemu salah seorang teman masa kecil saya. Kondisinya cukup ‘mengharukan’; ia sedang menenteng keranjang plastik berukuran sedang, berjualan makanan dengan cara berkeliling dari satu perumahan ke perumahan lain.

Saya sering melihat orang berjualan makanan dengan cara seperti itu, tapi nggak pernah seterharu ini. Soalnya, seingat saya –sebut saja namanya Alex- berasal dari keluarga yang cukup berada. Bapak ibunya adalah pengusaha restoran yang cukup sukses. Keluarga ini juga buka toko pakaian di beberapa tempat, yang masing-masing terbilang cukup laris dikunjungi pembeli. Dari kecil Alex dan adik-adiknya sudah dillibatkan dalam usaha milik orang tua mereka. Semua anggota keluarga itu ikut terjun langsung di tempat usaha, mulai dari melayani pembeli sampai mengontrol makanan yang disajikan untuk pelanggan. Dan setelah dewasa, masing-masing anak diberi jatah untuk melanjutkan usaha, seorang satu. Ada yang kebagian mengelola toko dan ada yang mewarisi usaha rumah makan yang semuanya sudah berjalan. Tinggal nerusin doang. Enak banget kan?

Tapi entah bagaimana ceritanya, usaha yang susah payah dirintis oleh orang tua Alex tersebut rontok satu per satu saat dipegang oleh generasi kedua (Alex dan adik-adiknya). Dan jadilah Alex –bekas pengusaha rumah makan dengan banyak karyawan- sekarang luntang-lantung keluar masuk perumahan menjajakan makanan untuk mencari sesuap nasi demi menghidupi keluarganya. Yang lebih tragis, salah satu adik Alex sekarang bekerja jadi tukang masak di salah satu restoran yang dulu milik keluarganya sendiri.

Pertemuan dengan Alex mengajarkan saya banyak hal. Salah satunya, ternyata punya orang tua pengusaha bukan jaminan seseorang bakal sukses jadi pengusaha juga. Soalnya untuk jadi pengusaha dibutuhkan naluri, bakat, jiwa dan keahlian tersendiri yang nggak selalu bisa diwariskan -meskipun pada kenyataannya nggak sedikit juga pengusaha yang sukses mendidik generasi penerusnya menjadi pengusaha yang lebih hebat daripada dirinya.

Pelajaran kedua yang saya dapat –dan ini yang penting menurut saya- jadi pengusaha ternyata harus punya aset. Dari cerita Alex saya baru tahu kalau orang tuanya sama sekali tidak memiliki sendiri bangunan toko atau rumah makan yang dijadikan tempat usaha. Semuanya nyewa, bahkan ketika usaha itu berkembang semakin besar. Saat memperoleh keuntungan, si bapak sibuk membuka cabang baru tapi nggak pernah menginvestasikan uangnya dalam bentuk rumah, toko, kendaraan, dan sejenisnya. Anak-anaknya pun nggak pernah kepikiran ke situ karena selama ini usaha mereka aman-aman saja meskipun tempatnya cuma nyewa. Tapi namanya usaha kan nggak selamanya untung dan menghasilkan. Ada saatnya pasang, ada saatnya surut, dan ada kalanya badai datang mengombang-ambingkan ‘perahu usaha’ yang sedang tenang-tenang dijalankan. Badai ini bisa berupa krismon, trend pasar yang berubah, atau kondisi-kondisi yang terjadi di luar kuasa kita.

Saya pun pernah mengalaminya. Untungnya, di saat usaha lagi terang benderang menguntungkan, saya selalu ingat untuk menabung dan berivestasi –menyiapkan ‘bekal’ untuk bertahan saat cuaca tiba-tiba berubah buruk. Jadi, ketika badai datang dan hampir menenggelamkan ‘perahu usaha’, saya bisa buru-buru melakukan upaya penyelamatan. Menggadaikan atau bahkan menjual aset yang saya punya, misalnya. Bayangkan kalau sama sekali nggak punya simpanan. Pasti lebih sulit menata ulang usaha yang lagi ancur-ancuran tanpa aset yang bisa digadaikan, tanpa uang tunai di tangan.

Mungkin sebagian orang menganggap nggak penting punya aset. Daripada jadi harta tak bergerak dalam bentuk rumah, lebih baik uang diputar untuk mengembangkan usaha, toh tempat dan mobil untuk menjalankan usaha bisa disewa. Sempat juga tuh saya tergoda pengen menerapkan ilmu itu. Tapi pertemuan dengan Alex mengingatkan saya agar tetap mempertahankan aset yang saya punya, sebagai tabungan agar di masa-masa sulit saya masih mampu bertahan.

Punya aset juga berguna waktu saya mau cari pinjaman ke bank, entah untuk beli rumah lagi atau untuk mengembangkan usaha. Karena punya beberapa aset yang bernilai investasi, saya jadi nggak keliatan miskin-miskin amat. Ada harta yang bisa dijadikan jaminan. Bank pun lebih yakin untuk ngasih pinjaman. Maklum, saya kelasnya masih pengusaha kecil-kecilan. Jadi, mau ngutang pun harus kelihatan cukup meyakinkan biar bank percaya ngasih pinjaman hahaha…