Senin, 27 September 2010

UANG BUKAN SEGALA-GALANYA MESKIPUN SEGALA-GALANYA BUTUH UANG

Dari awal tulisan, saya memang terus-terusan membahas tentang uang. Ya nama blog-nya juga bermain dengan uang. Nggak salah dong kalau isinya seputar pengalaman saya mengelola dan memaknai uang. Tapi bukan berarti saya mendewa-dewakan uang. Bukan berarti saya memuja uang setengah mati karena pengalaman mengajarkan pada saya bahwa ada hal-hal lain yang lebih berharga di dunia ini daripada sekadar benda bernama uang.

Jaman remaja kinyis-kinyis dulu, saya masih naïf menganggap kebahagiaan dan kesuksesan seseorang diukur dari seberapa banyak uang atau harta yang dimilikinya. Saya melihat seseorang hebat dan sukses kalau rumahnya megah, mobilnya mewah, dan uangnya melimpah. Maka ada saatnya saya begitu ngotot mengejar uang. Rela jungkir balik siang malam dalam upaya memburu uang, sehingga tanpa sadar mengesampingkan hal-hal lain. Apalagi dalam perjalanan waktu saya sering ‘digoda’ banyak peluang dan kesempatan untuk memperoleh uang lebih banyak lagi. Nggak jarang peluang itu secara bersamaan melintas-lintas di depan mata, memancing saya untuk terus menerus mengejarnya sampai lupa waktu, lupa kalau saya punya sesuatu yang jauh lebih berharga untuk diperhatikan. Keluarga, kesehatan, dan persahabatan hanyalah beberapa contohnya.

Bertambahnya usia mengubah cara pandang saya. Tapi pengalaman jatuh bangun jadi pengusahalah yang kemudian membentuk pola pikir saya, mendewasakan saya dalam hal memaknai uang. Harus diakui, mengelola usaha sendiri membuat saya memiliki banyak kesempatan dan pengalaman untuk bermain-main dengan uang dengan segala suka dukanya, dengan segala resikonya, yang sedikit banyak menempa mental dan karakter saya. Pengalaman itu membawa saya pada satu kesadaran baru tentang cara memaknai uang. Ternyata uang bukan segala-galanya di dunia ini, meskipun segala-galanya di dunia ini butuh uang. Punya harta yang nggak habis dimakan tujuh turunan kalau hati nggak tenteram sama aja bohong. Punya rumah di tiap tikungan jalan kalau sakit-sakitan juga nggak ada nikmat-nikmatnya. Banyak uang tapi bahkan nggak punya waktu untuk membelanjakannya, apa serunya?

Bukan berarti juga uang nggak punya peran penting dalam menentukan kebahagiaan kita. Saya jadi ingat ada ungkapan yang mengatakan ‘uang nggak bisa membeli kebahagiaan’. Dalam beberapa hal saya kurang setuju dengan ungkapan itu. Menurut saya, uang bisa juga kok membeli sesuatu hal yang membuat kita bahagia. Saya hobi liburan sekeluarga ke tempat-tempat yang pemandangannya indah, senang berburu makanan enak di tempat-tempat yang saya kunjungi, bahagia kalau bisa membelikan kado untuk orang-orang tercinta, menikmati kegiatan memanjakan diri di salon dan banyak lagi... Semua kesenangan itu saya tukar dengan uang kan? Jadi, nggak sepenuhnya benar kita nggak bisa membeli kebahagiaan dengan uang. Tapi salah kalau kita menggantungkan kebahagiaan pada uang.

Saya bersyukur saat ini saya sampai pada satu pemahaman bahwa dengan atau tanpa uang ternyata saya bisa bahagia. Uang hanyalah salah satu alat yang bisa membuat saya bahagia, tapi bukan faktor utama penentu kebahagiaan saya. Bangun pagi dalam keadaan sehat dan segar bugar saja sudah menjadi alasan yang lebih dari cukup bagi saya untuk merasa bahagia, dan itu adalah kebahagiaan yang tak terbeli dengan uang. Bisa meluangkan banyak waktu untuk berkumpul dan bercanda tawa dengan keluarga juga merupakan anugerah luar biasa yang tak henti-hentinya saya syukuri –lagi-lagi itu nggak bisa ditukar dengan uang. Saya juga nggak bisa membeli sahabat-sahabat terbaik yang tulus menyayangi saya apa adanya.

Banyak kok hal sederhana, yang bahkan nggak membutuhkan campur tangan uang, yang bisa membuat kita bahagia. Tapi ya kembali ke diri kita sendiri juga. Uang bisa sangat menguasai hidup kita atau sebaliknya, semua tergantung dari bagaimana kita memaknai dan memanfaatkannya. Yaelaaah.. ujung-ujungnya balik ke situ-situ juga... :-p

Sabtu, 25 September 2010

DARI DULU JUGA SAYA SUDAH KAYA! ^_^

Mungkin banyak yang menuduh saya sombong waktu baca judul di atas. Hehe… saya nggak bermaksud begitu lho.. Makanya baca dulu sampai selesai biar nggak ketipu judulnya doang.. :-D

Beberapa waktu lalu saya ketemu seorang teman yang sudah lamaaa banget hilang dari peredaran. Nggak jelas juga sih yang hilang dari peredaran sebetulnya saya atau dia. Yang pasti kami lama nggak ketemu, nggak saling berhubungan, meskipun ternyata sama-sama tinggal di satu kota.

“Sekarang kamu udah kaya ya,” komentarnya saat main ke kantor saya.

“Kaya diukur dari apanya dulu nih?” Saya balik bertanya.

Dibandingkan sepuluh tahun yang lalu, dilihat secara kasat mata hidup saya sekarang mungkin bisa dibilang lebih mapan. Punya beberapa rumah (biarpun kecil-kecil), beberapa mobil (meskipun bukan mobil mewah keluaran tahun terbaru), dan beberapa usaha (walaupun masih jatuh bangun kayak judul lagu dangdut :p). Beda banget sama sepuluh tahun lalu, jaman saya masih tinggal di rumah mungil di sebuah gank sempit di daerah Mampang, Jakarta Selatan. Waktu itu rumah aja masih ngontrak, kerja masih serabutan dan kemana-mana masih naik sepeda motor butut.

Tapi sejujurnya, bahkan pada saat itu pun saya sudah merasa kaya. Soalnya saya selalu mensyukuri segala sesuatu yang saya punya, apa pun bentuknya. Saya percaya, sekecil apa pun sesuatu yang kita miliki, kalau kita syukuri pasti membuat kita puas memilikinya, Tapi sebesar apa pun, kalau nggak disyukuri ya tetap saja rasanya kurang dan nggak bikin kita bahagia.. Satu hal lagi, dari dulu sampai sekarang yang membuat saya merasa kaya bukanlah berapa banyak uang yang saya punya, tapi bagaimana uang tersebut –berapa pun jumlahnya- cukup untuk saya. Dan untungnya dari dulu saya sadar, itu tergantung dari bagaimana saya memaknai dan mengelolanya (teteeep.. baliknya ke situ-situ lagi.. :-p). Saya menyebut kegiatan mengelola dan memutar uang itu bermain; bermain dengan uang.

Dalam kehidupan sehari-hari, saya melihat banyak orang berusaha mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Nggak salah sih, karena untuk hidup kita memang butuh uang. Tapi sayangnya banyak orang sering terjebak dalam pemikiran bahwa seseorang bisa disebut kaya kalau ia punya cukup banyak uang, banyak harta. Padahal menurut saya, orang yang banyak uang belum tentu kaya. Kok bisa?

Iya dong. Contoh aja nih, seseorang dengan penghasilan Rp 15 juta sebulan, mana bisa dibilang kaya kalau pengeluaran bulanannya Rp 17 juta, misalnya. Yang ada tiap bulan dia harus nombok 2 juta. Sebaliknya, seseorang yang cuma berpenghasilan 3 juta tapi pengeluarannya 2,5 juta dan bisa menabung sisanya, menurut saya lebih bisa dibilang kaya. Hidupnya pasti lebih aman-tentram-damai-sejahtera dibandingkan dengan orang berpenghasilan besar yang selalu nombok setiap bulannya.

Kaya menurut saya adalah apabila pengeluaran saya tidak lebih besar daripada pemasukkan. Sekali lagi, bukan besarnya uang yang membuat saya kaya, tapi bagaimana saya memaknai dan mengelolanya. Kalau uang yang saya punya cuma sedikit, berarti saya harus pintar-pintar mengatur pengeluaran sedemikian rupa biar cukup buat biaya hidup sehari-hari dan menambah tabungan. Kalau kebetulan uangnya banyak, justru seharusnya ada lebih banyak juga yang bisa disisihkan untuk ditabung, bukan malah habis semua untuk biaya hidup sehari-hari, bahkan kurang. Nah, saat semua kebutuhan hidup bisa tercukupi dari uang yang saya punya, saya merasa diri saya kaya dan sejahtera meskipun mungkin tercukupi dalam artian sederhana, nggak berlebihan. Di sinilah saya harus mampu menentukan prioritas secara benar, mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan.

Saya bersyukur atas apa yang saya miliki dan selalu berusaha mencukup-cukupkan kebutuhan hidup dengan uang yang saya punya. Tapi bukan berarti saya cepat puas dan jadi nggak berambisi untuk mengumpulkan uang lebih dan lebih banyak lagi lho. Sepanjang ada peluang dan kesempatan untuk membuat uang berkembang, nggak usah ditanya deh.. semangat saya tetap menyala-nyala untuk mencoba bermain dengan segala resikonya. Belakangan saya sadar, tujuan utama saya bermain dengan uang ternyata bukan untuk mempunyai uang sebanyak-banyaknya. Saya menikmati permainannya, menyukai proses bermainnya. Kalau kegiatan tersebut ternyata membuat uang saya beranak pinak, ya saya menganggapnya sebagai bonus. Kalau ternyata malah bikin uang saya berkurang? Tetap bersyukur dong. Setidaknya saya sudah merasakan kesenangan saat bermain-main dengan uang. Nggak semua orang punya keberanian dan kesempatan seperti saya kan? ^_^

Kombinasi antara selalu bersyukur serta menikmati setiap proses dalam bermain dan mengelola uang itulah yang membuat saya merasa kaya, bahkan sebelum saya punya apa-apa yang bagi sebagian orang merupakan simbol kekayaan dan kemapanan. Kembali ke percakapan dengan teman lama saya, makna kaya buat tiap-tiap orang tentu beda-beda ukurannya. Buktinya, ada juga tuh kenalan saya yang belum juga merasa kaya meskipun di mata saya mereka sebetulnya sudah berkecukupan secara materi. Rumah punya, mobil ada, pekerjaan dan jabatan yang mapan juga sudah di dalam genggaman. Tapi kenapa masih merasa belum kaya?

“Punya rumah tapi kecil, punya mobil juga masih nyicil, jabatan tinggi tapi kan masih kerja sama orang. Padahal gue udah kerja keras banting tulang, dapetnya cuma segitu-segitu aja,” keluh kenalan saya itu.

Walah, itu sih namanya kurang bersyukur.. :-D