Beberapa waktu lalu nggak sengaja saya ketemu salah seorang teman masa kecil saya. Kondisinya cukup ‘mengharukan’; ia sedang menenteng keranjang plastik berukuran sedang, berjualan makanan dengan cara berkeliling dari satu perumahan ke perumahan lain.
Saya sering melihat orang berjualan makanan dengan cara seperti itu, tapi nggak pernah seterharu ini. Soalnya, seingat saya –sebut saja namanya Alex- berasal dari keluarga yang cukup berada. Bapak ibunya adalah pengusaha restoran yang cukup sukses. Keluarga ini juga buka toko pakaian di beberapa tempat, yang masing-masing terbilang cukup laris dikunjungi pembeli. Dari kecil Alex dan adik-adiknya sudah dillibatkan dalam usaha milik orang tua mereka. Semua anggota keluarga itu ikut terjun langsung di tempat usaha, mulai dari melayani pembeli sampai mengontrol makanan yang disajikan untuk pelanggan. Dan setelah dewasa, masing-masing anak diberi jatah untuk melanjutkan usaha, seorang satu. Ada yang kebagian mengelola toko dan ada yang mewarisi usaha rumah makan yang semuanya sudah berjalan. Tinggal nerusin doang. Enak banget kan?
Tapi entah bagaimana ceritanya, usaha yang susah payah dirintis oleh orang tua Alex tersebut rontok satu per satu saat dipegang oleh generasi kedua (Alex dan adik-adiknya). Dan jadilah Alex –bekas pengusaha rumah makan dengan banyak karyawan- sekarang luntang-lantung keluar masuk perumahan menjajakan makanan untuk mencari sesuap nasi demi menghidupi keluarganya. Yang lebih tragis, salah satu adik Alex sekarang bekerja jadi tukang masak di salah satu restoran yang dulu milik keluarganya sendiri.
Pertemuan dengan Alex mengajarkan saya banyak hal. Salah satunya, ternyata punya orang tua pengusaha bukan jaminan seseorang bakal sukses jadi pengusaha juga. Soalnya untuk jadi pengusaha dibutuhkan naluri, bakat, jiwa dan keahlian tersendiri yang nggak selalu bisa diwariskan -meskipun pada kenyataannya nggak sedikit juga pengusaha yang sukses mendidik generasi penerusnya menjadi pengusaha yang lebih hebat daripada dirinya.
Pelajaran kedua yang saya dapat –dan ini yang penting menurut saya- jadi pengusaha ternyata harus punya aset. Dari cerita Alex saya baru tahu kalau orang tuanya sama sekali tidak memiliki sendiri bangunan toko atau rumah makan yang dijadikan tempat usaha. Semuanya nyewa, bahkan ketika usaha itu berkembang semakin besar. Saat memperoleh keuntungan, si bapak sibuk membuka cabang baru tapi nggak pernah menginvestasikan uangnya dalam bentuk rumah, toko, kendaraan, dan sejenisnya. Anak-anaknya pun nggak pernah kepikiran ke situ karena selama ini usaha mereka aman-aman saja meskipun tempatnya cuma nyewa. Tapi namanya usaha kan nggak selamanya untung dan menghasilkan. Ada saatnya pasang, ada saatnya surut, dan ada kalanya badai datang mengombang-ambingkan ‘perahu usaha’ yang sedang tenang-tenang dijalankan. Badai ini bisa berupa krismon, trend pasar yang berubah, atau kondisi-kondisi yang terjadi di luar kuasa kita.
Saya pun pernah mengalaminya. Untungnya, di saat usaha lagi terang benderang menguntungkan, saya selalu ingat untuk menabung dan berivestasi –menyiapkan ‘bekal’ untuk bertahan saat cuaca tiba-tiba berubah buruk. Jadi, ketika badai datang dan hampir menenggelamkan ‘perahu usaha’, saya bisa buru-buru melakukan upaya penyelamatan. Menggadaikan atau bahkan menjual aset yang saya punya, misalnya. Bayangkan kalau sama sekali nggak punya simpanan. Pasti lebih sulit menata ulang usaha yang lagi ancur-ancuran tanpa aset yang bisa digadaikan, tanpa uang tunai di tangan.
Mungkin sebagian orang menganggap nggak penting punya aset. Daripada jadi harta tak bergerak dalam bentuk rumah, lebih baik uang diputar untuk mengembangkan usaha, toh tempat dan mobil untuk menjalankan usaha bisa disewa. Sempat juga tuh saya tergoda pengen menerapkan ilmu itu. Tapi pertemuan dengan Alex mengingatkan saya agar tetap mempertahankan aset yang saya punya, sebagai tabungan agar di masa-masa sulit saya masih mampu bertahan.
Punya aset juga berguna waktu saya mau cari pinjaman ke bank, entah untuk beli rumah lagi atau untuk mengembangkan usaha. Karena punya beberapa aset yang bernilai investasi, saya jadi nggak keliatan miskin-miskin amat. Ada harta yang bisa dijadikan jaminan. Bank pun lebih yakin untuk ngasih pinjaman. Maklum, saya kelasnya masih pengusaha kecil-kecilan. Jadi, mau ngutang pun harus kelihatan cukup meyakinkan biar bank percaya ngasih pinjaman hahaha…
makasih atas infonya.. bermanfaat bgt..
BalasHapus