Belum ada setahun menempati rumah di Bintaro, Desember 2003 saya sekeluarga sudah pindah rumah lagi. Soalnya, sejak menerbitkan GitarPlus saya menambah jumlah karyawan dan rumah merangkap kantor yang mungil itu pun jadi makin terasa sempit. Lagipula saya ingin mulai membenahi perusahaan dengan menciptakan suasana kerja yang lebih nyaman dan sehat. Nggak seru banget kan lagi enak-enak kerja, tiba-tiba di ruang sebelah ada suara anak kecil nangis menjerit-jerit? Belum lagi gangguan lain, misalnya lagi serius ngetik tahu-tahu komputer mati karena Hugo iseng mencet-mencet tombol.. :D Buat saya sekeluarga juga nggak sehat karena kami jadi nggak punya privasi. Tengah malam telepon berdering, saat diangkat ternyata cuma dari pembaca yang iseng nanya majalah baru sudah terbit atau belum. Rumah dan kantor jadi satu kalau dilihat dari sisi keuangan memang hemat. Tapi demi kenyamanan bersama, saya memutuskan untuk memisahkannya.
Kalau kantor yang dipindahkan, bakal ribet urusannya karena selain harus memindahkan barang-barang kantor yang lumayan banyak, saya juga harus memberi pengumuman ke agen dan pihak-pihak terkait soal kepindahan kantor, membuat kop surat, amplop, faktur, kwitansi, dan lain-lain dengan alamat baru. Akhirnya diputuskan kalau saya sekeluarga saja yang pindah rumah. Saya mengontrak rumah mungil di sebuah komplek yang bertetanggaan dengan komplek tempat kantor saya berada. Jadi ‘kontraktor’ lagi deh… ;)
Kantor dan rumah dipisah otomatis membuat pengeluaran rutin saya bertambah. Kalau dulu cukup membayar 1 tagihan telepon, 1 tagihan listrik, 1 iuran satpam komplek, dan 1 iuran kebersihan, sejak rumah pisah sama kantor semuanya jadi dobel. Makanya saya berharap dengan dipisahkannya rumah dengan kantor, omzet usaha saya naik dan keuntungan perusahaan juga meningkat. Tapi apa mau dikata, ternyata Majalah GitarPlus kurang menguntungkan. Seperti yang sudah saya ceritakan, penjualannya jeblok di pasaran, membuat keuangan perusahaan jadi megap-megap nggak karuan.
Bukannya kapok, saya dan suami malah nekat bikin majalah musik baru di tahun yang sama, tepatnya di Juni 2004. Namanya Mr. G, dibaca Mister G, tapi kalau dipanjangkan bisa berarti Musik, Rileks, dan Gaul. Norak? Ya, memang sengaja, soalnya kami membidik pangsa pasar dari kelas ekonomi menengah ke bawah. Bukan cuma namanya yang ‘ajaib’, isi majalahnya pun norak-norak bergembira. Selain memuat teks-teks lagu yang lagi ngetop dilengkapi dengan kord untuk memudahkan pembaca memainkan lagu tersebut dengan gitar, Mr. G juga berisi ramalan bintang, humor, trik bermain sulap, cerita-cerita lucu, TTS (Teka-Teki Silang), TTA (Teka-Teki Angka)… pokoknya campur-campur deh! Mr. G berbentuk majalah saku (ukurannya setengah majalah biasa) dengan harga jual murah meriah; Rp 3.000 untuk P. Jawa, dan Rp 3.500 untuk luar P. Jawa.
Dari mana modalnya? Kebetulan saat itu saya punya sedikit tabungan pribadi. Inget dong, saya selalu memisahkan uang kantor dan uang pribadi. Karena terbiasa hidup sederhana, meskipun penghasilan meningkat saya nggak pernah belanja macam-macam di luar kebutuhan. Sisa uang selalu saya tabung. Nah, di saat-saat seperti ini saya baru ngerasaain banget manfaat menabung. Pas butuh uang untuk mengembangkan usaha, nggak usah pusing-pusing deh! Kan ada tabungan… :-)
Ternyata Mr. G laris manis di pasaran. Baru beberapa hari terbit, Mr. G sudah nggak ada di pasaran saking lakunya. Awalnya saya cuma mencetak sebanyak 10.000 eksemplar, tapi tiap bulan permintaan bertambah terus. Karena keterbatasan modal, saya cuma bisa menambah oplah sedikit, nggak menjawab permintaan pasar yang semakin lama semakin besar. Saya butuh modal tambahan. Tapi dari mana? Mau ngutak-atik uang G-Magz nggak mungkin, soalnya G-Magz sudah mensubsidi GitarPlus yang masih terus menerus terpuruk.
Lagi pusing cari tambahan modal, tiba-tiba baca iklan di koran kalau Bank Mandiri memberi penawaran kepada nasabah KPR untuk memindahkan KPR dari Bank lain ke KPR Bank Mandiri dengan membebaskan biaya provisi dan biaya apraisal. Karena lagi promo, suku bunga KPR di Bank Mandiri juga lebih rendah 2% dibandingkan bank-bank lain, termasuk bank tempat saya mengambil fasilitas KPR rumah pertama (yang jadi kantor). Yang lebih menarik, Bank Mandiri juga menawarkan untuk memberi pinjaman yang lebih besar daripada sisa hutang KPR. Maksudnya, kalau hutang KPR saya di KPR Bank lain –katakanlah- Rp 50 juta, kalau dipindahkan ke KPR Bank Mandiri, saya bisa memperoleh tambahan pinjaman sampai Rp 200 juta, yang besarnya disesuaikan dengan nilai agunan saya. Langsung deh ‘alarm’ di kepala saya bunyi, memberi sinyal untuk menangkap peluang ini. Saya buru-buru ambil kalkulator, menghitung-hitung untung ruginya. Dengan hasil akhir, saya memutuskan memindahkan KPR saya ke Bank Mandiri. Agak repot sih, saya harus menyiapkan dokumen-dokumen seperti waktu pertama kali mengajukan KPR, lalu ada orang dari pihak bank datang ke rumah untuk memperkirakan nilai rumah yang saya jadikan agunan, dan setelah disetujui saya harus melewati proses akad kredit lagi. Tapi nggak apa-apalah, namanya juga usaha… :D
Saat itu Oktober 2004. Sisa hutang KPR saya di bank pertama ternyata masih Rp 60 juta-an. Waktu saya pindahkan ke Bank Mandiri, saya mendapat pinjaman Rp 100 juta kurang sedikit (saya lupa jumlah tepatnya, tapi kurang lebih Rp 96 juta-an). Setelah menutup hutang KPR di bank lain sebesar Rp 60 juta, saya masih punya dana segar Rp 36 juta-an. Lumayan untuk memperpanjang nafas usaha kan? Dengan uang Rp 36 juta-an itu, saya menambah oplah Mr. G (sampai pernah mencapai 50.000 eksemplar setiap edisi) sekaligus menambah karyawan. Saat itu total karyawan tetap saya ada 7 orang, belum termasuk karyawan lepas yang bertugas mengepak majalah (hanya bekerja saat majalah datang dari percetakan, jumlahnya 8 orang).
Nggak terasa, saya sudah punya 3 majalah –semuanya majalah musik. Tapi hidup saya nggak jauh berubah dari waktu pertama kali punya usaha. Bedanya, kemana-mana saya naik mobil pribadi (nggak sepeda motor butut lagi), tingal di komplek perumahan (bukan di gank sempit lagi, meskipun judulnya sama-sama ngontrak :p), dalam setahun bisa berkali-kali liburan ke luar kota naik pesawat dan menginap di hotel berbintang, bisa makan di resto mahal tanpa deg-degan (takut uangnya nggak cukup untuk bayar makanan yang dipesan :D) saat pelayan menyerahkan tagihan, dan bisa belanja kapan saja saya mau. Saya menikmati hidup saya, menikmati hasil kerja keras dan segala sesuatu yang sudah saya raih. Tapi saya nggak lupa diri. Saya tetap membiasakan menabung sebagian uang yang saya punya. Saat tabungan menumpuk, saya nggak tergoda memakainya untuk belanja berlebihan. Saya malah lebih tergoda untuk bikin majalah baru lagi. Kayaknya saya sudah kecanduan bikin majalah deh hehehe…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar