Saya lagi patah hati. Rumah idaman yang saya taksir setengah mati ternyata lepas dari genggaman, Hiks..
Di postingan sebelumnya saya sempat cerita kalau saat ini saya lagi termimpi-mimpi pengen beli rumah seharga Rp 1 milyar. Rumah itu letaknya persis di belakang rumah yang saya sewa saat ini (yang dijadiin kantor dan toko itu loh..) Setelah 6 bulan menempati toko baru, saya bisa membaca kalau saya nggak salah pilih lokasi. Toko saya mulai ramai dikunjungi pembeli, sebagian besar di antaranya bolak-balik datang lagi dan belakangan menjadi pelanggan setia. Karena toko sekaligus kantor majalah yang saya tempati saat ini statusnya ngontrak, saya lalu kepikiran untuk beli rumah di sekitar situ untuk persiapan kalau-kalau setelah habis masa kontraknya nanti, pemilik rumah nggak mengijinkan rumahnya saya kontrak lagi. Memang sih, masa kontrak saya habisnya masih 1,5 tahun lagi. Tapi nggak ada salahnya juga kan jauh-jauh hari saya sudah mulai jelalatan cari tempat?
Kebetulan, rumah di belakang toko saya dijual oleh pemiliknya. Pertama ngeliat papan bertuliskan ‘DIJUAL’ menempel manja di pagar rumah itu, hati saya sudah kebat-kebit *mungkin kayak gini rasanya kalau orang yang gila belanja lewat di deretan barang yang lagi di-SALE * :-D
“Kita liat ke dalam yuk!” ajak saya ke suami.
“Ngapain? Kayak punya duit aja sok-sok an liat ke dalam segala.” Suami saya langsung protes. Soalnya dia udah cukup sering memergoki saya mendadak nggak bisa tidur gara-gara siangnya abis ngeliat-liat rumah yang dijual. Tapi karena saya ngotot, sampai nekat menelepon marketing yang menjual rumah itu, akhirnya suami menyerah. Ditemani marketing, kami pun melihat-lihat ke dalam rumah dan keluar dari pintu pagarnya dengan satu tekad bulat; rumah itu harus dibeli! ;-p
“Uangnya dari mana?” tanya suami begitu kami tinggal berduaan.
Saya langsung mengambil kalkulator dan sibuk menghitung. Keputusannya, salah satu rumah kami harus dijual untuk membayar DP rumah itu. Suami saya paling males ngurusin hal-hal kayak gitu, tapi untungnya saya justru suka banget. Urusan menghitung, memutar, dan membuat uang berkembang buat saya seperti sebuah pemainan yang menyenangkan sekaligus menegangkan. Saya memang hobi bemain-main dengan uang meskipun, sumpah, saya sama sekali bukan keturunannya Paman Gober (tokoh di komik Donal Bebek yang ‘cinta mati’ sama uang sampai suka berenang di tengah tumpukan uang) :-)
Perlu waktu beberapa bulan untuk memasarkan rumah saya sebelum akhirnya laku, seperti yang pernah saya ceritain di tulisan sebelumnya. Setelah uang di tangan, lewat perantara marketing saya menyatakan niat untuk membeli rumah itu. Semua lancar pada awalnya. Harga sudah disepakati, bank tempat saya mengajukan KPR sudah datang untuk men-survey kemampuan keuangan saya (horeee.. saya dianggap layak untuk ngutang! :-p), dan saya sudah siap membayar DP ketika tiba-tiba saya mendapat kabar kalau sertifikat rumah yang akan saya beli ternyata bermasalah.
Awalnya saya masih ngotot mengupayakan segala cara untuk bisa tetap membeli rumah itu. Tapi setelah konsultasi dengan keluarga dan teman yang berprofesi sebagai notaris, akhirnya saya harus menerima kenyataan kalau rumah yang saya taksir mati-matian itu ternyata nggak aman untuk saya beli. Daripada timbul masalah di belakang hari, terpaksa saya merelakannya lepas dari genggaman. Padahal sudah di depan mata banget!
Dalam hidup, ada kalanya kita mengalami kekecawaan saat apa yang kita rencanakan nggak berjalan sesuai harapan. Saat sesuatu yang kita impikan ternyata nggak terwujud meskipun sudah kita perjuangkan habis-habisan. Tapi saya belajar menerima ini sebagai bagian dari episode hidup yang harus saya lewati. Saat gagal mewujukan mimpi, jujur aja saya memang kecewa. Tapi saya selalu yakin kalau apa yang terjadi memang yang terbaik bagi saya, setidaknya untuk saat ini.
Untuk sampai ke suatu tujuan yang kita impikan, nggak selamanya kita menemukan jalan aspal yang mulus, lurus, dan rata. Ada kalanya kita harus belok dulu, meskipun itu membuat jarak tempuh kita untuk sampai ke tempat tujuan jadi semakin jauh. Nggak jarang kita justru harus mundur selangkah untuk mengambil ancang-ancang agar bisa melompati rintangan yang ada di depan mata. Jatuh, kepleset, kepentok, atau sesekali ingin berhenti karena sudah terlalu lelah adalah hal biasa dalam suatu perjalanan. Tapi selama kita fokus pada tujuan awal, suatu saat kita pasti akan sampai ke sana, mungkin dengan cara-cara yang nggak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Saya mengalaminya waktu cari rumah kontrakan untuk dijadiin toko. Sebelum menemukan rumah yang sekarang saya tempati, saya jatuh hati sama sebuah rumah yang posisinya persis di pinggir jalan besar dan kanan kirinya ramai orang membuka usaha, mulai dari salon, restoran, tempat kursus, praktek dokter, studio foto sampai distro. Sewa tempatnya Rp 55 juta setahun dan pemilik rumah hanya mau rumahnya disewa minimal 2 tahun. Berarti saya harus siap uang Rp 110 juta kan? Setelah mengorek tabungan dan sempat cari pinajaman sana-sini, saya berhasil mengumpulkan uang sebesar itu dalam waktu beberapa hari. Tapi apa yang terjadi? Si pemilik rumah sudah memutuskan menyewakan rumahnya kepada orang lain yang sanggup menyewa dalam jangka waktu 5 tahun sekaligus. Saya patah hati seketika. Hiks!
Tapi ternyata mimpi saya bukannya sia-sia, cuma tertunda sebentar dan kemudian terwujud dalam bentuk yang nggak saya duga sebelumnya. Oleh si marketing saya ditawari rumah lain yang harga sewanya setengah rumah idaman tadi, tapi posisinya agak masuk ke dalam komplek -nggak di pinggir jalan banget. Awalnya tentu saja saya menolak. Saya kan mau jualan, makanya cari rumah di pinggir jalan. Tapi, dengan berbagai pertimbangan akhirnya saya setuju untuk ngontrak di rumah itu. Dan ternyata di lokasi yang awalnya nggak saya lirik sedikit pun itu justru toko saya mulai menggeliat dan punya pelanggan. Uang Rp 55 juta yang tadinya cuma bisa buat bayar sewa setahun bisa buat 2 tahun lagi!
Kenyataan itu membuat saya belajar satu hal; kalau mimpi kita nggak terwujud sesuai yang kita harapkan, bukan berarti kita sudah gagal meraihnya. Barangkali hanya tertunda, hanya belum waktunya. Ketika impian tak menjadi kenyataan, saya percaya Si Bos Penguasa Alam sedang merencanakan sesuatu yang lebih indah untuk saya. Dan Ia akan mewujudkannya pada saat yang tepat. Pada saat saya sudah benar-benar siap menerimanya.
Begitulah cara saya menghibur diri kalau lagi kecewa dan patah hati.. :-D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar