Minggu, 29 Maret 2009

MEMBUAT LANGKAH PERTAMA

Minggu lalu saya ke Bandung untuk suatu urusan pekerjaan. Saat ada waktu luang, saya dan suami mampir ke rumah salah seorang teman yang baru kurang lebih setahun ini memulai usaha sendiri.

Ketika saya tiba di rumahnya, teman ini –sebut saja namanya Maman- memperkenalkan kami pada istrinya sebagai ‘orang yang telah memberinya inspirasi untuk berwiraswasta’. Wah… jadi ge-er... :D Padahal kami merasa nggak melakukan apapun lho untuk si Maman ini. Tapi memang, di awal perkenalan dulu Maman masih berstatus karyawan di sebuah perusahaan. Setelah beberapa kali sharing dan mendengar cerita-cerita saya dan suami tentang awal mula kami terjun mengelola usaha sendiri serta suka duka jadi pengusaha, ternyata Maman terinspirasi untuk mengikuti jejak kami.

Sebagai karyawan senior, ia memang sudah cukup memahami seluk beluk usaha yang sudah bertahun-tahun digeluti perusahaan tempatnya bekerja. Ia sudah punya gambaran tentang produk yang hendak dilempar ke pasaran serta jalur distribusinya, pengetahuan yang lebih dari cukup tentang sistem distribusi dan resiko-resiko yang mungkin terjadi, dan orang yang bersedia membantu memodali. Yang belum ia miliki cuma satu; keberanian untuk membuat langkah pertama.

Menurut saya, kendala yang umum dihadapi oleh orang yang ingin memulai usaha adalah kurangnya keberanian untuk memulai langkah pertama. Apalagi kalau sebelumnya orang tersebut sudah berada di posisi yang aman dan nyaman. Seperti si Maman ini. Di tempat kerjanya yang dulu, ia termasuk karyawan senior yang sudah memiliki posisi cukup tinggi. Secara materi ia hidup berkecukupan, meskipun nggak bisa dibilang sangat berlebih. Setiap bulan, Maman punya penghasilan tetap yang bisa diandalkan. Tapi setelah sekian lama ia mulai merasa pekerjaannya kurang memberi tantangan. Dan kemapanan, tentu saja. Pada saat itulah Maman mulai berpikir untuk merintis usaha sendiri di bidang yang memang sudah ia kuasai. Tapi sayang, ia nggak punya cukup nyali untuk terjun menjadi pengusaha sehingga keinginannya hanya berhenti sampai sebatas mimpi saja. Sampai kemudian ia bertemu saya dan suami, yang –katanya- mampu menginspirasi dan memotivasi dirinya untuk berani melangkah.

Dulu, di awal-awal merintis usaha penerbitan dan distribusi majalah ini, saya juga sempat ragu dan deg-degan saat akan mulai melangkah. ‘Aduh, bisa nggak ya saya menjalankan usaha ini? Berhasil nggak ya? Wah, jangan-jangan gagal, terus saya bangkrut…’ pikir saya waktu itu.

Untunglah nyali dan tekat saya lebih besar dan mampu mengalahkan semua ketakutan itu. Saya memberanikan diri untuk membuat langkah pertama dan meskipun terseok-seok, jatuh bangun bahkan kadang sampai tersungkur dan babak belur, saya terus melangkah ke depan. Hajar bleh! :D Pokoknya saya berusaha melakukan yang terbaik yang saya bisa lakukan hari ini, nggak perduli bagaimana pun hasil akhirnya. Kesalahan yang pernah saya buat saya jadikan pelajaran agar di kemudian hari nggak membuat kesalahan yang sama. Apapun yang terjadi, saya tetap fokus pada tekad untuk membesarkan usaha ini. Saya nggak pernah berpikir untuk berhenti atau berganti usaha sebelum yang satu ini berhasil. Suatu hari, saat saya berhenti sejenak untuk melihat ke belakang, barulah saya sadari kalau ternyata saya sudah melangkah begitu jauh dan begitu banyak keberhasilan yang sudah saya raih. Saya bahkan sudah memiliki segala sesuatu lebih daripada yang berani saya impikan sebelumnya!

Saya cuma ingin bilang, jangan pernah takut untuk membuat langkah pertama. Pada tahap ini, mungkin kita akan terjatuh atau belum bisa melangkah sempurna. Nggak apa-apa. Kita nggak akan pernah tahu kita bisa berjalan atau nggak sebelum mencoba melangkah untuk pertama kalinya. Jarak atau tujuan sejauh apapun pasti bisa kita tempuh kalau kita sudah berani membuat langkah pertama. Sebaliknya, tujuan sedekat apapun tak akan pernah kita capai kalau kita hanya diam di tempat karena takut jatuh atau membuat kesalahan saat pertama kali melangkah. Jangan pernah takut jatuh karena saya percaya, justru saat jatuh bangun itulah mental dan karakter kita ditempa sehingga kemudian kita memiliki kemampuan yang cukup untuk berlari, tidak sekadar berjalan lagi.

Satu hal yang juga sangat saya yakini, saya bisa melangkah sejauh ini bukan semata-mata karena saya hebat. Rajin, pintar, dan berbakat pun bukan jaminan. Di sini, lagi-lagi, keberuntungan dan faktor-faktor di luar kuasa kita ikut berperan dalam menentukan berhasil nggaknya seseorang. Tapi jangan belum-belum sudah putus asa duluan. Jangan pernah berpikir, ‘Ah, kayaknya saya memang nggak bakat kaya, nggak bakat jadi pengusaha deh. Saya nggak mungkin bisa. Percuma juga kerja keras dan berusaha mati-matian, paling jadinya begini-begini saja.” Itu namanya belum bertempur sudah kalah duluan hehehe…

TENTANG MENJADI KAYA

Menurut pengamatan saya, ada 2 jenis orang kaya di dunia ini. Yang pertama adalah seseorang yang punya orang tua kaya raya. Jadi, begitu lahir ke dunia, jebret! Oeeek… oeeek… langsung deh ikutan kaya… :p

Yang kedua adalah seseorang yang lahir dari keluarga yang secara materi biasa-biasa saja. Tapi karena punya tekad yang kuat untuk maju, mau bekerja keras, jeli melihat peluang, dan –ini yang nggak kalah penting- tahu bagaimana cara mengelola uang, ia akhirnya bisa juga menjadi kaya.

Saya lahir dari keluarga biasa-biasa saja. Saya lupa berapa umur saya saat saya pertama kali memiliki kesadaran bahwa saya nggak akan tiba-tiba punya banyak uang kalau saya nggak berusaha. Sudah lama saya meyakini kalau untuk mapan secara materi, saya harus bekerja keras dan cerdas memanfaatkan setiap rupiah yang saya miliki. Pengalaman mengajarkan kepada saya bahwa untuk saya, mencari uang itu nggak gampang. Saya nggak bisa cuma duduk bermalas-malasan lalu mendadak ada uang sekarung jatuh ke pangkuan saya, turun begitu saja dari langit. Waduh, sampai botak berjengger nungguin kayaknya nggak bakalan tuh kejadian sama saya hehehe…

Orang lain mungkin ada yang terlahir dengan keberuntungan yang luar biasa bagus. Keberuntungan yang saya bicarakan di sini maksudnya gampang dapat uang atau barang berharga tanpa harus menguras banyak tenaga dan pikiran. Contohnya nih ya; sering menang undian, berkali-kali dapat hadiah utama kuis ini atau lomba itu, rajin dapat doorprize atau grandprize suatu acara, dan lain-lain yang nggak memerlukan keahlian khusus.

Ada seorang teman saya yang punya keberuntungan semacam ini. Datang ke suatu acara, pulang-pulang dia menenteng laptop baru yang dimenangkannya. Ikutan kuis berhadiah di televisi, cuma menjawab pertanyaan gampang, dapat deh duit sejuta. Belanja di supermarket senilai tertentu dan boleh mengambil satu dari sekian banyak gulungan kertas yang sudah ditulisi hadiah-hadiah yang bisa dimenangkan, kok ya kebetulan kertas yang diambilnya ada tulisannya ‘KOMPOR GAS’ (padahal pengunjung lain kebanyakan cuma dapat sebungkus mie instant). Nabung di bank duitnya nggak seberapa, waktu bank-nya bikin undian berhadiah, eh dia dapat tuh handphone baru yang canggih.

Saya pikir dulu cuma si Untung, salah satu tokoh di komik Donald Bebek lho yang punya keberuntungan sebagus itu. Ternyata di dunia nyata juga ada. Tapi sayangnya, saya sama sekali bukan orang yang seberuntung itu… :D Nggak kehitung berapa point berhadiah yang sudah saya kumpulkan dan berapa ratus lembar kupon undian yang pernah saya kirimkan, tapi belum pernah sekalipun saya memenangkan hadiah yang lumayan berharga. Dalam catatan rekor saya, hadiah undian paling bagus yang pernah saya dapat adalah sebuah mug atau payung cantik :)

Pengalaman itu mengajarkan kepada saya untuk tidak sekali-sekali berharap menjadi kaya tanpa usaha dan kerja keras. Bersyukurlah kalau kamu termasuk orang kaya jenis pertama atau orang yang beruntung sebentar-sebentar menang undian. Tapi saya juga bersyukur karena meskipun nggak kaya sejak lahir dan nggak seberuntung teman saya dalam hal mendapat uang secara instant, tapi saya selalu diberi kesempatan untuk memperoleh uang secara halal dan dianugerahi kemampuan untuk mengelola uang tersebut dengan bijak.

Orang yang kaya sejak lahir mungkin lebih beruntung karena dia nggak perlu mulai mengumpulkan uang dari nol. Tapi percuma juga kaya raya kalau nggak cerdas, nggak pintar mengelola dan memanfaatkan uang yang dimilikinya. Kalau nggak digunakan dengan benar, uang sebanyak apa pun bisa habis begitu saja kok. Artinya, orang yang sangat kaya juga bukan nggak mungkin jatuh miskin kalau nggak hati-hati mengelola uangnya. Sebaliknya, orang yang awalnya hidup pas-pasan bukan berarti nggak punya peluang untuk jadi kaya.

Semua orang sebetulnya bisa kaya, meskipun definisi kaya untuk setiap orang pastinya berbeda-beda. Tapi saya yakin banget, salah satu kunci keberhasilan seseorang untuk menjadi kaya bukanlah semata-mata berapa banyak seseorang bisa menghasilkan uang, tapi bagaimana ia mampu mengelola serta memaknai uang yang dimilikinya secara cerdas dan bijak. Karena yang terpenting dari uang sebetulnya bukanlah berapa besarnya, tapi bagaimana mengelola dan memanfaatkannya. Moga-moga belom bosan sama kalimat andalan saya yang satu ini hahaha…

JELI MELIHAT PELUANG

Akhir 2004, ada sebuah grup band yang menggebrak blantika musik tanah air. Bukan saja lantaran vokalisnya kebetulan berwajah tampan, tapi lagu-lagu yang dinyanyikannya memang enak didengar dan gampang diingat. Perlu nggak saya sebutin nama band itu? Nggak usah lah ya… Pokoknya, waktu itu Hugo yang umurnya 3 tahun aja belum genap udah hafal mati syair salah satu lagu band ini yang ngetop banget...

Sukakah saya sama band ini? Suka sih… Tapi kalau saya kepikiran menerbitkan Majalah Mr. G Spesial, bukan semata-mata saya ngefans banget sama lagunya, tapi terlebih karena saya melhat peluang besar untuk meraup keuntungan. Iyalah, secara ini band lagi ngetop banget di seluruh pelosok Indonesia… segala sesuatu yang berhubungan dengannya pasti laku dijual, termasuk majalah yang khusus berisi semua lagu band ini dari awal berkarir sampai album terakhir. Di edisi khusus itu, saya juga menampilkan profil masing-masing personil, cerita seputar perjalanan karir dan album mereka, dengan tambahan bonus berupa sticker. Harga jualnya Rp 4.000,- per majalah.

Februari 2005 saya melempar Majalah Mr. G Spesial ini ke pasaran dan reaksi pasar sunguh luar biasa. Nggak sampai seminggu, majalah sudah habis sampai agen dari seluruh Indonesia nelepon-nelepon ke kantor untuk minta tambahan jatah. Sayangnya waktu itu saya nggak mencetak dalam jumlah yang sangat banyak, cuma mencetak sesuai jatah yang biasa diminta agen. Retur hampir nggak ada (sampai-sampai saya sendiri nggak punya majalah edisi itu saking lakunya ^_^). Dalam waktu sekejap saya berhasil meraup keuntungan besar dari penjualan majalah ini.

Keuntungan dari penjualan majalah itu lalu saya pakai untuk membayar DP sebuah rumah mungil di Bintaro –masih satu cluster dengan rumah pertama yang saya jadikan kantor. Saya memang sudah memutuskan untuk selamanya memisahkan tempat tinggal dengan kantor. Karena rumah pertama sudah terlanjur menjadi kantor, saya perlu satu rumah lagi untuk ditinggali mengingat rumah yang saya tempati saat itu adalah rumah kontrakkan yang hampir habis masa kontraknya.

Proses saya dan suami mendapatkan rumah kedua ini cukup unik. Dari awal melihat model bangunannya, saya dan suami langsung tertarik ingin memiliki rumah tersebut. Tapi waktu mencari informasi ke kantor pemasaran, ternyata rumah dengan tipe seperti yang kami inginkan sudah terjual semua. Habis sama sekali, nggak ada sisa satu unit pun. Dengan kecewa saya meninggalkan kantor pemasaran, tapi belum sampai mobil kami keluar dari pelataran parkir, tiba-tiba marketing yang membantu kami saat itu menelepon, memberi tahu kalau ada seorang pembeli yang batal membeli salah satu rumah dengan tipe yang kami taksir karena pengajuan KPR-nya ditolak oleh bank.

“Kalau Mbak Intan serius, sekarang langsung bayar tanda jadi saja. Nanti setelah proses pembatalannya beres, tinggal bayar DP-nya kalau memang mau pakai fasilitas KPR,” kata mbak marketing waktu itu Waduh, memang bener ya, yang namanya beli rumah itu jodoh-jodohan. Kalau memang sudah jodoh, nggak bakal lari kemana hehe…

Saat itu April 2005. Harga rumah saya masih sekitar Rp 178 juta-an, LB/LT 41/72 m2. Waktu itu DP-nya 20%, jadi sekitar Rp 35 juta-an dan saya mengajukan KPR dengan plafon 60 bulan dengan cicilan kurang lebih Rp 3 juta. Ditambah biaya akad kredit, biaya bank dan lain-lain, saya harus menyiapkan uang sekitar Rp 50 juta di proses awal pembelian rumah ini. Setelah dibangun menjadi 2 lantai dan direnovasi di sana sini dengan biaya minim (kurang lebih cuma Rp 60 juta, karena saya dan suami rajin berburu material yang murah meriah tapi nggak murahan), saat ini rumah yang saya tempati sudah bernilai lebih dari dua kali lipat dari saat pertama saya beli dulu. Biarpun mungil, saya cinta banget sama rumah ini karena selain sudah direnovasi sesuai selera saya dan suami, rumah ini dekeeet banget sama rumah pertama yang saya jadikan kantor. Nggak sampai sepuluh menit jalan kaki, bahkan Hugo bisa sewaktu-waktu nyusul saya ke kantor naik sepeda.

Wah, kalau nggak jeli melihat peluang dan nekat menerbitkan Mr. G Spesial ini, saya pasti nggak bakal sanggup menyiapkan uang sebanyak itu (untuk bayar DP dan renovasi rumah) dalam waktu singkat. Kayaknya saya harus berterima kasih sama band ini deh.. :-D

Rabu, 11 Maret 2009

KECANDUAN BIKIN MAJALAH

Belum ada setahun menempati rumah di Bintaro, Desember 2003 saya sekeluarga sudah pindah rumah lagi. Soalnya, sejak menerbitkan GitarPlus saya menambah jumlah karyawan dan rumah merangkap kantor yang mungil itu pun jadi makin terasa sempit. Lagipula saya ingin mulai membenahi perusahaan dengan menciptakan suasana kerja yang lebih nyaman dan sehat. Nggak seru banget kan lagi enak-enak kerja, tiba-tiba di ruang sebelah ada suara anak kecil nangis menjerit-jerit? Belum lagi gangguan lain, misalnya lagi serius ngetik tahu-tahu komputer mati karena Hugo iseng mencet-mencet tombol.. :D Buat saya sekeluarga juga nggak sehat karena kami jadi nggak punya privasi. Tengah malam telepon berdering, saat diangkat ternyata cuma dari pembaca yang iseng nanya majalah baru sudah terbit atau belum. Rumah dan kantor jadi satu kalau dilihat dari sisi keuangan memang hemat. Tapi demi kenyamanan bersama, saya memutuskan untuk memisahkannya.

Kalau kantor yang dipindahkan, bakal ribet urusannya karena selain harus memindahkan barang-barang kantor yang lumayan banyak, saya juga harus memberi pengumuman ke agen dan pihak-pihak terkait soal kepindahan kantor, membuat kop surat, amplop, faktur, kwitansi, dan lain-lain dengan alamat baru. Akhirnya diputuskan kalau saya sekeluarga saja yang pindah rumah. Saya mengontrak rumah mungil di sebuah komplek yang bertetanggaan dengan komplek tempat kantor saya berada. Jadi ‘kontraktor’ lagi deh… ;)

Kantor dan rumah dipisah otomatis membuat pengeluaran rutin saya bertambah. Kalau dulu cukup membayar 1 tagihan telepon, 1 tagihan listrik, 1 iuran satpam komplek, dan 1 iuran kebersihan, sejak rumah pisah sama kantor semuanya jadi dobel. Makanya saya berharap dengan dipisahkannya rumah dengan kantor, omzet usaha saya naik dan keuntungan perusahaan juga meningkat. Tapi apa mau dikata, ternyata Majalah GitarPlus kurang menguntungkan. Seperti yang sudah saya ceritakan, penjualannya jeblok di pasaran, membuat keuangan perusahaan jadi megap-megap nggak karuan.

Bukannya kapok, saya dan suami malah nekat bikin majalah musik baru di tahun yang sama, tepatnya di Juni 2004. Namanya Mr. G, dibaca Mister G, tapi kalau dipanjangkan bisa berarti Musik, Rileks, dan Gaul. Norak? Ya, memang sengaja, soalnya kami membidik pangsa pasar dari kelas ekonomi menengah ke bawah. Bukan cuma namanya yang ‘ajaib’, isi majalahnya pun norak-norak bergembira. Selain memuat teks-teks lagu yang lagi ngetop dilengkapi dengan kord untuk memudahkan pembaca memainkan lagu tersebut dengan gitar, Mr. G juga berisi ramalan bintang, humor, trik bermain sulap, cerita-cerita lucu, TTS (Teka-Teki Silang), TTA (Teka-Teki Angka)… pokoknya campur-campur deh! Mr. G berbentuk majalah saku (ukurannya setengah majalah biasa) dengan harga jual murah meriah; Rp 3.000 untuk P. Jawa, dan Rp 3.500 untuk luar P. Jawa.

Dari mana modalnya? Kebetulan saat itu saya punya sedikit tabungan pribadi. Inget dong, saya selalu memisahkan uang kantor dan uang pribadi. Karena terbiasa hidup sederhana, meskipun penghasilan meningkat saya nggak pernah belanja macam-macam di luar kebutuhan. Sisa uang selalu saya tabung. Nah, di saat-saat seperti ini saya baru ngerasaain banget manfaat menabung. Pas butuh uang untuk mengembangkan usaha, nggak usah pusing-pusing deh! Kan ada tabungan… :-)

Ternyata Mr. G laris manis di pasaran. Baru beberapa hari terbit, Mr. G sudah nggak ada di pasaran saking lakunya. Awalnya saya cuma mencetak sebanyak 10.000 eksemplar, tapi tiap bulan permintaan bertambah terus. Karena keterbatasan modal, saya cuma bisa menambah oplah sedikit, nggak menjawab permintaan pasar yang semakin lama semakin besar. Saya butuh modal tambahan. Tapi dari mana? Mau ngutak-atik uang G-Magz nggak mungkin, soalnya G-Magz sudah mensubsidi GitarPlus yang masih terus menerus terpuruk.

Lagi pusing cari tambahan modal, tiba-tiba baca iklan di koran kalau Bank Mandiri memberi penawaran kepada nasabah KPR untuk memindahkan KPR dari Bank lain ke KPR Bank Mandiri dengan membebaskan biaya provisi dan biaya apraisal. Karena lagi promo, suku bunga KPR di Bank Mandiri juga lebih rendah 2% dibandingkan bank-bank lain, termasuk bank tempat saya mengambil fasilitas KPR rumah pertama (yang jadi kantor). Yang lebih menarik, Bank Mandiri juga menawarkan untuk memberi pinjaman yang lebih besar daripada sisa hutang KPR. Maksudnya, kalau hutang KPR saya di KPR Bank lain –katakanlah- Rp 50 juta, kalau dipindahkan ke KPR Bank Mandiri, saya bisa memperoleh tambahan pinjaman sampai Rp 200 juta, yang besarnya disesuaikan dengan nilai agunan saya. Langsung deh ‘alarm’ di kepala saya bunyi, memberi sinyal untuk menangkap peluang ini. Saya buru-buru ambil kalkulator, menghitung-hitung untung ruginya. Dengan hasil akhir, saya memutuskan memindahkan KPR saya ke Bank Mandiri. Agak repot sih, saya harus menyiapkan dokumen-dokumen seperti waktu pertama kali mengajukan KPR, lalu ada orang dari pihak bank datang ke rumah untuk memperkirakan nilai rumah yang saya jadikan agunan, dan setelah disetujui saya harus melewati proses akad kredit lagi. Tapi nggak apa-apalah, namanya juga usaha… :D

Saat itu Oktober 2004. Sisa hutang KPR saya di bank pertama ternyata masih Rp 60 juta-an. Waktu saya pindahkan ke Bank Mandiri, saya mendapat pinjaman Rp 100 juta kurang sedikit (saya lupa jumlah tepatnya, tapi kurang lebih Rp 96 juta-an). Setelah menutup hutang KPR di bank lain sebesar Rp 60 juta, saya masih punya dana segar Rp 36 juta-an. Lumayan untuk memperpanjang nafas usaha kan? Dengan uang Rp 36 juta-an itu, saya menambah oplah Mr. G (sampai pernah mencapai 50.000 eksemplar setiap edisi) sekaligus menambah karyawan. Saat itu total karyawan tetap saya ada 7 orang, belum termasuk karyawan lepas yang bertugas mengepak majalah (hanya bekerja saat majalah datang dari percetakan, jumlahnya 8 orang).

Nggak terasa, saya sudah punya 3 majalah –semuanya majalah musik. Tapi hidup saya nggak jauh berubah dari waktu pertama kali punya usaha. Bedanya, kemana-mana saya naik mobil pribadi (nggak sepeda motor butut lagi), tingal di komplek perumahan (bukan di gank sempit lagi, meskipun judulnya sama-sama ngontrak :p), dalam setahun bisa berkali-kali liburan ke luar kota naik pesawat dan menginap di hotel berbintang, bisa makan di resto mahal tanpa deg-degan (takut uangnya nggak cukup untuk bayar makanan yang dipesan :D) saat pelayan menyerahkan tagihan, dan bisa belanja kapan saja saya mau. Saya menikmati hidup saya, menikmati hasil kerja keras dan segala sesuatu yang sudah saya raih. Tapi saya nggak lupa diri. Saya tetap membiasakan menabung sebagian uang yang saya punya. Saat tabungan menumpuk, saya nggak tergoda memakainya untuk belanja berlebihan. Saya malah lebih tergoda untuk bikin majalah baru lagi. Kayaknya saya sudah kecanduan bikin majalah deh hehehe…

Selasa, 03 Maret 2009

BERANI MENGAMBIL RESIKO

Dalam mengelola usaha, saya memegang teguh tiga prinsip; jujur, bisa dipercaya, dan nggak mau menyulitkan orang lain. Saya bikin usaha untuk cari keuntungan. Tapi saya nggak mau menghalalkan segala cara dan main sruduk sana-sini demi mengejar uang. Saya nggak ingin jadi sangat kaya kalau untuk itu saya harus berbuat curang, menyusahkan orang, atau mengambil yang bukan menjadi hak saya.

Mungkin kedengarannya aneh, tapi dari awal terjun ke dunia usaha, saya memang nggak berniat membangun usaha hanya semata-mata untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Buat saya, pekerjaan yang saya tekuni haruslah menyenangkan dan bikin saya nyaman melakukannya. Saya bahagia kalau apa yang saya kerjakan bisa berguna dan memberi manfaat untuk banyak orang. Untung sedikit nggak masalah, toh sedikit demi sedikit kalau dikumpulkan lama-lama jadi bukit… Yang penting majalahnya laku, usahanya jalan, dan orang-orang yang terlibat dalam usaha ini plus pembacanya semua senang.. Udah, saya mikirnya gitu doang hehe…

Karena nggak berasal dari keluarga pengusaha dan nggak dibekali cukup ilmu untuk jadi pengusaha, saya suka-suka aja mengelola usaha ini. Nggak pakai teorinya siapa-siapa dan nggak meniru tips manajemen apapun. Saya cuma menerapkan tiga prinsip yang saya sebutkan tadi. Pokoknya lurus-lurus aja... :-) Nggak disangka-sangka, dengan ilmu acakadut hasil ramuan sendiri, nggak sampai 2 tahun usaha saya sudah berhasil balik modal. Uang di rekening tabungan sudah mencapai Rp 80 juta (sebesar modal awal saya), piutang di luaran kurang lebih Rp 100 juta-an, dan saya sudah punya sebuah mobil meskipun cicilannya belum lunas.

Melihat ada uang cukup banyak di rekening perusahaan, suami langsung gatel pengen mengembangkan usaha.

“Kita bikin majalah baru, yuk!” katanya semangat.

Saat itu saya merasa seperti peserta acara kuis di televisi. Sudah berhasil dapat ‘hadiah’ Rp 80 juta, lalu dihadapkan pada dua pilihan; mau melanjutkan permainan atau berhenti sampai di sini saja. Kalau berhenti dan cari aman, saya punya uang Rp 80 juta. Tapi kalau lanjut ke babak berikut, ada kemungkinan saya bisa meraup keuntungan atau ‘hadiah’ yang lebih besar lagi dengan catatan kalau berhasil melewati babak itu. Kalau gagal? Hilang deh semua uang yang sudah di genggaman.

Tapi kalau sudah memutuskan untuk jadi pengusaha, kita memang harus berani mengambil resiko. Nggak ada bisnis yang bebas resiko, semuanya pasti ada resikonya, sekecil apa pun. Kondisi terburuk, saya bisa bangkrut dan kembali menjadi nol. Dan saya memilih mengambil resiko itu dengan pertimbangan sederhana; dulu saya mulai juga dari nol kok. Sebisa mungkin saya akan berusaha biar nggak kembali menjadi nol. Tapi kalau toh saya gagal, setidaknya saya sudah pernah mencapai satu posisi tertentu, dan itu saya lakukan tanpa pengalaman apapun. Pasti lebih mudah untuk bangkit dan mencapai posisi itu kembali dengan pengalaman yang sudah saya miliki sebelumnya. Jadi? Maju terus pantang munduuur…! :D

Januari 2004, majalah kedua saya –namanya GitarPlus- terbit. Secara konsep dan tampilan fisik, GitarPlus sebetulnya lebih bagus daripada G-Magz tapi dari sisi pemasaran, GitarPlus kalah jauh dibandingkan dengan G-Magz. Penjualannya jeblok banget! Tadinya saya berharap ada tambahan pemasukan dari iklan, tapi sayangnya di edisi-edisi awal belum ada pemasang iklan yang tertarik mempromosikan produknya di GitarPlus. Akibatnya, boro-boro untung, yang ada saya malah rugi terus. Tiap bulan saya terpaksa nombok Rp 5 sampai 7 juta-an. Bukan jumlah yang sangat besar, sebetulnya. Tapi buat pengusaha kecil-kecilan seperti saya, jumlah segitu cukup membuat keuangan perusahaan jadi megap-megap. Saya melakukan subsidi silang dengan cara membiayai sebagian pengeluaran GitarPlus memakai uang G-Magz (sejak awal saya memang memisahkan keuangan GitarPlus dengan G-Magz). Tapi sampai kapan bisa begini terus?

Kalau setiap bulan rata-rata saya rugi Rp 6 juta, dalam setahun setidaknya ‘membuang’ uang Rp 72 juta. Kalau orang lain mungkin sudah buru-buru menutup GitarPlus, tapi saya dan suami tidak. Kami berusaha terus membenahi GitarPlus dan memikirkan segala cara untuk membuatnya bisa tetap bertahan meski untuk itu selama tiga tahun pertama setiap tahun kami harus merelakan sebuah mobil ‘terbuang’. Iya dong, tiap tahun nombok Rp 72 juta, kalau dibeliin mobil kan seharusnya kami sudah punya tiga? Terlanjur nyebur, saya dan suami memutuskan basah sekalian. Meskipun terseok-seok dan nyungsep terus, kami nekat tetap menerbitkan GitarPlus –sambil terus melakukan pembenahan di sana sini. Kami yakin banget suatu saat GitarPlus pasti bisa menghasilkan keuntungan.

Di tahap ini saya sampai pada satu kesadaran baru tentang cara memaknai uang. Pada saat memutuskan untuk bermain dengan uang dan ingin membuat uang kita berkembang, kita harus berani mengambil resiko serta menerima apa pun konsekuensi yang harus dihadapi. Untung dan rugi dalam berbisnis adalah hal biasa. Kita cuma bisa berusaha sebaik-baiknya, tapi uang datang dan hilang tak sepenuhnya bisa kita kendalikan. Jadi santai dan mainkan saja. Jangan dijadikan beban dan nggak usah terlalu menyesali yang sudah lepas dari genggaman.

Saya belajar untuk nggak senang berlebihan pada saat sedang meraup untung besar dan sebaliknya nggak terlalu sedih kalau lagi apes, kehilangan banyak uang. Biasa-biasa saja. Mau lagi punya uang banyak ataupun lagi tongpes, saya juga berusaha tetap hidup sederhana dan nggak seenaknya memakai uang untuk hal-hal yang nggak jelas juntrungannya. Ini cara saya mengamankan diri biar kalau tiba-tiba ‘JAMILAH’ alias ‘JAtuh MIskin LAH yaw…‘, jatuhnya nggak sakit banget. Kalau tiba-tiba kaya sih nggak usah diantisipasi, saya pasti bisa segera menyesuaikan diri hehehe…