Rabu, 26 Mei 2010

BERMIMPILAH SELAGI MASIH GRATIS.. :-D

Kalau lagi stress dan butuh refreshing tapi nggak bisa ninggalin kantor lama-lama, saya biasanya jalan-jalan keluar masuk cluster baru yang sedang dipasarkan di komplek perumahan saya. Belum tentu beli sih. Sekadar mengagumi bentuk bangunan atau ngeliat-liat rumah contohnya aja saya udah senang dan terhibur banget. Jadi, kalau perempuan lain refreshing dengan window shopping di mall, saya meredam stress dengan keliling-keliling di cluster. Puas banget kalau pulangnya berhasil merekam penataan interior rumah yang baru saya liat tadi di dalam angan dan menenteng brosur berikut daftar harganya, meski nggak jarang itu justru memicu stress baru. ^-^

Ya iyalah.. Sama seperti perempuan lain, saya juga suka nggak bisa tidur kalau lagi setengah mati menginginkan sebuah benda tapi nggak atau belum bisa kebeli. Masalahnya, ‘benda’ yang saya inginkan bukan sekadar sepasang sepatu atau sehelai gaun, tapi sebuah rumah! Nggak jarang rumah idaman yang sempat saya lihat sampai terbawa ke dalam mimpi. Yang paling parah, saya pernah sampai lupa menjemput Hugo pulang les gara-gara keasyikan ‘window shopping’ *Ibu yang nggak berbakti* :-D

Ceritanya, sore itu saya dan suami mengantar Hugo les Bahasa Inggris karena karyawan yang biasa mengantar jemput Hugo les sedang berhalangan. Mau ditinggal pulang, waktunya nanggung karena les-nya cuma satu jam. Tapi nunggu di mobil kok bosan juga. Saya lalu punya ide untuk mengisi waktu dengan melihat-lihat rumah contoh di cluster baru yang letaknya nggak begitu jauh dari tempat les Hugo. Ternyata rumah contohnya keren abis! Ckckck… saya sampai lupa ingatan, lupa daratan, dan lupa kalau punya anak yang harus dijemput dari tempat lesnya gara-gara mengagumi rumah itu. Kalau waktu itu saya nggak pergi bareng suami, mungkin saya juga lupa kalau punya suami hahaha..

Akhirnya saya memang nggak berhasil beli rumah yang ya-ampun-bagus-banget itu karena kemahalan untuk ukuran kantong saya. Bukannya nggak mungkin kebeli sih, tapi kalo belinya sekarang-sekarang, saya lompatnya ketinggian. Saat ini, saya ‘kelasnya’ baru bisa beli rumah di bawah Rp 500 juta-an, sementara rumah yang bikin saya nggak bisa tidur berhari-hari (sampai sempat kepikiran menjual semua aset yang saya punya untuk ‘ditukar’ dengan rumah itu :-p) harganya hampir Rp 2 milyar! Apa nggak ketinggian tuh mimpinya? Hehe..

Tapi saya nggak merasa bersalah pernah punya mimpi setinggi itu dan nggak kapok mengulang mimpi yang sama dengan versi yang berbeda. Soalnya, saya bisa meraih semua hal yang saya miliki saat ini awalnya dimulai dari sebuah mimpi. Dulu saya selalu memimpikan ingin punya rumah, mobil, dan buka usaha sendiri. Saya lalu berjuang untuk meraih dan mewujudkan mimpi-mimpi itu satu per satu, setahap demi setahap. Meskipun harus melewati proses yang panjang berliku, saya nggak pernah putus asa dan tetap konsisten pada tujuan awal, seberat apa pun rintangan yang harus dihadapi.

Saat menginginkan sesuatu, saya mengukir keinginan itu di benak saya dan menjadikannya sebuah tekad. Berdasarkan pengalaman, kalau tekad sudah kuat biasanya itu akan memotivasi saya untuk mewujudkannya, nggak peduli bagaimana pun caranya dan betapa pun keras usaha yang harus saya lakukan. Waktu lagi ngebet setengah mati pengen beli rumah, misalnya. Saya bisa nekat bayar tanda jadi meskipun uang di tabungan sebetulnya nggak cukup untuk bayar DP –seperti yang pernah saya ceritakan di postingan sebelumnya. Percaya nggak percaya, keinginan yang luar biasa besar ternyata bisa membuat kita mampu melakukan apa saja yang dalam kondisi biasa rasanya mustahil. Mimpi membuat hidup saya lebih ‘kaya’, lebih berwarna. Berani bermimpi setinggi mungkin menempa saya jadi lebih tangguh, lebih kreatif. Dan tantangan saat berusaha mewujudkannya membuat saya lebih bersemangat, lebih bergairah menghadapi hari esok.

Jangan pernah merasa mimpi kita terlalu tinggi untuk diraih. Waktu gaji saya dan suami nggak Rp 3 juta biarpun sudah digabung, punya rumah seharga Rp 200 juta rasanya impian yang jauuuh dan tinggiiii banget buat saya. Tapi saya memilih untuk tetap memimpikannya. Nggak sekadar bermimpi, saya berjuang untuk membelinya meskipun dalam prosesnya saya kepentok-pentok kanan-kiri, jatuh bangun berdarah-darah, dan senam jantung setiap saat. Toh akhirnya saya mampu mengatasi itu semua dan melewatinya. Setelah beberapa kali berhasil beli rumah yang harganya Rp 200 juta-an, saya lalu mencoba ’naik kelas’ dengan mengincar kavling seharga Rp 330 juta-an. Nggak masuk akal? Tapi akhirnya saya bisa juga tuh memiliki kavling itu, biarpun harus menjual dan menggadaikan aset yang saya punya. Sekarang, saat saya naksir berat sebuah rumah seharga Rp 1 milyar, saya lebih yakin bisa memilikinya meskipun angka segitu buat saya luar biasa besarnya.

Tentu saja saat berjuang mewujudkan mimpi kita harus pakai taktik dan pintar-pintar ngatur strategi. Untuk mendapatkan rumah Rp 1 milyar ini, salah satu rumah yang dulu saya beli seharga Rp 200 jutaan, saya jual dan laku seharga Rp 375 jutaan. Dipotong pajak penjual, biaya surat-surat dan komisi marketing, bersih-bersihnya saya dapat Rp 355 juta. Cukup buat bayar DP rumah 1 milyar dan biaya surat-surat, sisa pembayarannya akan saya cicil pakai fasilitas KPR. Kok kayaknya gampang amat? Iya, dibikin gampang aja.. Hidup udah susah, kalau semua-semua dibikin susah, bisa mabok muntah darah kita menjalaninya.. ^_^

Apa nggak berat tuh nyicil Rp 700 juta? Kalau dipikir-pikir memang berat. Tapi beberapa tahun terakhir ini saya belajar untuk nggak berpikir terlalu jauh ke depan. Punya hutang KPR yang harus dicicil 10 tahun, misalnya. Kalau mikirnya, ‘Lama banget sih terus-terusan bayar cicilan selama 10 tahun,’ atau ‘Lima tahun lagi saya masih mampu nggak ya bayar cicilannya?’ atau ‘Kalau beberapa tahun ke depan tiba-tiba kena krismon atau bank-nya dilikuidasi gimana?’ capek banget tuh otak kita diajak mikir sejauh itu. Bisa-bisa sampai tua kita nggak berani-berani nyicil rumah, atau melakukan apa pun kalau belum-belum mikirnya udah kejauhan *mikir yang serem-serem pula :-D*. Berencana sih boleh-boleh aja, harus malah. Tapi ngapain capek-capek memprediksi sesuatu yang belum tentu terjadi? Apalagi kalau pikiran itu bikin kita down duluan.. Rugi amat!

Begitu juga saat memutuskan mengelola usaha sendiri. Daripada pusing-pusing mikirin ‘aduh, majalahnya laku nggak ya?’ atau ‘nanti kalau kehabisan modal gimana?’ mendingan kerjakan saja dulu apa yang sudah menunggu di depan mata, yang bisa dikerjakan segera. Membuat isi majalah sebagus-bagusnya, misalnya. Atau mulai membuat jaringan distribusi untuk majalah yang kita buat. Saat dipilah satu per satu, pekerjaan yang harus kita lakukan bisa jadi sebetulnya sederhana saja. Tapi begitu ditumpuk jadi satu di otak belum-belum sudah bikin kita frustasi duluan. Makanya, dijalani dan dibiarkan mengalir saja. Ada hal-hal atau masalah tertentu di dalam hidup ini yang kadang nggak mampu kita selesaikan, kita cari sendiri solusinya. Tapi yakinlah semua pasti akan terlewati seiring dengan berjalannya waktu, dengan campur tangan faktor-faktor lain di luar diri kita yang mungkin bahkan nggak pernah terpikirkan oleh kita. Untuk itu, kita harus berusaha dan mau membuka diri menerima berbagai kemungkinan.

Saya percaya banget, nggak ada usaha yang sia-sia. Kalau kita tekun dan ngotot memperjuangkan sesuatu, pasti deh ada hasilnya meskipun mungkin nggak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Sejujurnya, saya dapat ‘ilmu ajaib’ ini dari suami tercinta. Dulu saya suka mikir segala sesuatu jauh banget ke depan. Dari suami saya belajar memandang masalah satu per satu, dimulai dari yang paling dulu harus dihadapi. Kalau nyicil rumah pakai KPR selama 10 tahun, pikirin aja pembayaran cicilan untuk bulan pertama, yang paling dekat dengan hari ini. Cicilan untuk bulan berikutnya lagi urusan nanti. Otak kita jadi nggak capek dan kita juga jadi lebih tenang, lebih berani melakukan hal-hal yang agak ‘nyerempet-nyerempet bahaya’ kalau kita memulainya dengan melangkah satu per satu dari langkah kecil yang sederhana dan sudah ada di depan mata.

Dengan pola pikir seperti itu, saya jadi yakin kalau nggak ada mimpi yang terlalu tinggi untuk diraih asal saya mau berjuang untuk menggapainya. Tapi sebuah mimpi tetap akan menjadi impian kosong yang nggak berarti apa-apa kalau kita nggak pernah melakukan apa pun untuk mewujudkannya, membiarkannya berhenti hanya sebatas mimpi saja. Jadi, jangan pernah takut bermimpi. Setinggi apa pun mimpi kita, yakinlah kita pasti mampu meraihnya meskipun untuk itu kita harus melewati jalan yang panjang-becek-curam-berliku. Memang sih, pada kenyataanya nggak semua mimpi bisa terwujud seindah seperti waktu masih ada di angan-angan. Tapi nggak ada ruginya kok kita sering-sering bermimpi. Toh gratis ini. Kecuali kalau harus bayar mahal setiap kali pengen mimpi, nah baru harus mikir panjang lebar dulu sebelum mulai bermimpi..^_^

2 komentar:

  1. terima kasih atas berbagi pngalamannya.. ini membuat saya termotivasi....

    BalasHapus
  2. sama-sama.. senang kalau tulisan saya bermanfaat buat yang baca.. :-)

    BalasHapus