Kamis, 30 Juli 2009

MULAI PASANG TARGET

Seharusnya tulisan ini diposting di awal-awal biar nyambung dengan topik sebelumnya. Tapi saya sempet kelupaan nyimpen filenya dan baru ketemu sekarang… :D


Setelah punya kesadaran untuk lebih bijak mengelola uang, saya mulai mengatur strategi baru dalam hal menabung. Setiap habis gajian, saya langsung memotong sebagian penghasilan untuk ditabung. Saya menjadikan kegiatan menabung sebagai salah satu kewajiban bulanan saya. Jadi, kalau orang lain mungkin membelanjakan dulu penghasilannya lalu baru menabung sisanya, saya justru kebalikannya. Habis gajian, sisihkan dulu sebagian uang untuk ditabung, baru sisanya dikelola sedimikan rupa agar cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Dengan menerapkan sistem seperti itu, saya jadi disiplin menabung secara teratur. Saya menetapkan jumlah minimal yang harus saya tabung setiap bulannya dan kalau sudah masuk tabungan, sebisa mungkin saya nggak mengutak-atiknya sebelum mencapai jumlah yang saya harapkan. Saya mulai pasang target dalam menabung. Kebetulan dalam urusan menabung saya terbilang tekun. Mungkin ini salah satu rahasia bagaimana saya bisa punya beberapa rumah dan mobil, meskipun sebetulnya penghasilan saya dan suami nggak luar biasa besarnya!

Belakangan saya sadar, ternyata bukan menabungnya yang bisa bikin kita kaya, tapi sikap dan pola pikir yang terbentuk dari kebiasaan menabung itulah yang akan membuat kita mampu membeli barang-barang mahal yang sebelumnya terasa sangat jauh dari jangkauan. Logikanya sederhana saja. Berapapun uang yang kita pegang pasti bakal habis begitu saja juga kalau kita nggak dengan sengaja menyisihkannya, menabungnya. Tapi kalau kita memaksakan diri untuk menabung sebagian uang kita, sedikit demi sedikit uang yang kita kumpulkan lama-lama akan menjadi bukit. Dan pada saat itulah barang impian yang semula terasa sangat jauh dari jangkauan, akan menjadi lebih dekat untuk diraih. Benda yang tadinya kelihatan sangat mahal jadi lebih masuk akal untuk dimiliki.

Seperti pengalaman saya. Karena terbiasa disiplin menabung, nggak terasa lama-lama saya punya cukup uang untuk membayar uang muka rumah yang saya impikan. Saya jadi berani memutuskan membeli rumah secara kredit dan yakin bisa membayar cicilan rumah setiap bulan karena sebelumnya sudah mampu berkomitmen menyisihkan sebagian penghasilan untuk ditabung. Buat saya, mencicil rumah sama seperti menabung juga. Bedanya, saya membuat lompatan besar dengan mengubah bentuk tabungan saya dari menabung uang menjadi sebuah barang yang bernilai investasi. Dari sesuatu (baca; uang) yang setiap tahun nilainya makin menurun, menjadi sesuatu (baca; rumah) yang nilainya akan terus meningkat.

Setiap tahun, saya berusaha meningkatkan jumlah uang yang harus saya sisihkan setiap bulan. Saat sudah terbiasa menyisihkan uang untuk mencicil rumah, saya menambah tabungan saya dalam bentuk yang lain. Salah satunya adalah asuransi dan tabungan berjangka yang mengharuskan saya menabung sebesar jumlah tertentu setiap bulannya selama jangka waktu yang sudah disepakati.

Terasa banget lho manfaatnya punya asuransi dan tabungan. Waktu tiba waktunya mendaftarkan Hugo sekolah, saya nggak pusing mikirin uang pangkalnya karena saya punya uang dari asuransi pendidikannya. Waktu tabungan berjangka saya jatuh tempo dan bisa dicairkan, saya bisa menata interior rumah dengan aneka furniture yang lama saya impikan. Saya bisa liburan sekeluarga, merenovasi rumah, mencicil mobil, dan membeli kebutuhan konsumtif lain karena rajin menabung. Siapa mau ikut jejak saya? ^_^

Kamis, 23 Juli 2009

MANIAK ASURANSI

Saya hobi banget ikut asuransi. Mulai dari asuransi jiwa, kesehatan, mobil, pendidikan, sampai asuransi kebakaran rumah semua saya punya. Selain menabung, sepertinya saya juga maniak asuransi.. :-D

Padahal dulu waktu pertama kali ikut asuransi tahun 2000, alasannya nggak mutu banget; cuma menolong teman yang kerja di asuransi, yang waktu itu terancam PHK karena nggak memenuhi target penjualan. Saya mulai sadar asuransi saat Hugo, putra saya, lahir. Saat itu, saya dan suami baru memulai usaha penerbitan majalah. Belum mapan. Kami bahkan belum tahu prospek usaha yang kami tekuni di kemudian hari karena kami juga masih meraba-raba, masih belajar berwiraswasta.

Biar ke depannya biaya pendidikan Hugo lebih terjamin, saya mulai mencari asuransi pendidikan yang tepat untuk Hugo. Setelah membanding-bandingkan, pilihan saya jatuh ke sebuah produk asuransi pendidikan jangka panjang untuk menjamin ketersediaan biaya pendidikan Hugo dari TK sampai perguruan tinggi. Dengan ikut asuransi ini, kalau suatu ketika terjadi sesuatu pada orang tuanya, Hugo masih tetap bisa melanjutkan pendidikan tanpa khawatir masalah biaya.

Tahun 2003, premi tahunan yang saya bayarkan untuk asuransi pendidikan Hugo kurang lebih Rp 3,8 juta (sesuai dengan kemampuan saya saat itu). Manfaatnya, pada saat Hugo masuk SD ada uang yang bisa dicairkan sebesar Rp 5 juta; waktu Hugo masuk SMP uang cair Rp 10 juta; masuk SMA Rp 15 juta; lalu saat masuk perguruan tinggi Rp 70 juta. Asuransi pendidikan tersebut sudah termasuk asuransi jiwa dengan uang pertanggungan Rp… (wah, berapa ya? Lupa! Harus liat polisnya dulu nih..)

Saat polis asuransi sudah di tangan, barulah saya sadar kalau pada saat Hugo masuk SD tahun 2008 uang sejumlah Rp 5 juta terlalu kecil untuk dijadikan modal mendaftar di SD yang bagus. Saya lalu ikut tabungan pendidikan di sebuah bank, yang menuntut saya disiplin menabung Rp 500 ribu per bulan selama 3 tahun. Hasilnya, waktu Hugo masuk SD, saya tenang-tenang saja karena dana pendidikan sudah tersedia lebih dari cukup untuk membayar biaya pendaftaran, membeli seragam, buku dan perlengkapan sekolah lainnya. Malah ada sisanya yang akhirnya saya pakai untuk liburan sekeluarga hehe...

Urusan pendidikan beres, saya mulai memikirkan asuransi kesehatan untuk keluarga. Gara-garanya, suatu hari Hugo sakit dan harus dirawat di RS. Wah, puyeng deh. Soalnya selain memikirkan kesembuhan Hugo, saya masih harus pusing soal biaya rumah sakit yang nggak sedikit. Saya dan suami kan sama-sama wiraswasta, bukan karyawan kantoran yang punya fasilitas jaminan kesehatan dari perusahaan tempat bekerja. Kalau nggak ikut asuransi, siapa yang mau menjamin?

Seperti waktu mencari asuransi pendidikan Hugo, saya membandingkan beberapa produk dulu sebelum menjatuhkan pilihan. Saya memilih asuransi kesehatan dengan premi Rp 5,4 juta per tahun untuk kami bertiga (saya, suami, dan Hugo). Manfaatnya, kalau dirawat di RS kami mendapat jatah kamar seharga Rp 600 ribu per malam dan seluruh biaya pengobatan seperti kunjungan dokter, obat-obatan, tindakan operasi kalau diperlukan dan lain-lain ditanggung oleh pihak asuransi maksimum Rp 500 juta per tahun, per orang. Tapi kalau dalam setahun di antara kami bertiga nggak ada yang sakit, premi yang saya bayarkan hangus. Buang-buang uang? Nggak juga…

Buat saya punya asuransi seperti punya payung; melindungi kita dari panas dan hujan. Tapi kalau nggak panas atau hujan, nggak ada salahnya juga kan punya payung untuk berjaga-jaga? Beli payung aja harus modal kok... Lagian sekalinya masuk RS, biaya yang harus dikeluarkan bisa lebih dari Rp 5,4 juta. Waktu Hugo dirawat 5 hari di RS misalnya, biayanya kurang lebih Rp 6,3 juta. Lebih besar dari premi tahunan yang harus saya bayar tuh..

Saya ‘berkenalan’ dengan asuransi kendaraan awalnya karena beli mobil dengan cara kredit. Setelah kredit lunas, saya yang sudah merasakan manfaat asuransi ini meneruskan ikut asuransi dengan kesadaran sendiri. Begitu juga asuransi kebakaran rumah. Saya mengenalnya juga gara-gara beli rumah dengan cara kredit yang sampai sekarang belum lunas-lunas… :P

Terasa banget deh manfaatnya ikut berbagai asuransi. Hidup jadi lebih nyaman dan tenteram. Mobil diserempet angkot di jalan, saya tenang-tenang saja.. Kan ada asuransi. Tinggal dibawa ke bengkel dan klaim ke asuransi, beres deh.. Nggak perlu ngotot-ngototan sama sopir angkot, beberapa hari kemudian mobil sudah kembali ke garasi dalam kondisi mulus seperti baru..

Kalau saya yang sakit, saya malah untung. Kok bisa? Iya dong.. selain asuransi kesehatan yang saya ceritakan di atas, saya juga ikut semacam program tabungan kesehatan yang mengharuskan saya menabung Rp 240 ribu sebulan selama 7 tahun dan nggak boleh diambil selama masa itu. Kompensasinya, selama 7 tahun itu, kalau saya dirawat di RS, saya mendapat penggantian biaya kamar sebesar Rp 300 ribu, meskipun biaya itu sudah dicover asuransi kesehatan saya. Tinggal ngitung deh. Kalau saya dirawat di RS 1 hari berarti saya untung Rp 300 ribu, 2 hari Rp 600 ribu, 3 hari Rp 900 ribu dan seterusnya.

Kalau dirawat di RS, bukannya keluar biaya saya malah punya penghasilan tambahan. Tapi kalau disuruh milih saya pasti lebih senang sehat-sehat saja. Emang enak jadi pasien? :)