Kamis, 17 Juni 2010

PILIH MANA, DIKIRA KAYA APA DIKIRA MISKIN?

Saya pernah menulis di status facebook saya begini; ‘Mendingan mana, dikira kaya atau dikira miskin?’ Selain menulis di facebook, saya juga sempat melontarkan pertanyaan yang sama ke beberapa teman dan kenalan. Yah, semacam survey kecil-kecilan dalam rangka iseng gitu deeh.. Jawabannya ternyata beragam. Ada yang senang dikira kaya. Nggak sedikit juga memilih dikira miskin. Tapi ada juga lho yang nggak suka dikira-kira.. :-D

Saya pribadi sih nggak terlalu ambil pusing orang mengira saya kaya atau miskin. Toh yang tahu dalemannya saya (dalam hal finansial, maksudnya) cuma saya sendiri. Eh, hampir lupa.. suami juga tahu, tentu saja. Orang luar cuma bisa menduga-duga, cuma bisa menebak-nebak. Dan buat saya nggak terlalu penting tebakkan mereka benar atau salah karena itu sama sekali nggak ada pengaruhnya untuk saya.

Tapi kalau dipaksa memilih, hmmm… gimana ya.. kayaknya saya lebih senang dikira miskin deh daripada dikira kaya. Malah aman-damai-sentosa kan? Maling nggak kepikiran mengincar rumah saya karena mengira saya nggak punya apa-apa (padahal emang iya! :-p). Jalan di tengah keramaian bawa uang tunai puluhan juta rupiah juga nggak ada yang nyangka karena tampang saya nggak kelihatan kaya. Naik turun angkutan kota tenang-tenang aja karena penampilan saya nggak menarik perhatian copet. Takut diremehkan dan dipandang rendah orang lain? Ah, biarin aja. Emang apa ruginya kalau orang memandang rendah kita? Dan apa ada untungnya kalau orang kagum sama kita karena mengira kita kaya? Toh kalau cuma dikira kaya nggak bakal bikin kita bener-bener mendadak kaya, begitu juga sebaliknya. ^_^

Saya jadi ingat pengalaman saat pertama kali beli rumah. Waktu itu saya dan suami datang ke kantor pemasaran yang mentereng dengan mengendarai sepeda motor butut. Habis saat itu memang punyanya cuma itu. Agak lama kami duduk menunggu di kursi tamu kantor pemasaran, belum juga ada marketing yang datang melayani. Ketika akhirnya seorang marketing ‘merelakan diri’ melayani kami, ia menawarkan tipe rumah paling kecil dan paling murah yang dimiliki pengembang perumahan itu.

“Ada yang lebih besar nggak, Mas?” tanya suami saya, sama sekali nggak tertarik dengan tipe rumah yang ditawarkan oleh si marketing.

“Ada, Pak, tapi lebih mahal.”

“Mahalnya seberapa? Saya boleh lihat brosur dan price list-nya?”

Si mas marketing menyerahkan brosur rumah dengan ragu-ragu. Tampangnya rada-rada nggak yakin gitu. Waktu kemudian saya dan suami memutuskan membeli rumah yang harganya 3 kali lipat dari rumah yang ditawarkan pertama kali (yang paling murah itu lho..) wajah dan sikapnya kepada kami langsung berubah total. Ooooo… ternyata tadinya kami dikira miskin.. Sepanjang jalan pulang saya dan suami ketawa-ketawa lepas. Tersinggung? Sama sekali nggak tuh. Biar aja dikira miskin, yang penting kenyataannya kan nggak. Buktinya kami mampu beli rumah yang nggak murah! Lagian kalau beneran miskin memangnya kenapa? Toh saya nggak menyusahkan orang lain, nggak merugikan orang lain, bahkan nggak minta sumbangan atau belas kasihan ke orang yang menganggap saya miskin itu. :-p

Sampai saat ini pun saya dan suami masih suka tampil apa adanya. Kemana-mana cuma pakai celana jeans dan t-shirt. Apalagi di lingkungan kerja, saya lebih banyak bersinggungan dengan orang-orang yang bergelut di dunia musik –sebagian besar laki-laki yang nggak terlalu meributkan penampilan. Musisi papan atas pun banyak kok yang sehari-hari penampilannya sederhana dan biasa-biasa aja, beda dengan saat harus tampil di panggung. Bukan berarti saya cuek banget sama penampilan lho. Lihat-lihat situasi dan kondisi juga. Kalau diundang acara resmi, ya saya berpakaian rapi. Tapi kalau cuma nonton klinik gitar, misalnya, ngapain juga pake gaun malam? Lagi-lagi saya nggak mau terlalu ambil pusing kalau gara-gara penampilan saya yang biasa-biasa saja orang –khususnya yang belum mengenal saya- jadi punya penilaian berbeda pada saat pertama kali melihat saya. Penampilan memang penting, tapi saya percaya pribadi, isi hati, dan pikiran seseorang seutuhnya nggak bisa hanya dinilai dari penampilan luarnya saja. Kan pepatah juga bilang, ‘don’t judge a book by its cover’..

Tapi berdasarkan pengamatan saya, sepertinya banyak orang yang lebih senang dikira kaya. Nggak sedikit orang yang biar kelihatan kaya memaksakan diri menempelkan atribut-atribut mahal untuk mendongkrak citra dirinya. Yang menyedihkan kalau sampai dibela-belain ngutang biar kelihatan seperti orang kaya. Walah walah… Dikira kaya kalau beneran kaya sih nggak apa-apa. Tapi kalau cuma keliatan kaya, cuma pura-pura kaya kan repot. Semua yang ditampilkan palsu dan semu belaka. Demi menjaga sebuah rasa bernama gengsi, orang seringkali nggak sadar telah menjebak dirinya sendiri dalam pusaran permainan yang nggak sekadar menghanyutkan, tapi bisa menenggelamkan. Ibaratnya kemampuan sebetulnya hanya bisa untuk makan di warung nasi sederhana, tapi memaksakan diri nongkrong di resto bintang lima. Kalau sekali-sekali mungkin masih nggak apa-apa. Tapi kalau keterusan, apa nggak ngos-ngosan tuh bayar tagihannya? :-D

Hidup memang penuh dengan pilihan. Begitu juga keputusan untuk lebih suka dikira kaya atau sebaliknya, itu adalah pilihan masing-masing orang dan perbedaan pilihan itulah yang justru membuat hidup yang kita jalani jadi lebih semarak, lebih berwarna. Tapi jujur aja, saya pribadi lebih menaruh respek pada orang yang kelihatannya sederhana padahal kaya raya daripada yang kelihatannya mentereng ternyata nggak ada apa-apanya. Itu kalau menurut saya lho..

2 komentar:

  1. Kalau aku tergantung sikon mba. Kalau lagi sama orang miskin ya, ikut bertampang miskin saja. Tapi kalau sama orang kaya ya kayanya tetep miskin :P

    BalasHapus