Jumat, 30 April 2010

MAIN CANTIK DENGAN KARTU KREDIT

Sudah lama sebetulnya saya pengen bikin tulisan ini. Idenya udah ada di kepala, tapi belum sempat-sempat menuangkannya dalam bentuk tulisan karena sibuk ngurusin segala macem. Tadi pagi, SMS seorang teman bikin saya semangat untuk buru-buru nulis mumpung lagi nggak sibuk dan lagi mood untuk nulis..

Beberapa waktu lalu saya ngobrol-ngobrol sama seorang teman tentang kartu kredit. Teman saya ini, sebut saja namanya EM, mengaku kalau ia dan suaminya sama-sama nggak pernah punya kartu kredit. Bukan karena nggak memenuhi persyaratan untuk itu, tapi lebih pada alasan takut.

“Takut kenapa?” tanya saya heran.

“Takut diuber-uber dept collector,” sahut teman saya ini lugu. “Mungkin karena aku nggak terlalu ngerti tentang kartu kredit ya, Mbak. Aku cuma sering denger orang kelilit utang kartu kedit juta-jutaan, nggak mampu bayar, terus diuber-uber dept collector. Makanya aku dan suami nggak mau punya kartu kredit.”

Sebagian orang memang beranggapan kalau punya kartu kredit bukanlah ide yang menarik, bahkan kalau bisa dihindari sejauh-jauhnya. Soalnya kalau sudah terjerat hutang kartu kredit memang mengerikan. Hutang kita dikenai bunga berbunga yang membuatnya bertambah besar setiap bulannya, meskipun kita rutin membayar sebagian tagihan (tapi nggak sampai lunas). Yang paling nyebelin tentu saja berurusan dengan tukang tagih alias dept collector yang nggak kenal sopan santun waktu meneror nasabah yang pembayarannya bermasalah. (Kebayang nggak kalau dept collector sopan dan mesra ke nasabah yang bandel nggak bayar-bayar tagihan? Kayak gini, misalnya,
‘Say, tagihan kartu kreditnya tolong dibayar dooong.. Sorry ya, bukan maksudnya saya ngejar-ngejar atau bikin kamu tersinggung.. Saya sih seneng-seneng aja nelpon kamu tiap hari, abis kamu suaranya lembut banget.. Pasti orangnya juga manis.. Tapi kalau kamu nggak bayar-bayar, nanti saya ditegur atasan.. Masa sih kamu tega? Bantuin saya ya, Cin.. Pliiisss…’ :-D)

Dulu saya juga termasuk salah seorang yang anti kartu kredit. Nggak usah deh kartu kredit, ngutang aja saya paling ogah. Prinsip saya, kalau pengen sesuatu dan kebetulan punya uang ya dibeli. Kalau nggak punya uang ya udah, diem aja jangan nakal ^_^ Untung saya bukan orang yang gampang ‘panas’. Lihat teman, tetangga, saudara beli ini itu, saya bisa menahan diri untuk nggak ikut-ikutan beli –meskipun kadang-kadang sebetulnya pengen juga punya barang itu.. Untunglah saya gadis jujur yang teguh beriman.. ^_^

Balik lagi ke soal kartu kredit yaaa.. Saya mulai berpikir ulang untuk memakai kartu kredit setelah punya usaha sendiri. Itu juga saya nggak mengajukan permohonan untuk dibuatkan kartu kredit ke bank lho.. Suatu hari, tiba-tiba saya dikirimi 2 buah kartu gold -1 Visa dan 1 lagi Mastercard- oleh salah satu bank penerbit kartu kredit setelah sekian lama saya menjadi nasabah di sana. Suami awalnya kurang setuju saya punya kartu kredit –alasannya kurang lebih sama dengan teman saya EM- tapi akhirnya membiarkan saja karena tahu saya bukan tipe orang yang hobi belanja tak terkendali. Kan udah saya bilang, saya gadis jujur yang teguh beriman.. *huueeeek…* :-D

Kalau tahu cara memanfaatkannya, punya kartu kredit itu sebetulnya menguntungkan. Tapi kalau nggak dipakai dengan bijak memang bisa-bisa malah menyesatkan. Nggak sedikit orang terlena lalu kebablasan karena cara pakainya gampang banget. Tinggal gesek dan diminta tanda tangan, barang idaman bisa langsung berpindah tangan. Tapi begitu tagihan datang, baru deh keliyengan liat jumlah yang harus dibayar..

Makanya, pertama-tama pakai kartu kredit dulu saya masih agak malu-malu karena masih mempelajari celahnya. Paling-paling kartu saya gesek untuk belanja kebutuhan sehari-hari di supermarket atau membayar sesuatu yang memang menjadi kewajiban saya, misalnya tagihan listrik, telepon, HP, iuran member di gym dan sejenisnya. Dulu saya mikirnya sederhana aja, mau sekarang atau bulan depan, toh saya memang harus mengeluarkan uang untuk membayar atau membeli kebutuhan yang tadi saya sebutkan. Saya cuma memundurkan waktu pembayaran untuk mengawet-awet uang tunai yang saya punya agar di rekening tabungan saya selalu ada uang untuk kebutuhan mendadak yang pembayarannya nggak bisa menggunakan kartu kredit. Selain itu, malas juga kan kalau kemana-mana saya harus bawa-bawa uang tunai? Menjelang jatuh tempo pembayaran kartu kredit, saya selalu melunasi semua tagihan tanpa sisa. Nggak kena bunga deh!

Setelah beberapa bulan semua berjalan lancar dan aman, saya mulai lebih berani memakai kartu kredit. Waktu ruangan kerja saya di kantor butuh AC baru, saya melipir ke salah satu hypermarket yang sedang menawarkan promo bunga 0% untuk cicilan 6 bulan. Dibayar tunai atau dicicil saya tetap harus beli AC kan? Daripada harus seketika membayar tunai AC yang harganya Rp 3-4 jutaan, mendingan dicicil 6 kali dong kalau bunganya 0%. Uang tunai bisa diawet-awet untuk kebutuhan lain. Begitu juga kalau lagi ada urusan pekerjaan ke luar kota. Kartu kredit kan suka tuh kerja sama dengan hotel, rumah makan, toko, travel atau merchant lain untuk memberikan promo diskon atau penawaran special bagi nasabahnya. Saya manfaatin deh kartu kredit untuk menginap di hotel-hotel yang lagi promo kalau pembayarannya menggunakan kartu kredit yang saya punya. Lumayan lho, saya pernah nginep di hotel dengan harga special, makan di resto dengan diskon 50%, dan masih dapat diskon lagi waktu beli baju di sebuah toko yang semuanya menggelar promo bareng kartu kredit yang saya punya. Habis itu saya mash dapat reward dari kartu kredit yang bisa ditukarkan dengan hadiah pilihan atau kesempatan memenangkan undian berhadiah mobil atau rumah, eh bayar tagihannya masih bulan depan lagi! Enak banget kaaan…

Belakangan saya mendapat ide kalau punya kartu kredit ternyata sangat tepat dikombinasikan dengan asuransi kesehatan pribadi. Saya sudah pernah cerita kan kalau saya sekeluarga ikut asuransi kesehatan? Kalau satu anggota keluarga saya sakit dan harus dirawat di Rumah Sakit, perpaduan asuransi kesehatan dan kartu kredit ini sungguh amat menguntungkan buat saya. Kalau diikutkan asuransi oleh perusahaan kan enak, begitu harus opname tinggal menunjukkan kartu anggota dan bisa langsung masuk kamar perawatan. Tapi asuransi kesehatan perorangan seperti saya harus bayar di muka, baru kemudian bisa mengajukan klaim ke asuransi dengan menunjukkan kwitansi asli dan data-data yang diminta. Kalau lagi megang duit sih nggak masalah. Lah, kalau nggak? Udah pusing ngurusin penyakit, masih harus ngotot-ngototan sama pihak RS karena uang yang kita punya nggak cukup untuk membayar deposit yang harus dibayar dimuka. Kalau punya kartu kredit kan tinggal gesek aja. Setelah uang penggantian dari asuransi cair (asuransi saya kurang lebih 2 mingguan), langsung bayarin deh tuh tagihan kartu kredit. Nggak kena bunga deh!

Makin ke sini, saya makin pintar dan berani menggunakan kartu kredit. Saya rajin menggesek kartu kredit hampir di semua transaksi yang bisa saya bayar dengan kartu kredit pasti. Pedoman saya cuma satu; yang penting pembayaran atau pembelian menggunakan kartu kredit itu memang benar-benar wajib saya lakukan, nggak bisa nggak dan sebelum jatuh tempo sudah harus dilunasi sepenuhnya. Makanya biar hobi gesek sana gesek sini, saya tetap mengontrol penggunaan kartu kredit supaya jangan sampai bulan depannya saya melet-melet melunasi tagihannya. Dan hasilnya, sudah empat tahun pakai kartu kredit saya belum pernah tuh berurusan sama dept collector. Yang ada malah saya dikejar-kejar marketing kartu kredit yang berebut menawari saya untuk memakai kartu kredit keluaran bank lain dengan berbagai tawaran seperti bebas iuran tahunan seumur hidup, langsung disetujui untuk dapat kartu platinum, dapet hadiah langsung berupa VCD Player, HP, dll. Tapi saya nggak tergoda punya kartu kredit banyak-banyak. Belum lupa kan, saya gadis jujur yang teguh beriman? Pletak! *aduh! siapa yang ngelempar sendal nih?* :-D

Rabu, 28 April 2010

PENGALAMAN MENJUAL RUMAH


Selasa, 27 April lalu untuk pertama kalinya saya menjual salah satu rumah yang saya punya. Pengalaman baru tuh! Kalau beli rumah sih saya udah bolak-balik, udah cukup pengalaman deh. Tapi baru kali ini saya tahu seluk beluk cara menjual rumah.

Ternyata jual rumah gampang-gampang susah ya.. Saya udah niat jual rumah dari pertengahan tahun 2009 lalu, tapi baru berhasil melepasnya April 2010 ini. Dulu saya sempat mencoba memasarkan rumah itu sendiri dengan cara menempel kertas bertuliskan ‘DIJUAL’ dan nomer telepon saya di depan rumah yang akan dijual. Saya juga sempat pasang iklan di koran dan internet. Nggak pakai nunggu lama, respon langsung bermunculan dari mana-mana, tapi paling banyak justru dari marketing agen property yang menawarkan diri untuk membantu memasarkan rumah saya, tentu saja dengan imbalan komisi yang prosentasenya disesuaikan dengan harga rumah. Ada sih satu dua pembeli langsung yang menelpon saya, malahan udah liat-liat rumah dan tawar menawar harga tapi belum ada yang deal.

Awalnya, karena belum terlalu paham dan berpengalaman dalam urusan jual menjual rumah, saya setuju aja waktu sebuah agen property menawarkan untuk kontrak ekslusif dengan agen itu. Maksudnya, saya hanya mengijinkan agen property ini aja yang membantu memasarkan rumah saya, agen property lain nggak boleh ikut-ikutan. Keuntungan sistem ekslusif ini, saya jadi nggak perlu berhubungan dengan banyak agen, cukup mempercayakan semua proses penjualan rumah kepada agen property yang saya tunjuk secara ekslusif. Enaknya lagi kalau kebetulan ketemu marketing yang gencar menawar-nawarkan rumah dan punya banyak buyer alias calon pembeli. Tapi yang terjadi, marketing yang saya pilih ternyata kurang agresif. Saya tunggu beberapa bulan, rumah saya belum laku-laku juga. Boro-boro laku, buyer yang dibawa si marketing untuk dateng ngeliat rumah saya aja jarang-jarang.

Atas saran seorang teman, akhirnya saya ganti taktik dengan mengijinkan semua agen property ikut membantu memasarkan rumah saya (istilahnya ‘open’). Jadi, siapa aja boleh membantu memasarkan, tapi yang berhasil cepat menjuallah yang dapat komisinya. Ribetnya, karena rumah yang akan saya jual dalam kondisi kosong dan kunci rumah saya pegang (nggak mungkin kan semua agen property yang membantu memasarkan saya pinjemin kunci rumah), saya jadi harus bolak-balik ke rumah itu setiap kali ada marketing datang membawa buyer untuk melihat rumah. Mending kalau saya lagi nggak ada kerjaan. Lagi meeting sama klien atau nonton bioskop sama Hugo, tiba-tiba ditelpon marketing diminta mengantar kunci rumah saat itu juga karena ada buyer datang sempet beberapa kali bikin saya bĂȘte.

O ya, waktu memutuskan untuk memakai jasa agen property, saya diminta mengisi dan menanda tangan formulir yang berisi data property yang akan dijual, seperti alamat property, luas tanah, luas bangunan, status sertifikat (hak guna bangunan atau hak milik) dan sejenisnya. Untuk harga rumah di bawah Rp 1 milyar, biasanya agent property menetapkan komisi sebesar 3% dari harga jual rumah saat transaksi dan 2,5% untuk harga rumah di atas 1 milyar, tapi bisa berubah, tergantung kesepakatan antara pemilik rumah dan si marketing.

Sama seperti waktu beli, jual rumah pun saya kena pajak. Dulu saya cuma kenal istilah pajak penjual dan pajak pembeli tapi nggak terlalu ngerti hitung-hitungannya (waktu beli rumah kan selalu langsung ke pengembang, jadi pasrah aja disuruh bayar ini itu karena saya anggap udah bagian dari biaya beli rumah). Nah, gara-gara jual rumah, sekarang saya jadi ngerti maksudnya istilah itu. Pajak pembeli adalah pajak yang harus dibayarkan seseorang saat ia membeli rumah, jumlahnya dihitung dari total NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) – Rp 30 juta x 5%. Sementara pajak penjual dibayarkan oleh si penjual rumah, jumlahnya lebih besar karena dihitung total NJOP x 5%. Buat yang belum tahu, NJOP rumah kita (tanah dan bangunan) bisa dilihat di lembaran PBB (Pajak Bumi dan Bangunan).

Selain pajak penjual, biaya yang harus disiapkan saat kita menjual rumah adalah biaya legalisir pajak, cek sertifikat, dan komisi untuk marketing kalau kita menggunakan jasa agen property. Buat pembeli rumah jangan keburu GR dulu.. Biarpun pajak yang harus dibayar lebih kecil dibandingkan pajak penjual, tapi pembeli rumah kena biaya AJB + balik nama, legalisir pajak, PNBP untuk AJB, SPS APHT, dan APHT + SHT. Ribet ya? Sebetulnya nggak juga sih karena semuanya sudah diurus sama notaris. Kita tinggal duduk manis dan bersiap pegal-pegal tangannya karena harus menanda tangan segepok berkas pada saat proses jual beli berlangsung.

Ternyata bener kata banyak orang selama ini, beli dan jual rumah itu cocok-cocokkan, jodoh-jodohan. Harga udah cocok dan pembeli udah suka rumah saya, kalau nggak jodoh adaaaa aja halangannya. Sebaliknya, kalau memang udah jodohnya, rumah bisa begitu gampang dan cepat berpindah tangan.

Itu yang terjadi dengan rumah saya. Suatu hari salah satu marketing agen property mengantar marketing seorang buyer keliling-keliling di komplek perumahahan tempat saya tinggal. Si buyer memang lagi cari-cari rumah di sekitar situ. Dibawa ke beberapa rumah, si mbak belum merasa sreg. Tapi begitu melihat rumah saya, dia langsung suka, bahkan sebelum melihat bagian dalam rumah karena marketingnya belum janjian sama saya untuk melihat rumah pada hari itu dan kebetulan saat itu saya lagi di luar kota. Begitu esoknya ia melihat bagian dalam rumah saya, ia langsung mantap untuk membeli dan langsung mentransfer tanda jadi tanpa harus melewati proses tawar menawar yang alot. Proses pengajuan KPR berjalan lancar. Maka, jadilah 27 April kemarin salah satu hari bersejarah buat saya karena untuk pertama kalinya saya punya pengalaman menjual rumah.

Selasa, 27 April 2010

SIASAT NEKAT BELI RUMAH

Nggak sedikit teman dan kenalan saya yang terheran-heran ngeliat saya bolak-balik beli rumah. “Kamu ngapain sih beli rumah banyak-banyak? Memangnya nggak repot ngurusnya?”

Buat sebagian orang, apa yang saya lakukan mungkin kelihatan rada kurang kerjaan. Punya rumah 3, toh saya cuma bisa menempati salah satunya. Nggak mungkin kan saya tinggal di rumah pertama, suami di rumah kedua, terus anak tinggal di rumah ketiga? Tapi gimana ya, namanya juga hobi… hehe.. Lagian saya punya beberapa rumah karena kebutuhan juga kok..

Awalnya, saya beli rumah dengan tujuan untuk ditempati. Waktu kemudian saya buka usaha sendiri, saya menjadikan rumah itu sebagai kantor sekaligus tempat tinggal. Ternyata usaha saya berkembang, rumah pertama saya jadi terasa terlalu sempit untuk menampung dua aktifitas sekaligus (tempat usaha sekaligus tempat tinggal). Makanya saya memutuskan membeli rumah kedua, tahun 2005..

Dulu saya mikirnya sederhana aja. Kalau saya nyewa rumah atau kantor untuk tempat usaha, toh saya juga harus mengeluarkan uang untuk biaya sewa. Tapi kalau saya sekalian mencicil rumah, meskipun tiap bulan harus bayar cicilan kan lama-lama rumahnya jadi milik saya. Mungkin ahli keuangan nggak sependapat dengan cara berpikir saya karena dengan begitu saya membuat uang saya menjadi harta tak bergerak. Tapi saya bukan ahli keuangan. Masa bodoh dengan segala macam ilmu keuangan. Yang saya tahu, dengan membeli rumah saya dipaksa untuk teratur menabung (membayar cicilan rumah). Daripada uang saya habis dipakai untuk membeli barang-barang yang nggak jelas, mendingan ditabung jadi rumah…

Begitu juga waktu memutuskan membeli rumah ketiga, tahun 2006. Saat itu usaha saya makin berkembang. Rumah pertama yang saya jadikan tempat usaha nggak cukup lagi menampung karyawan dan aktifitas usaha. Saya kembali membeli rumah dengan cara kredit. Tuh bener kan, saya bolak-balik beli rumah memang karena didorong kebutuhan… Bukan untuk gaya-gayaan, apalagi iseng doang hehe...

Oh ya, saya bisa punya beberapa rumah bukan karena saya kaya luar biasa lho.. Uang yang saya punya sebetulnya nggak banyak-banyak amat. Lebih seringnya sih saya cuma modal nekat dan pinter-pinter atur siasat. Gimana nggak nekat, saya berani tuh memutuskan beli rumah seharga Rp 200 juta, padahal cuma punya uang di tabungan nggak lebih dari Rp 20 juta. Kok bisa?

Untuk sebagian orang (ternasuk saya :p) kendala utama saat akan membeli rumah biasanya ada di pembayaran DP, Nggak sedikit kenalan saya yang mengaku siap terikat komitmen untuk membayar cicilan bulanan selama sekian tahun demi memiliki rumah impian, tapi belum-belum udah frustasi duluan ngumpulin uang untuk DP. Dalam hal ini, saya akui, saya sangat diuntungkan oleh pengembang perumahan tempat saya tinggal yang rajin bikin program yang memudahkan orang berkantong cekak kayak saya untuk beli rumah (makanya saya beli rumahnya di situ-situ terus :D). Salah satunya adalah dengan memberi keringanan pembayaran DP yang bisa dicicil sampai 10 kali, seperti yang sudah pernah saya ceritain di postingan sebelumnya.

Balik lagi ke siasat nekat beli rumah yaa.. Waktu mau beli rumah pakai fasilitas KPR, biasanya saya diminta membayar DP sebesar 20% dari harga rumah. Kalau harga rumah Rp 200 juta, berarti DP-nya Rp 40 juta atau Rp 4 juta per bulan dengan asumsi DP bisa dicicil 10 kali. Dengan uang Rp 20 juta, paling nggak cicilan DP untuk 5 bulan ke depan aman kan? Cicilan DP bulan ke 6 dan seterusnya nanti bisa dicari dan dipikirin sambil jalan. Yang penting bayar dulu tanda jadinya. Pengalaman saya sih kalau sudah niat dan mantap membeli rumah, bisanya ada aja jalannya sehingga saya bisa melunasi semua kewajiban, termasuk membayar biaya BPHTB, AJB, notaris, dan lain-lain.. Kerja jadi lebih semangat karena terpacu pengen punya sesuatu, dalam hal ini rumah. Ya pastinya kita memang harus berusaha keras mengumpulkan uang, nggak bisa cuma duduk ongkang-ongkang kaki sambil berharap menang undian hehe.

Beres urusan DP, tugas kita selanjutnya adalah rajin-rajin berdoa biar pengajuan KPR kita disetujui bank.. ^_^ Kalau bank menyetujui pengajuan KPR kita, berarti aman deh tuh. Kita tinggal akad kredit terus mulai bayar cicilan bulanannya. Tapi kalau pengajuan KPR kita ternyata ditolak juga bukan berarti kiamat yaa... Jangan buru-buru sedih apalagi sampai pengen bunuh diri. Rugi amat… Mendingan segera cari bank lain dan buat pengajuan KPR lagi ke bank tersebut. Meskipun secara umum persyaratan yang diminta semua bank saat kita mengajukan KPR relatif sama, tapi masing-masing bank punya kebijakan tersendiri yang memungkinkan kita lolos di salah satu bank, meskipun sebelumnya ditolak di bank lain. Yang penting kita memenuhi semua persyaratan untuk mendapat fasilitas KPR. Kalau nggak punya penghasilan tetap atau usia kita waktu mengajukan KPR nyaris 60 tahun sementara jangka waktu KPR yang kita minta 20 tahun, biar ngajuin KPR ke 10 bank juga udah pasti nggak bakal dikabulin hehe..

Kalau punya pinjaman KPR di bank, nggak usah terlalu diitung-itung dan ditunggu-tunggu kapan lunasnya, apalagi sampai badan kurus kering mikirin itu doang. Biarin aja (tapi dibayar, tentunya). Dengan berjalannya waktu, lama-lama kita akan terbiasa kok penghasilan kita dipotong setiap bulan untuk membayar cicilan. Kalau kebetulan lagi punya rejeki lebih, kita bisa melunasi sebagian pinjaman di bank (biasanya kena penalti tapi jumlahnya nggak gede-gede amat, tergantung dari besarnya pinjaman kita) biar pinjaman cepat lunas. Nggak terasa kok, pada saatnya nanti tahu-tahu pinjaman kita pasti lunas juga.

Satu hal yang harus disadari, semakin lama harga rumah semakin gila-gilaan. Tentu saja, luas bumi dari dulu ya cuma segitu-segitunya, sementara jumlah manusia yang membutuhkan rumah makin bertambah. Makanya, mumpung masih ada rumah yang bisa dibeli, mulailah untuk berhemat, menabung, dan berencana untuk beli rumah karena, yakinlah sumpah, membeli rumah di lokasi yang tepat nggak ada rugi-ruginya sama sekali dan bisa jadi investasi berharga di kemudian hari.

HOBI YANG MENGUNTUNGKAN

Suatu hari, pagi-pagi saya sudah nongol di kantor pemasaran komplek perumahan tempat saya tinggal. Saya ditemui mbak-mbak bagian marketing -sepertinya orang baru, bukan yang biasa melayani saya beli rumah sebelum-sebelumnya. Langsung saja saya minta informasi tentang sebuah cluster yang akan dibuka di komplek saya.

“Lho, tahu dari mana kita mau buka cluster baru?” tanya si mbak marketing heran.

“Saya lihat spanduknya di jalan,” sahut saya santai.

Si mbak melongo. Belakangan baru saya tahu, spanduk yang memuat informasi tentang cluster itu baruuuu aja dipasang tengah malamnya. Dan sayalah orang pertama yang pagi-pagi langsung datang ke kantor pemasaran merespon iklan tersebut..

Sama suami saya sampai sempat mau dibawa ke psikolog deh. Gara-garanya, setiap kali komplek perumahan tempat saya tinggal buka cluster baru, saya suka mendadak susah tidur hehehe… Gila banget memang, tapi harus diakui saya kecanduan beli rumah. Kalau perempuan lain hobi koleksi tas, baju, sepatu, perhiasan mahal, atau jalan-jalan keluar negeri, saya sudah lama punya ketertarikan khusus pada sebuah benda bernama rumah. Sebab buat saya rumah bukan sekadar tempat untuk ditinggali, tapi juga merupakan tabungan, aset berharga, dan sebuah ‘bisnis ajaib’ yang bisa mendatangkan keuntungan berlipat ganda tanpa saya harus bersusah payah mengelolanya.

Saya pernah nulis di blog ini kalau akhir tahun 2001 saya pertama kali beli rumah di komplek perumahan tempat saya tinggal sekArang. Waktu saya beli, harga rumah dengan luas tanah 96 m2 dan luas bangunan 50 m2 masih Rp 181 jutaan. Nggak sampai dua tahun, saya baru sadar kalau harga pasaran rumah saya melonjak jadi Rp 250 jutaan karena perumahan tempat saya tinggal membuka akses tol, jalur KRL Express AC menuju ke pusat kota Jakarta dan fasilitas-fasilitas lain.

Kenyataan itu membuat saya menemukan peluang baru untuk membuat uang berkembang. Saya jadi terpacu untuk menabung dan setelah uang terkumpul cukup banyak, saya tahu pasti apa yang harus saya lakukan dengan uang tersebut; beli rumah! Rumah yang sudah dibeli bisa ditempati, disewakan atau didiamkan saja, dan voilaaa.. setiap tahun harganya melonjak naik tak terkendali. Rumah yang tahun 2001 saya beli seharga Rp 181 jutaan itu, contohnya. Sekarang, harga pasarannya sudah di atas Rp 400 juta, padahal nggak saya apa-apain. Saya menyebutnya bisnis ajaib karena cara kerjanya dalam membuat uang saya berkembang betul-betul unik dan menakjubkan.

Bayangkan, saya tetap bisa mengerjakan rutinitas harian, nggak perlu meninggalkan pekerjaan utama, dan nggak usah pusing-pusing memikirkan strategi atau cara yang paling tepat untuk mengelola bisnis yang satu ini. Rumah cukup dirawat dan rutin dibersihkan agar selalu dalam kondisi baik. Disewakan juga lumayan karena harga sewa rumah di komplek saya cukup tinggi. Rumah dengan luas bangunan 50 m2 yang cuma memiliki 2 kamar tidur laku disewakan dengan harga Rp 18-20 juta setahun, tergantung kondisi rumah.

Paling enak –dan menguntungkan- beli rumah pada saat pengembang sedang membuka cluster baru. Sepuluh pembeli pertama biasanya mendapat diskon istimewa dan uang muka (DP) rumah bisa dicicil antara 3 sampai 10 bulan, tergantung nego dengan marketing dan kondisi property yang dipasarkan. Kebijakan DP bisa dicicil sampai 10 kali biasanya diberlakukan kalau produk yang ditawarkan masih berupa tanah kosong dan pembangunan rumahnya baru akan selesai paling cepat setahun kemudian. Jadi, waktu mau beli rumah, saya cuma ditunjukkin brosur berisi gambar dan spesifikasi rumah oleh marketing, lalu saya memilih rumah yang letak persisnya di sebelah mana aja saya belum saya tahu. Lha, wong cluster yang digambarkan indah menawan hati di brosur itu kenyataannya masih berupa tanah lapang yang bahkan belum diratakan! :-D

Saya berani membeli rumah yang sama sekali belum dibangun tentunya karena yakin dengan reputasi pengembangnya. Bukan kebetulan kalau semua rumah yang saya beli terletak di komplek yang sama karena berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, seperti apa pun bentuk rumahnya nanti, harga rumah pasti bakal meningkat pesat bahkan sebelum saya selesai mencicil DP-nya.

Nah, biar tahu kapan komplek perumahan saya lagi promo, saya hobi banget jelalatan baca spanduk yang terpampang di jalanan komplek perumahan saya. Nggak heran malamnya spanduk baru dipasang, pagi-pagi saya sudah tahu duluan kalau komplek perumahan saya buka cluster baru, lagi ngadain program diskon khusus untuk pembelian rumah atau kavling tertentu, dan informasi-informasi lain yang bikin saya suka mendadak susah tidur.. Saya menyebutnya hobi yang menguntungkan..

Kamis, 22 April 2010

NGGAK MAU MAIN HATI

Kalo lagi bermain-main dengan uang, saya berusaha banget untuk nggak main hati. Maksudnya, apa pun yang terjadi dengan uang saya, sebisa mungkin nggak saya masukkin ke dalam hati, nggak terlalu saya pikirin. Dari awal saya menanamkan kesadaran pada diri sendiri bahwa uang datang dan pergi nggak sepenuhnya bisa saya kendalikan. Ada faktor lain di luar kuasa saya yang ikut mempengaruhi perputaran uang, dan tugas saya cuma menikmati permainan.

Dengan kesadaran itu, bermain dengan uang jadi menyenangkan buat saya. Saya nggak pernah ragu mengambil langkah sepanjang itu berpeluang menjadikan uang saya berkembang. Saya nggak punya keterikatan emosi dengan uang atau harta saya dalam bentuk yang lain seperti rumah atau mobil, sehingga saya lebih ringan membuatnya berputar. Waktu akan membelinya, lalu kemudian harus melepasnya, saya berusaha nggak melibatkan perasaan. Niatnya mau mengembangkan uang, ya bener-bener cuma mikirin untung doang hehehe…

Tahun 2007, misalnya. Waktu itu, komplek perumahan tempat saya tinggal menggelar program ‘Great Sale’ (jual kavling-kavling sisa dengan diskon gede). Saya langsung blingsatan di kantor pemasaran nyari-nyari kavling diskon yang luas dan posisinya cukup oke. Ketemulah sebuah kavling seluas 262 m2. Harga pasaran tanah di komplek saya waktu itu Rp 1,8 juta per meter. Setelah diskon 35%, jadi tinggal 1,3 jutaan per meter setelah ditambah PPN. Total harganya kurang lebih Rp 337 jutaan.
Yang jadi masalah, beli kavling nggak bisa pakai fasilitas KPR.

Sama marketing perumahan itu saya dikasih keringanan mencicil kavling idaman tersebut selama 3 bulan saja. Walah, saya langsung susah tidur mikirin gimana caranya punya uang Rp 112 juta-an sebulan selama 3 bulan. Setelah bertapa di bukit kapur *halah!*, akhirnya saya nekat menjual mobil Kijang kapsul saya (padahal itu mobil pertama yang punya nilai sejarah luar biasa buat saya sekeluarga), menggadaikan rumah yang saya tempati ke bank, dan sisanya ngorek-ngorek tabungan sampe licin.. Saya sama sekali nggak menyesal harus melepas mobil kijang dan menggadaikan rumah karena awal tahun ini harga pasaran kavling saya sudah meroket jadi Rp 2,3 juta per meter! (NJOP-nya Rp 2,1 juta per meter). Mau iseng-iseng langsung saya jual lagi pun saya udah untung Rp 265 jutaan, cukup buat beli mobil baru atau melunasi hutang KPR rumah yang saya gadaikan untuk membeli kavling ini. Coba waktu itu saya sayang-sayang ngelepas si kijang, pasti sekarang saya ngiler tiap kali ngelewatin kavling idaman itu.. :-D

Nggak terlalu main hati sama uang juga berguna banget lho buat pengusaha seperti saya. Namanya orang usaha kan pasti mengalami pasang surut. Nggak sekali dua kali saya rugi puluhan, bahkan ratusan juta rupiah atau sebaliknya, meraup untung besar-besaran. Saya selalu berusaha untuk nggak sedih atau justru gembira berlebihan saat mengalaminya. Biasa-biasa saja..

Uang lepas dari genggaman, ya sudah direlakan... Punya uang banyak pun setiap saat bisa aja hilang. Saya sudah sangat berhati-hati menjaga dan menggunakannya, tetep aja kok uang bisa lenyap dari genggaman kalau kita memang lagi apes. Dirampok, ditipu, kena bencana alam, disimpan di bank ternyata bank-nya bermasalah, dibelikan saham ternyata nilainya anjlok, diputar untuk mengembangkan usaha ternyata merugi… dan banyak lagi hal lain yang bisa bikin kita kehilangan uang. Kalau saya punya keterikatan emosi sama uang, bisa-bisa saya udah gila dari dulu-dulu. Atau sebaliknya, mungkin saya malah nggak bakalan pernah berani bermain-main dengan uang kalau belum apa-apa bawaannya sudah takut kehilangan duluan. Iya nggak? :-)