Selasa, 03 Maret 2009

BERANI MENGAMBIL RESIKO

Dalam mengelola usaha, saya memegang teguh tiga prinsip; jujur, bisa dipercaya, dan nggak mau menyulitkan orang lain. Saya bikin usaha untuk cari keuntungan. Tapi saya nggak mau menghalalkan segala cara dan main sruduk sana-sini demi mengejar uang. Saya nggak ingin jadi sangat kaya kalau untuk itu saya harus berbuat curang, menyusahkan orang, atau mengambil yang bukan menjadi hak saya.

Mungkin kedengarannya aneh, tapi dari awal terjun ke dunia usaha, saya memang nggak berniat membangun usaha hanya semata-mata untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Buat saya, pekerjaan yang saya tekuni haruslah menyenangkan dan bikin saya nyaman melakukannya. Saya bahagia kalau apa yang saya kerjakan bisa berguna dan memberi manfaat untuk banyak orang. Untung sedikit nggak masalah, toh sedikit demi sedikit kalau dikumpulkan lama-lama jadi bukit… Yang penting majalahnya laku, usahanya jalan, dan orang-orang yang terlibat dalam usaha ini plus pembacanya semua senang.. Udah, saya mikirnya gitu doang hehe…

Karena nggak berasal dari keluarga pengusaha dan nggak dibekali cukup ilmu untuk jadi pengusaha, saya suka-suka aja mengelola usaha ini. Nggak pakai teorinya siapa-siapa dan nggak meniru tips manajemen apapun. Saya cuma menerapkan tiga prinsip yang saya sebutkan tadi. Pokoknya lurus-lurus aja... :-) Nggak disangka-sangka, dengan ilmu acakadut hasil ramuan sendiri, nggak sampai 2 tahun usaha saya sudah berhasil balik modal. Uang di rekening tabungan sudah mencapai Rp 80 juta (sebesar modal awal saya), piutang di luaran kurang lebih Rp 100 juta-an, dan saya sudah punya sebuah mobil meskipun cicilannya belum lunas.

Melihat ada uang cukup banyak di rekening perusahaan, suami langsung gatel pengen mengembangkan usaha.

“Kita bikin majalah baru, yuk!” katanya semangat.

Saat itu saya merasa seperti peserta acara kuis di televisi. Sudah berhasil dapat ‘hadiah’ Rp 80 juta, lalu dihadapkan pada dua pilihan; mau melanjutkan permainan atau berhenti sampai di sini saja. Kalau berhenti dan cari aman, saya punya uang Rp 80 juta. Tapi kalau lanjut ke babak berikut, ada kemungkinan saya bisa meraup keuntungan atau ‘hadiah’ yang lebih besar lagi dengan catatan kalau berhasil melewati babak itu. Kalau gagal? Hilang deh semua uang yang sudah di genggaman.

Tapi kalau sudah memutuskan untuk jadi pengusaha, kita memang harus berani mengambil resiko. Nggak ada bisnis yang bebas resiko, semuanya pasti ada resikonya, sekecil apa pun. Kondisi terburuk, saya bisa bangkrut dan kembali menjadi nol. Dan saya memilih mengambil resiko itu dengan pertimbangan sederhana; dulu saya mulai juga dari nol kok. Sebisa mungkin saya akan berusaha biar nggak kembali menjadi nol. Tapi kalau toh saya gagal, setidaknya saya sudah pernah mencapai satu posisi tertentu, dan itu saya lakukan tanpa pengalaman apapun. Pasti lebih mudah untuk bangkit dan mencapai posisi itu kembali dengan pengalaman yang sudah saya miliki sebelumnya. Jadi? Maju terus pantang munduuur…! :D

Januari 2004, majalah kedua saya –namanya GitarPlus- terbit. Secara konsep dan tampilan fisik, GitarPlus sebetulnya lebih bagus daripada G-Magz tapi dari sisi pemasaran, GitarPlus kalah jauh dibandingkan dengan G-Magz. Penjualannya jeblok banget! Tadinya saya berharap ada tambahan pemasukan dari iklan, tapi sayangnya di edisi-edisi awal belum ada pemasang iklan yang tertarik mempromosikan produknya di GitarPlus. Akibatnya, boro-boro untung, yang ada saya malah rugi terus. Tiap bulan saya terpaksa nombok Rp 5 sampai 7 juta-an. Bukan jumlah yang sangat besar, sebetulnya. Tapi buat pengusaha kecil-kecilan seperti saya, jumlah segitu cukup membuat keuangan perusahaan jadi megap-megap. Saya melakukan subsidi silang dengan cara membiayai sebagian pengeluaran GitarPlus memakai uang G-Magz (sejak awal saya memang memisahkan keuangan GitarPlus dengan G-Magz). Tapi sampai kapan bisa begini terus?

Kalau setiap bulan rata-rata saya rugi Rp 6 juta, dalam setahun setidaknya ‘membuang’ uang Rp 72 juta. Kalau orang lain mungkin sudah buru-buru menutup GitarPlus, tapi saya dan suami tidak. Kami berusaha terus membenahi GitarPlus dan memikirkan segala cara untuk membuatnya bisa tetap bertahan meski untuk itu selama tiga tahun pertama setiap tahun kami harus merelakan sebuah mobil ‘terbuang’. Iya dong, tiap tahun nombok Rp 72 juta, kalau dibeliin mobil kan seharusnya kami sudah punya tiga? Terlanjur nyebur, saya dan suami memutuskan basah sekalian. Meskipun terseok-seok dan nyungsep terus, kami nekat tetap menerbitkan GitarPlus –sambil terus melakukan pembenahan di sana sini. Kami yakin banget suatu saat GitarPlus pasti bisa menghasilkan keuntungan.

Di tahap ini saya sampai pada satu kesadaran baru tentang cara memaknai uang. Pada saat memutuskan untuk bermain dengan uang dan ingin membuat uang kita berkembang, kita harus berani mengambil resiko serta menerima apa pun konsekuensi yang harus dihadapi. Untung dan rugi dalam berbisnis adalah hal biasa. Kita cuma bisa berusaha sebaik-baiknya, tapi uang datang dan hilang tak sepenuhnya bisa kita kendalikan. Jadi santai dan mainkan saja. Jangan dijadikan beban dan nggak usah terlalu menyesali yang sudah lepas dari genggaman.

Saya belajar untuk nggak senang berlebihan pada saat sedang meraup untung besar dan sebaliknya nggak terlalu sedih kalau lagi apes, kehilangan banyak uang. Biasa-biasa saja. Mau lagi punya uang banyak ataupun lagi tongpes, saya juga berusaha tetap hidup sederhana dan nggak seenaknya memakai uang untuk hal-hal yang nggak jelas juntrungannya. Ini cara saya mengamankan diri biar kalau tiba-tiba ‘JAMILAH’ alias ‘JAtuh MIskin LAH yaw…‘, jatuhnya nggak sakit banget. Kalau tiba-tiba kaya sih nggak usah diantisipasi, saya pasti bisa segera menyesuaikan diri hehehe…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar