Kamis, 26 Februari 2009

JANGAN TAKUT UNTUK BERBAGI

Saya paling anti bilang nggak punya uang, seperti apa pun kondisi keuangan saya. Kebetulan sih saya memang nggak pernah bener-bener nggak punya uang. Inget, saya hobi nabung lho… :) Jadi, saya selalu punya uang di tabungan. Tapi kalaupun toh uang di tabungan saya sedang menipis (biasanya kalau habis saya kuras untuk membeli sesuatu), dan uang di dompet pun tinggal beberapa ribu, saya pantang banget bilang nggak punya uang. Kalau ada yang tanya, “Kamu punya uang?” Pasti saya jawab, “Punya.” Kalau memang uang yang saya punya sedikit, saya akan bilang, “Ada sih, tapi nggak banyak.”

Jangan dikira saya bisa ngomong begitu karena selalu banyak uang. Nggak juga. Saya pernah kok ngalamin yang namanya hidup pas-pasan, sampai rela berantem sama kondektur bis cuma gara-gara si kondektur ngasih uang kembaliannya kurang dua ratus perak :D Atau beli makan di warteg sebungkus dimakan berdua suami –yang saat itu masih berstatus pacar- untuk menghemat pengeluaran. Tapi dalam kondisi seperti itu pun saya pantang banget bilang nggak punya uang.

Kalau memang kita punya uang (biarpun sedikit), jangan pernah sekali-sekali bilang nggak punya. Bukannya saya sombong atau gengsinya gede. Nggak, sama sekali saya nggak bermaksud seperti itu. Saya cuma menerapkan pikiran positif dalam diri saya bahwa saya SELALU punya uang. Saya berharap, saya NGGAK PERNAH nggak punya uang. Dan kenyataannya saya memang jadi nggak pernah kekuarangan uang. Ada saja uang yang mengalir ke kantong saya dan saya selalu merasa cukup, berapapun jumlahnya. Sebaliknya, kalau kita terus-terusan merasa nggak punya uang, kita pasti akan selalu merasa kekurangan.

Pikiran bahwa saya selalu punya uang membuat saya lebih nyaman berbagi dengan orang lain. Saya nggak pernah takut membagi uang yang saya punya dengan orang lain, sepanjang orang tersebut memang betul-betul membutuhkan. Salah satu keajaiban uang yang saya tahu, semakin ketat kita memegang uang ternyata bukanlah jaminan bakal semakin cepat juga kita mengumpulkan banyak harta. Begitu juga sebaliknya. Kalau kita gampang mengeluarkan uang, belum tentu akan membuat kita makin cepat jatuh miskin –selama kita menggunakan uang tersebut untuk hal-hal yang baik. Apalagi untuk menolong orang lain. Berdasarkan pengalaman, biasanya saya justru memperoleh ganti yang jauh lebih besar daripada yang saya keluarkan untuk membantu sesama yang memerlukan. Tapi bukan berarti saya menolong orang karena berharap dapat gantinya yang lebih besar lho… :D

Uang yang kita miliki sebaiknya memang dibiarkan mengalir. Bukan berhenti di satu tempat saja; di kantong atau rekening pribadi kita. Dengan begitu uang jadi punya nilai lebih, jadi memberi manfaat untuk banyak orang. Kalau kita mampu membuat sedikit uang yang mampir ke tangan kita mengalir dan memberi manfaat untuk banyak orang, saya percaya akan lebih banyak lagi uang yang datang menghampiri kita. Sebaliknya, kalau kita nggak mau berbagi dan ingin menguasai sendiri uang yang kita miliki, rejeki yang kita dapat biasanya ya juga cuma segitu-segitu aja. Saya sudah membuktikan, uang jadi lebih membawa berkah, lebih benilai kalau digunakan untuk kepentingan banyak orang.

Tiga tahun terakhir ini, setiap hari saya menyediakan makan siang untuk seluruh karyawan di kantor saya, meskipun sebetulnya mereka sudah saya beri uang makan. Selain biar para karyawan nggak repot beli makanan untuk makan siang, saya pikir seru aja kalau satu kantor bisa makan sama-sama dengan menu yang sama, apa pun jabatannya. Di akhir bulan, saat uang di dompet mulai menipis, setidaknya karyawan saya nggak pusing mikirin makan siang. Udah terjamin, kecuali kalau mereka nggak suka menunya dan memilih makan di luar (tapi ini hampir nggak pernah terjadi, karena mereka pasti lebih milih yang gratisan doooong… Lagian kan masakan yang saya sediain nggak asal-asalan, soalnya saya juga setiap hari makan makanan itu... :p)

Setiap Sabtu, saya membuat menu masakan untuk seminggu lalu Mpok, salah seorang ART saya, belanja ke pasar untuk keperluan masak seminggu. Sebulan kurang lebih saya mengeluarkan uang sebesar Rp 1.800.000 untuk kegiatan masak memasak tersebut, sudah termasuk beras, gas, minyak goreng, kecap, terigu… pokoknya sudah semuanya deh. Dengan uang sejumlah itu, saya sudah menyediakan makan untuk 15 orang di kantor selama 5 hari kerja, Mpok bisa membawa pulang makanan untuk makan suami dan anak-anaknya di rumah (Mpok nggak nginep di rumah saya, cuma datang pagi pulang siang), dan masih ada sisa di lemari makan saya untuk makan Hugo –jagoan kecil saya- dan Mbak, ART saya yang menginap di rumah. Total makanan yang dimasak setiap hari adalah 21 porsi. Kalau dihitung-hitung, biaya masak saya sehari Rp 1.800.000 : 22 (hari kerja) = cuma Rp 82 ribuan!

“Masa sih? Aku aja masak buat sekeluarga yang cuma berlima sehari belanja Rp 35 ribu sampai Rp 40 ribu. Kamu masak apaan tuh?” tanya kakak saya heran.

“Ya, biasa… masakan rumah gitu. Setiap hari Mpok masak 3 menu, misalnya nih, Senin ; sayur lodeh, ikan kembung goreng, tempe goreng tepung, dan sambal terasi. Selasa : orak-arik buncis, telor balado, dan pepes tahu. Rabu : Sop, ayam goreng, bakwan jagung, kerupuk dan sambal… dan seterusnya gitu deh. Pokoknya dalam seminggu itu biasanya 2 hari menunya telor, 2 hari ikan, dan 1 hari ayam atau daging..”

“Cukup tuh 82 ribu buat makan 15 orang?”

“Kok 15 orang sih? 21 dong. Kan Mpok selalu bawa pulang makanan dan di rumah juga masih ada buat Hugo dan Mbak. Aku pulang kantor pun masih ada kok lauk untuk makan malam. Cukup-cukup aja tuh…” jawab saya yang kadang suka heran juga, uang sejumlah itu cukup untuk memberi makan sebegitu banyak orang. Tapi semua pengeluaran selalu saya catat di komputer kok…

Kenyataan itu membuat saya semakin percaya bahwa uang yang kita punya memang harus dibiarkan mengalir. Saya yakin, saya nggak bakal jatuh miskin gara-gara memberi makan orang banyak. Dan saya nggak akan jadi bangkrut karena berbagi rejeki dengan orang lain. Ketika uang berputar, kita nggak bisa seratus persen mengendalikannya. Ada faktor-faktor lain di luar kuasa kita yang membuat hitung-hitungan yang kita pakai nggak selamanya akurat. Jadi, jangan pernah takut berbagi karena justru dengan berbagi kita akan menerima lebih dan lebih banyak lagi...

Selasa, 24 Februari 2009

OGAH RUGI

Entah karena saya dan suami memang cocok berbisnis majalah, atau majalah yang kami buat memang bagus dan saat itu belum banyak kompetitor, atau Tuhan memang baik sekali sama kami berdua... nggak tahu deh. Yang jelas, majalah pertama kami (Guitar Magazine, disingkat G-Magz yang berisi chord-chord lagu) cukup laku di pasaran. Di edisi-edisi awal oplah majalah kami hanya 10.000 eksemplar dan lebih dari 90%-nya laku terjual. Artinya, returnya nggak sampai 10%. Padahal kalau majalah cuma laku 60% saja saya sudah balik modal.

Karena permintaan jatah majalah di agen bertambah, pelan-pelan saya menaikkan oplah majalah sampai pernah mencapai 50.000 eksemplar setiap edisi dan masih tetap laris manis. Akibatnya, dalam waktu singkat, keuangan perusahaan meningkat pesat. Tapi saya tetap berhati-hati memegang uang, nggak mau bersenang-senang dulu karena kondisi keuangan saya anggap belum cukup stabil. Biar uang di rekening menumpuk, saya tetap hidup biasa-biasa saja. Lagipula kan memang dari awal saya memisahkan mana uang kantor, mana uang rumah... :)

Kami pindah ke Bintaro saat masa sewa rumah di Mampang habis. Rumah mungil yang terdiri dari 2 kamar tidur itu langsung saya sulap jadi kantor merangkap rumah. Kamar di bagian depan untuk ruang kerja karyawan, sementara kamar yang satunya lagi jadi kamar tidur saya sekeluarga. Nggak ada kamar ART, makanya saya mempekerjakan ART yang datang pagi dan pulang menjelang sore setelah semua pekerjaannya selesai.

Rumah pertama yang merangkap kantor itu saya biarkan kosong melompong saat awal-awal saya menempatinya. Saya nggak buru-buru membeli segala macam perabotan rumah tangga untuk melengkapi rumah mungil itu meskipun sebetulnya saya sudah mampu membelinya. Belum saatnya. Lagipula, kalau majalah selesai dicetak di percetakkan dan diantar ke kantor untuk dipak sebelum didistribusikan ke agen-agen di seluruh Indonesia, rumah saya mendadak penuh sesak oleh majalah. Wah, nggak kebayang deh kalau perabotan di rumah saya sudah lengkap. Bisa-bisa rumah merangkap kantor itu nggak muat menampung semua majalah.

Selain karena alasan itu, saya juga menunda membeli perabotan karena buat saya barang-barang seperti meja makan, sofa, kursi tamu dan lain-lain bukanlah prioritas utama. Artinya, tanpa memiliki barang-barang yang saya sebutkan itu pun hidup saya masih nyaman-nyaman saja, nggak ada masalah. Saya ingat, saat itu saya punya 2 buah karpet andalan; yang satu saya gelar di ruang tamu dan satu lagi di ruang nonton teve merangkap ruang makan. Kalau ada tamu datang, si tamu saya persilakan duduk di karpet di ruang tamu. Kalau mau makan atau nonton teve, tinggal duduk di karpet yang ada di depan teve. Santai dan praktis!

Ih, apa nggak gengsi tuh sama tamunya? Untungnya sih saya nggak. Dari awal saya sudah menanamkan pada diri sendiri untuk membuang jauh-jauh yang namanya gengsi dan sejenisnya dari kamus hidup saya. Buat apa gengsi kalau pada kenyataannya kemampuan kita memang baru segitu? Buat apa malu-malu kalau pada saat itu keadaan memang membuat kita masih harus menahan diri, menahan keinginan-keinginan kita?

Bukan berarti saya nggak pengen punya rumah yang nyaman, dengan penataan interior yang apik dan indah dipandang mata. Saya rasa semua orang juga pengennya begitu. Tapi untuk mencapai suatu tahap tertentu di dalam hidup kadang kita harus belajar bersabar dan menikmati semua proses yang harus kita lewati. Saya yakin, kalau saya tetap konsisten mengelola uang dengan bijak, akan ada saatnya saya bisa melewati semua proses dan keadaan yang penuh dengan keterbatasan. Dan saat ini saya sungguh bersyukur karena diberi kesempatan untuk melewati proses berliku itu sebelum mencapai posisi saya sekarang karena perjalanan itu ternyata telah membentuk mental saya menjadi lebih kuat dan memberi saya pengalaman hidup yang lebih ‘kaya’, lebih berwarna.

Kembali ke soal uang perusahaan ya... Saat uang di rekening perusahaan makin banyak, saya dan suami pelan-pelan berbenah membeli tambahan komputer, AC, meja, kursi kantor, rak-rak dan laci-laci penyimpanan berkas-berkas kantor. Setelah itu, barulah kami memutuskan membeli mobil untuk kendaraan operasional perusahaan dengan cara kredit.

Mobil pertama saya Kijang kapsul tipe LSX warna silver. Saat saya membelinya tahun 2003, harganya kurang lebih Rp 140 jutaan. Saya membandingkan ke beberapa dealer dulu sebelum memutuskan membeli mobil itu di salah satu dealer. Kurang kerjaan? Mungkin iya. Tapi pengalaman itu membuat saya tahu satu hal; harga mobil di semua dealer (sepanjang masih berada di satu kota) memang sama, tapi masing-masing dealer punya kebijakan berbeda soal diskon. Nggak tanggung-tanggung, beda diskon antara satu dealer dengan dealer lain bisa sampai 3 jutaan lho!

Saya juga suka iseng menghitung-hitung total uang yang harus saya keluarkan kalau saya memakai perusahaan leasing A atau perusahaan leasing B. Ternyata, meskipun bunga kreditnya mirip-mirip, hitungan antar satu leasing dengan leasing lain bisa mempengaruhi total jumlah uang yang akhirnya harus saya bayarkan, meskipun selisihnya mungkin nggak sampai juta-jutaan.

Saya nggak tahu, apa di dunia ini banyak orang yang sekurang kerjaan saya, tapi saya memang senang membanding-bandingkan harga sebelum membeli sesuatu dan puas banget kalau bisa dapat harga yang lebih murah. Beli minyak goreng di pasar saja saya senang kok kalau bisa dapat barang yang sama dengan harga lebih murah (meskipun selisih harganya mungkin hanya beberapa ribu rupiah), apalagi beli mobil yang selisih harganya sampai beberapa juta rupiah. Kakak saya bilang, saya orangnya ogah rugi. Biarin aja, kalau memang bisa untung ngapain milih rugi? Lagian memangnya ada orang yang senangnya rugi? :p

Minggu, 08 Februari 2009

MANAJEMEN KAKI LIMA

Punya usaha sendiri bikin saya otomatis punya ‘lahan baru’ untuk bermain-main dengan uang. Kalau tadinya saya hanya berkutat mengelola uang kecil (keuangan rumah tangga), sejak punya usaha baru saya belajar mengelola uang besar (keuangan perusahaan). Ini tantangan tersendiri buat saya yang saat itu bahkan belum bisa mengoperasikan program Microsoft Excel.

Saya belajar dari nol tentang tata cara mengelola keuangan perusahaan. Saya nggak mengerti teori-teori keuangan, nggak paham istilah-istilah rumit yang berhubungan dengan keuangan, dan nggak mengikuti saran ahli keuangan manapun. Saya hanya meneruskan kebiasaan lama yang sudah lebih dulu saya terapkan di keuangan rumah tangga saya; mencatat semua pemasukkan dan pengeluaran setiap harinya. Saya hanya mengikuti naluri semata.

Waktu Pak J tanya berapa modal yang saya butuhkan untuk memulai usaha penerbitan majalah, saya jawab Rp 100 juta dengan perhitungan 1 kali majalah terbit biaya operasional yang dibutuhkan Rp 30 jutaan. Saya kalikan 3 karena sistem penjualan yang berlaku di agen majalah adalah titip jual dengan sistem konsinyasi. Jadi, saya menitipkan majalah ke agen untuk dijual tanpa jaminan apapun, cuma bermodalkan kepercayaan. Setelah terbit majalah edisi kedua, barulah agen akan membayarkan hasil penjualan majalah edisi pertama yang laku (dipotong retur).

Tapi pada kenyataan di lapangan, ada saja agen ‘nakal’ yang susah ditagih. Setelah terbit majalah edisi ketiga atau keempat, agen tersebut baru mau membayarkan hasil penjualan majalah pertama. Keberatan dengan sistem seperti itu? Siap-siap ajak dibentak agen, “Nggak usah titip ke kita, emang majalah cuma punya lo aja?!”

Agen memang yang suka lebih galak daripada penerbit. Apalagi saya pemain baru yang nggak bernaung di bawah grup besar. Agen biasanya lebih segan kepada penerbit besar (yang menerbitkan banyak majalah sekaligus) atau penerbit yang sudah lama berkecimpung di bidang ini. Saya perlu dana aman minimal 3 kali biaya operasional agar pada saat majalah edisi pertama belum semuanya dibayarkan oleh agen, saya masih punya cukup ‘nafas’ untuk menerbitkan majalah berikutnya.

Ternyata saya akhirnya cuma punya modal Rp 80 juta. Cukup nggak ya Rp 80 juta untuk modal merintis penerbitan dan pendistribusian majalah? Sedangkan biaya bikin Perseroan Terbatas (PT) jaman segitu saja sudah kurang lebih Rp 6 juta sendiri. Belum harus beli komputer, printer, meja, kursi, dan peralatan kantor lainnya. Akhirnya kembali lagi ke topik yang pernah saya buat di tulisan sebelumnya; berapa pun jumlahnya, kalau dicukup-cukupin ya cukup aja. Saya percaya banget, dalam hal memegang uang yang terpenting bukanlah berapa besar uang yang kita miliki, tapi bagaimana mengelola dan memanfaatkannya (ini kalimat andalan saya banget :p). Untungnya, selama ini saya udah cukup teruji dalam hal mencukup-cukupkan uang. Jadi udah nggak kaget kalau harus bikin usaha dengan modal pas-pasan.

Dengan Rp 80 juta, saya jungkir balik berhemat di sana-sini agar jumlah segitu bisa dipakai menghidupi perusahaan sepanjang mungkin. Salah satu bentuk penghematan, di awal usaha, majalah saya hanya dikerjakan oleh 4 orang; 1 orang desainer grafis, 1 orang redaksi yang bertugas membuat chord-chord lagu, lalu sisa pekerjaan lainnya saya kerjakan berdua suami. Saya juga nggak menyewa kantor, tapi berkantor di ruang tamu rumah petak kontrakkan saya yang nggak cuma sempit, tapi juga terletak di gank kecil di sebuah pemukiman padat penduduk di daerah Mampang, Jakarta Selatan. Sebetulnya saat memulai usaha saya sudah punya rumah di Bintaro, tapi karena membeli dengan sistem indent, rumah tersebut belum selesai dibangun.

Beruntung, saat itu saya dan suami punya kenalan pemilik percetakan yang bersedia memberi keringanan, mencetak majalah kami dengan sistem pembayaran mundur 1 bulan. Jadi, kami boleh mencetak majalah pertama dengan jaminan kepercayaan saja. Setelah majalah edisi kedua siap dicetak lagi, barulah kami melunasi biaya cetak majalah edisi pertama. Pihak ekspedisi yang membantu mengirimkan majalah ke agen-agen kami di seluruh Indonesia juga memberi keringanan serupa sehingga saya bisa sedikit bernafas lega.

Waktu itu saya dan suami nggak pernah mikir macam-macam, pokoknya maju dan hajar bleh aja! Terserah di depan nanti seperti apa, yang penting kita menghadapi yang sudah ada di depan mata duluan. Saat memulai usaha, kami bahkan nggak punya kendaraan operasional. Saya dan suami keliling ke agen-agen di seluruh penjuru Jakarta, ke percetakan, ke toko kertas, dan ke perusahaan-perusahaan rekaman untuk menjalin kerja sama dengan mengendarai sepeda motor butut.. :))

Dari awal saya memisahkan keuangan perusahaan dan keuangan rumah tangga. Supaya nggak semena-mena memakai uang perusahaan untuk kebutuhan rumah tangga, saya memberlakukan sistem gaji untuk saya sendiri dan suami. Jadi, kami masing-masing digaji sekian juta dan dari gaji itulah saya memenuhi kebutuhan rumah tangga kami sehari-hari. Kalau uang gaji habis, saya nggak mau mengutak-atik uang kantor untuk keperluan pribadi. Kalau kepepet banget? Saya pinjam dulu uang kantor, nanti setelah gajian saya kembalikan lagi. Tapi ini jarang banget terjadi karena sejak sebelum mengelola keuangan perusahaan, saya sudah biasa disiplin memegang dan menggunakan uang.

Setiap akhir bulan, saya menghitung berapa pengeluaran dan pemasukkan selama satu bulan tersebut. Dengan sederhana saya menganggap kalau pengeluarannya lebih besar dari pemasukan, berarti saya rugi. Tapi kalau pemasukkan lebih besar daripada pengeluaran, berarti saya untung. Saya nggak ngerti istilah-istilah akuntansi seperti penyusutan atau apalah namanya. Dengan cara seperti itulah saya mengembangkan usaha dari hanya menerbitkan 1 majalah menjadi 4, bahkan sempat 5 (tapi yang satu terpaksa berhenti terbit karena situasi dan kondisi nggak mendukung).

Saya menyebut manajemen keuangan perusahaan saya manajemen kaki lima :D

Kamis, 05 Februari 2009

BIKIN USAHA SENDIRI

Saya cerita dulu tentang awal mula saya bisa punya usaha sendiri yaaa...

Setelah Hugo -jagoan kecil saya- lahir, saya memutuskan berhenti kerja kantoran. Dari awal nikah saya dan suami memang hidup mandiri. Ngontrak rumah petak mungil di sebuah gank sempit di daerah Mampang Jakarta Selatan, jauh dari orang tua maupun mertua (orang tua saya tinggal di Bandung, sementara mertua di Medan). Jadi, nggak ada ceritanya bisa nitip-nitipin anak ke orang tua, apalagi mertua. Dan saya ngerasa nggak rela banget ninggalin Hugo yang baru berumur beberapa bulan cuma berdua ART di rumah.

Waktu saya pamit untuk berhenti kerja, bos saya (Pak JH yang pernah saya ceritain itu lho...) keliatan agak keberatan karena -kata dia nih- susah cari orang kayak saya. Perasaan sih saya nggak melakukan hal yang istimewa selama kerja sama dia. Tapi memang kalau dikasih tanggung jawab saya selalu berusaha mengerjakan sebaik-baiknya dan sesegera mungkin. Saya juga nggak itung-itungan soal kerjaan. Padahal kerjaan saya campur aduk segala rupa.

Kalau Pak JH dapat order bikin majalah untuk kalangan terbatas, saya yang menangani semua dari mulai presentasi ke klien sampai mewujudkannya jadi sebuah majalah(ada yang bantuin sih, tapi ide dan konsepnya dari saya). Kalau Pak JH lagi punya proyek ngerjain sebuah event, ritme saya tambah ancur-ancuran. Baru pulang kerja jam 7 malam, tiba-tiba jam 9 malam sopirnya Pak JH nongol di depan rumah untuk jemput saya balik ke kantor karena si bos butuh bantuan, dengan senang hati saya berangkat lagi.

Ibaratnya, Pak JH tinggal bilang ke saya kalau dia -contoh aja nih- pengen bikin toko roti. Nanti saya deh yang jumpalitan mikirin itu toko mau dibikin di daerah mana, bentuk tokonya kayak apa, roti apa aja yang dijual, ngerekrut tukang bikin rotinya, dan gimana caranya biar roti yang dijual di toko itu laku. Pak JH tinggal tahu beres dan terima laporan aja, atau sekali-sekali ngasih saran dan masukkan kalau saya lagi mentok kehabisan ide. Saya juga nggak pernah ribut soal gaji meskipun gaji saya nggak besar-besar amat. Saya senang kerja sama Pak JH karena di tempatnya saya bisa belajar banyak hal dan Pak JH juga nggak pernah pelit bagi-bagi ilmu ke saya.

Waktu akhirnya saya beneran resign, Pak JH bilang saya boleh balik kerja lagi kapan aja saya mau. Saya bilang, "Tapi sekarang prioritas saya udah berubah, Pak. Saya udah punya anak, nggak mau lagi kerja siang malam nggak kenal waktu kayak kemaren karena pengen kasih banyak perhatian buat anak."

Kata Pak JH, "Jadi kamu mau di rumah terus? Wah, sayang lho orang kayak kamu kalau nggak kerja. Kamu tuh pinter..." (Saya lupa, waktu itu hidung saya kembang kempis karena GR apa nggak ya pas si bos bilang begitu... :p)

"Saya sama suami pengen coba bikin usaha sendiri, Pak," jawab saya. Pak JH kenal juga sama suami saya karena dulunya suami juga kerja di kantor Pak JH. Dan meskipun sekarang udah kerja di tempat lain, tapi suami masih suka diminta bantu ngerjain proyek-proyek desain.

Pak JH nanya saya pengen bikin usaha apa, dan saya langsung cerita kalau udah lama saya sama suami pengen banget punya majalah sendiri. Kami bahkan udah punya konsep majalahnya, udah ngitung-ngitung cash flow, apa-apa aja yang dibutuhkan, bagaimana memulai dan menjalankan usaha itu... pokoknya udah siap semua kecuali MODAL. Iya, tragis sekali... Impian indah kami untuk bikin majalah sendiri selama ini kandas gara-gara terbentur modal!

"Emang kalau bikin majalah modalnya berapa sih?" tanya Pak JH.

Saya jawab kurang lebih Rp 100 jutaan. Dan, OMG, tanpa ba bi bu Pak JH langsung setuju untuk memodali usaha saya. Mungkin buat Pak JH yang kaya raya, uang segitu nggak ada apa-apanya. Tapi buat saya? Duh, sampai di rumah saya langsung jingkrak-jingkrak sambil peluk-pelukkan sama suami saking senangnya. Horeeee... akhirnya kami punya modal untuk bikin usaha!

Akhirnya total uang tunai yang dikasih Pak JH untuk modal awal usaha saya nggak sampai Rp 100 juta, cuma kurang lebih Rp 80 juta. Tapi buat saya itu juga udah banyak dan luar biasa banget.

Suatu hari, waktu main ke rumah Pak JH saya sempat tanya, "Kok Bapak percaya amat ngasih modal segitu besar untuk saya?"

Dengan santainya Pak JH jawab, "Saya cuma pengen kasih kesempatan kamu untuk maju. Kalau kamu sukses saya ikut senang, tapi kalau nggak berhasil ya udah. Setidaknya kamu sudah pernah diberi kesempatan untuk mencoba. Tapi kalau gagal, saya nggak akan pernah memberi kamu kesempatan kedua. Makanya, kamu harus berusaha gimana caranya biar jangan sampai gagal."

Duh, saya sampai mau nangis saking terharunya. Sampai detik ini saya nggak pernah bisa melupakan kebaikan Pak JH sama saya. Saya hutang budi sama dia. Kalau bukan karena diberi kesempatan oleh Pak JH, barangkali saya nggak akan pernah melangkah sampai sejauh ini.

Selasa, 03 Februari 2009

CERITA RUMAH PERTAMA

Masih cerita tentang perjuangan memiliki rumah pertama nih. Jilid duanya gitu lho... :)

Tahun 2002, bunga bank turun. Logikanya bunga KPR saya ikut turun dong… (dan berarti cicilan juga turun). Lama ditunggu, kok bunga KPR saya tetap 20%, padahal bank lain sudah ada yang menawarkan KPR dengan bunga 18%. Waktu saya tanya ke bank tempat saya mengambil fasilitas KPR, jawab CS-nya, “Kalau bunga bank turun, bunga KPR nggak langsung ikut turun. Ibu coba saja menulis surat permohonan penurunan bunga KPR, nanti saya sampaikan ke atasan saya.”

Wah, kok enak di mereka, rugi di saya? Giliran bunga naik, seketika itu juga bunga KPR ikutan naik (kecuali yang flat 1 tahun dan belum melewati masa 1 tahunnya). Tapi begitu bunga bank turun, nasabah harus bikin surat permohonan untuk minta bunga KPR diturunkan.

Kebetulan waktu itu ada bank lain sedang promo dengan memberikan bunga KPR 16% untuk flat 1 tahun dan bebas biaya administrasi untuk KPR pindahan dari bank lain. Saya langsung sibuk berhitung untung ruginya, dengan hasil akhir saya memindahkan KPR ke bank tersebut. Memang, ada juga sih biaya yang harus saya keluarkan, tapi nggak banyak. Proses pindahnya juga agak repot, seperti pertama kali mengajukan permohonan KPR. Tapi saya selalu rela kok repot-repot begini, sepanjang itu membuat pengeluaran bulanan saya berkurang… :p

Kelihatannya kurang kerjaan banget. Tapi beneran, saya rajin memantau promo yang ditawarkan berbagai bank. Kalau tawaran di satu bank lebih menguntungkan, saya nggak ragu-ragu pindah KPR atau memanfaatkan fasilitas lain yang ditawarkan (misalnya pinjaman dengan bunga rendah, tapi ini selalu saya gunakan untuk menutupi kebutuhan yang sifatnya produktif). Hasilnya, dengan sistem 'tambal sulam' begitu saya bisa punya 4 majalah, beberapa rumah, tanah, dan beberapa mobil (Ceritanya di tulisan saya berikutnya)

Oh ya, saat itu saya punya tabungan sekitar Rp 10 juta yang lalu saya pakai untuk melunasi sebagian pinjaman. Efeknya luar biasa, dengan jumlah cicilan yang sama, jangka waktu KPR saya jadi lebih cepat sekitar satu tahun lebih (saya lupa berapa pasnya). Hemat banget tuh! Jadi, kalau tadinya saya harus nyicil selama 10 tahun, setelah pindah bank dan dilunasi sebagian, cicilan saya berkurang sekitar setahunan, jadi nggak sampai 9 tahun. Setelah itu, setiap ada rejeki lebih, saya pakai untuk melunasi sebagian hutang biar cicilan rumah cepat lunas.

Tapi kenyataanya, pernah juga rumah yang seharusnya sudah hampir lunas saya 'sekolahin' alias digadaikan lagi ke bank waktu saya butuh tambahan modal untuk mengembangkan usaha (Sabar, nanti saya ceritain di tulisan saya berikutnya ya... :p) Inilah untungnya punya rumah sendiri. Selain bisa langsung ditempati, saat kita butuh dana segar, rumah bisa digadaikan ke bank dengan nilai yang makin naik setiap tahunnya (beda dengan menggadaikan mobil yang tiap tahun malah turun nilainya).

Karena itu, pada saat akan membeli rumah, kita harus jeli memperhitungkan nilai investasinya. Saya sendiri memilih membeli rumah di komplek perumahan yang pengembangnya sudah terkenal reputasinya dan terletak di lingkungan yang masih terus berkembang. Lebih mahal memang dibandingkan rumah-rumah lain di komplek perumahan yang bertetanggaan dengan tempat tinggal saya, tapi peningkatan nilai investasinya juga berbeda. Jadi, selain faktor keamanan dan kenyamanan, hal yang menjadi perhatian saya saat membeli rumah adalah bagaimanakah nilai rumah saya beberapa tahun ke depan? Apakah ada peningkatan harga yang signifikan mengingat setiap tahun nilai uang kita berkejar-kejaran dengan laju inflasi? Belakangan saya juga baru tahu kalau bank ternyata lebih mudah memberikan pinjaman dengan agunan rumah yang jalanan di depannya muat dilewati dua mobil.

Nggak terasa (sebenernya terasa juga sih, cuma nggak dirasa-rasain :p) Oktober ’09 ini cicilan rumah saya lunas. Nggak rugi deh saya jungkir balik beli rumah ini karena sekarang harga pasarannya sudah sekitar Rp 400 juta-an, padahal tahun 2001 dulu belinya Rp 181 juta-an. Saya pikir-pikir, kalau dulu saya nggak nekad beli rumah ini, mungkin sampai sekarang pun saya belum punya rumah sendiri. Jadi, beli rumah itu memang harus niat dan nekad. Ayo siapa yang mau ikutan nekad? :D

PERJUANGAN MEMBELI RUMAH PERTAMA

Setelah berhasil membiasakan diri untuk disiplin menabung, saya mulai kepikiran untuk bisa punya rumah sendiri. Dari awal nikah, saya dan suami memang sudah sepakat kalau yang harus kami miliki pertama kali adalah rumah, bukan mobil. Soalnya kalau sudah punya rumah sendiri kan tenang, ada tempat berteduh dan nggak pusing pindah-pindah kontrakan. Lagian dari segi investasi juga lebih menguntungkan. Jarang banget denger ada harga rumah turun, sementara kalau mobil baru, begitu keluar dari show room aja harganya langsung jatuh...

Tahun 2001 akhir, saya dan suami naksir rumah di Bintaro (LT/LB 96 m2/50m2) seharga Rp 181 juta-an. Dengan DP 30%, saya harus siap uang muka Rp 54 juta (belum termasuk biaya akad kredit, asuransi, dan surat-surat) dan bersiap terikat cicilan 10 tahun sebesar Rp 2,1 juta-an dengan asumsi bunga KPR 20% setahun. Waktu itu bunga KPR memang masih tinggi.

Awalnya saya pikir mustahil banget saya bisa beli rumah itu, dengan cara KPR sekalipun. Gaji kami berdua cuma Rp 3 juta sebulan. Nggak masuk akal kan kalau yang Rp 2,1 juta-nya harus disisihkan untuk mengangsur cicilan? Sepuluh tahun lagi! Tapi berdasarkan banyak pengalaman sebelumnya, dimana saya selalu berhasil lolos dari 'lubang semut' (hidup dengan gaji pas-pasan tapi nggak pernah kekurangan dan selalu berhasil menyisihkan sebagian untuk ditabung), saya dan suami nekad mengambil rumah itu. Kebetulan saya sudah punya tabungan Rp 30 juta-an dan DP bisa dicicil sampai 3 kali (3 bulan). Saya percaya, kalau niat kami baik dan mau kerja keras mewujudkan impian, pasti akan ada saja jalannya.

Untuk menutup DP dan biaya surat-surat, kami bekerja lebih keras dan mati-matian mengencangkan ikat pinggang. Saya jadi lebih rajin bikin cerpen dan artikel untuk dikirim ke majalah serta tulisan-tulisan lain yang menghasilkan uang. Suami juga lebih sigap menangkap side job berupa proyek-proyek desain. Ajaibnya, begitu kami mantap membeli rumah, rejeki mengalir seperti air. Ada saja job yang mampir, sehingga dalam waktu relatif singkat kami bisa mengumpulkan uang untuk membayar DP dan biaya surat-surat.

Lega? Belum.. Ternyata permohonan KPR kami ditolak bank. Bank memang punya penilaian sendiri sebelum setuju untuk memberikan fasilitas KPR kepada seseorang. Dan kami dianggap kurang memenuhi syarat (hitung-hitungannya, maksimal cicilan nggak boleh lebih dari 1/3 gaji). Saya langsung pindah ke bank lain, tapi karena dimana-mana kebijakan bank mirip-mirip, lagi-lagi saya menemui kendala.

Akhirnya ada juga bank yang mau memberi kredit, tapi cuma Rp 100 juta. Itu artinya kami harus punya uang Rp 27 juta-an lagi untuk menutup kekurangan DP. Buat kami, uang segitu bukan jumlah yang sedikit. Pusing banget, karena saat itu kami jadi berada di posisi maju kena mundur kena. Kalau mau diterusin, nggak punya duit. Dibatalin, kami bakal kena denda dari pihak pengembang yang jumlahnya juga nggak sedikit (kalo nggak salah sekitar 20% dari uang yang sudah kami bayarkan). Lumayan gede kan?

Berbekal surat persetujuan kredit dari bank (yang cuma mau ngasih kredit Rp 100 juta itu), saya dan suami datang ke kantor pemasaran perumahan yang akan kami beli dan minta keringanan untuk mencicil kekurangan DP yang Rp 27 juta. Akhirnya kami diberi tempo 3 bulan –yang akhirnya molor jadi 5 bulan :p- untuk melunasi Rp 27 juta itu… Yuk mari, kerja keras lagiiii… Syukurlah, akhirnya kami berhasil menutup kekurangan DP meski siang malam jadi harus banting tulang hahaha…

Setelah dijalani, mengangsur rumah Rp 1,8 juta sebulan (iya, jadi 1,8 juta karena DP-nya saya tambah Rp 27 juta) ternyata nggak bikin saya sengsara-sengsara amat. Memang sih saya jadi harus sangat berhemat, apalagi saya sempat berhenti kerja setelah putra saya lahir. Untunglah suami selalu punya penghasilan tambahan dari side job dan saya punya kemampuan menulis yang bisa menghasilkan uang.

Yah, memang selalu ada harga yang harus dibayar untuk memperoleh sesuatu yang kita inginkan. Meskipun perjuangannya berat dan saya masih harus mencicil selama sekian tahun, setidaknya saya sudah berhasil punya rumah sendiri. Buat saya itu sebuah pencapaian besar yang patut disyukuri... :-)

Senin, 02 Februari 2009

CUKUP NGGAK CUKUP

Seorang teman berkeluh kesah karena penghasilannya nggak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Terlepas dari berapa besar penghasilannya, sebelumnya saya pengen tanya, "Nggak cukup buat apa dulu nih?"

Menurut saya, cukup atau nggaknya sejumlah uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebetulnya sangat tergantung dari bagaimana kita mengelola dan memanfaatkannya. Kalau gaji kita katakanlah Rp 3 juta, ya jangan nekat tiap minggu beli baju yang sepotong harganya ratusan ribu.

"Habis, saya suka banget sih sama baju merk itu. Biarpun mahal, tapi dipakenya enak dan awet."

Memang bener sih, kan ada harga ada rupa. Tapi kalau kantong masih cekak, harus sadar diri dong.. Sekali-sekali beli boleh aja, tapi kalau tiap beli baju maunya yang merk itu repot juga urusannya. Atau, sudah tahu gaji cuma segitu-segitunya (maksudnya nggak punya penghasilan tambahan di luar gaji), ya nggak usah iseng menetapkan standar hidup dengan pengeluaran yang melebihi gaji yang kita punya. Kecuali kalau mau menanggung resiko sakit kepala setiap menjelang tanggal tua... :-)

Bicara tentang cukup nggak cukupnya penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup, saya kenal dua orang yang pengalaman keuangannya mungkin bisa dijadikan contoh.

Contoh pertama adalah seorang manajer di sebuah perusahaan dengan gaji tak kurang dari Rp 25 juta sebulan. Buat saya uang segitu cukup besar. Tapi herannya, dia masih sering berkeluh kesah kekurangan uang. Lah, emang gajinya dikemanain aja?

Setelah saya perhatikan gaya hidupnya, barulah saya tahu kenapa uang RP 25 juta nggak pernah cukup buat dia. Kedua anaknya bersekolah di sebuah sekolah internasional yang SPP bulanannya Rp 4 juta per anak. Kalau 2 orang sudah Rp 8 juta sendiri buat uang sekolah anak doang. Belum bayar mobil antar jemput ke sekolah, les ini dan kursus itu. Untuk sekolah dan kursus anak saja ia sudah harus menyediakan dana Rp 10-12 juta setiap bulannya. Sudah hampir setengah gajinya sendiri.

Selain itu, di rumahnya ia menggaji 2 ART (Asisten Rumah Tangga) dan seorang sopir, tapi anak istrinya lebih suka jajan di luar daripada makan masakan ART di rumah. Sudah bisa bayangin kan kemana aja larinya uang si bapak ini? Itu belum termasuk anggaran untuk biaya hidup sehari-hari, beli baju, mainan, rekreasi. Padahal saya lihat keluarga ini sangat rajin jalan-jalan, entah sekadar ke mall, ke luar kota, atau melancong ke luar negeri. Jelas aja tiap akhir bulan si bapak pusing tujuh keliling, delapan tanjakan, dan masih ditambah dua belas lampu merah lagi hehehe...

Contoh kedua adalah seorang ibu yang sehari-hari kerjanya berjualan jeruk purut, daun sirih, gambir dan sejenisnya di salah satu sudut Pasar Senen, Jakarta Pusat. Suaminya meninggal saat anak pertamanya masih duduk di bangku SD. Padahal dia punya 3 orang anak.

Dengan dagangan yang rata-rata terjual 3-4 tampah sehari, kita bisa mengira-ngira sendiri paling berapa sih penghasilannya. Tapi si ibu ini berhasil membesarkan dan menyekolahkan ketiga anaknya dengan layak sampai jadi Sarjana. Ia juga memiliki 3 buah rumah (meski bukan terletak di komplek perumahan yang mewah), tanah beberapa ratus meter, dan sebuah kios. Salah 1 rumah ia tempati sendiri bersama ketiga anaknya, sementara 2 rumahnya yang lain dikontrakkan dan sampai saat ini si ibu masih setia berjualan di Pasar Senen.

Kalau gitu, jadi sebetulnya berapa dong uang yang cukup buat membiayai hidup kita sehari-hari? Ya, balik lagi ke kitanya. Menurut saya, kalau dicukup-cukupin, uang sejuta pun bisa cukup untuk hidup sebulan. Tapi kalau mikirnya nggak cukup terus, punya Rp 50 juta juga tetep aja nggak cukup. Yang pasti, kita memang harus bijak memilah-milah pengeluaran kita; mana yang penting dan nggak penting, mana yang masuk dalam kelompok kebutuhan dan mana yang hanya sekadar keinginan. Kalau uang yang kita punya cuma cukup buat makan pakai tahu tempe, ya nggak usah maksa makan daging tiap hari. Tapi kalau udah punya 'pohon uang', mau tiap hari pulang pergi Jakarta-Bali cuma sekadar untuk makan siang silakan aja. Jangan lupa sekali-sekali ngajak saya yaaa... :_D

CATATAN KEUANGAN

*tulisan saya yang satu ini pernah dimuat di rubrik Gado-Gado Majalah Femina edisi 41/Oktober 2008

Sejak awal menikah, suami menyerahkan sepenuhnya pengaturan keuangan keluarga pada saya. Untuk memudahkan mengontrolnya, setiap hari saya mencatat semua pengeluaran –sekecil apapun- di buku catatan khusus. Mulai dari belanja sayuran, ikan, gula, beras, bensin, bayar parkir, listrik, telepon, PAM, sampai membeli perabot atau baju baru semua saya catat. Karena sudah kebiasaan, mencatat pengeluaran sehari-hari buat saya sama sekali nggak jadi beban. Saya senang-senang saja melakukannya, seperti mengisi buku harian.

Waktu kemudian saya bisa mengoperasikan program Microsoft Excel di komputer, catatan keuangan saya makin rapi dan akurat. Saya nggak perlu repot-repot beli buku untuk mencatat atau sibuk mencari kalkulator untuk menghitung berapa pengeluaran bulan ini.

“Kurang kerjaan amat?” komentar kakak saya waktu tahu kebiasaan saya yang satu itu. Saya cuma nyengir kuda, tapi maju terus pantang mundur. Dibilang kecanduan, kok kedengarannya aneh. Masa kecanduan mencatat pengeluaran harian? Hahaha…

Tapi buat saya kegiatan ini jelas terasa manfaatnya. Dengan rutin mencatat setiap pengeluaran, saya jadi tahu berapa biaya hidup rata-rata yang saya habiskan setiap bulan sehingga saya bisa menyusun dan merencanakan anggarannya. Semua pengeluaran rutin saya buat posnya masing-masing. Untuk bayar listrik sekian, bayar telepon sekian, belanja bulanan sekian, transport sekian, rekreasi sekian, tabungan sekian. Bahkan untuk sumbangan sosial pun ada. Jadi, bukan berarti kalau semua dicatat, saya jadi pelit setengah mati. Wah, nggak tuh. Saya masih tetap bisa bersenang-senang menikmati hidup, menabung untuk masa depan, tapi juga nggak lupa menyisihkan rejeki untuk sesama yang membutuhkan.

“Ya iyalah, semua orang juga pengennya begitu kalau gajinya besar,” ujar salah seorang teman.

Jangan salah! Saat menikah tahun 2001, gaji suami kurang lebih Rp 2.000.000 sedangkan saya Rp 1.000.000. Saya bisa hidup dengan cukup leluasa –artinya nggak prihatin-prihatin amat tapi juga nggak foya-foya banget- dengan Rp 2.000.000 sampai Rp 2.500.000 sebulan. Sisanya saya tabung untuk keperluan mendadak di luar pengeluaran rutin dan nggak pernah dikutak-katik untuk hal-hal yang bersifat komsutif. Nggak percaya? Saya masih punya kok catatannya sampai sekarang.

Saat ini penghasilan saya dan suami sudah meningkat jauh dari awal menikah dulu, tapi kebiasaan mencatat semua pengeluaran masih setia saya lakukan. Jadi, kalau ada yang tanya berapa harga sofa, kulkas, mesin cuci atau lemari pakaian di rumah saat saya membelinya dulu, saya bisa menjawab dengan tepat, lengkap dengan uang tips yang saya berikan untuk orang yang mengantar barang itu ke rumah. Begitu juga biaya bersalin, uang muka rumah, biaya pendaftaran sekolah anak, tahun berapa mulai ikut asuransi pendidikkan anak, sampai berapa bulan lagi angsuran mobil lunas, saya tahu semuanya detil –cukup dengan melihat catatan keuangan.

Kadang kalau sedang iseng buka-buka catatan lama, saya dan suami suka heran campur geli melihat perbedaan harga dulu dan sekarang. Di bulan April 2002, misalnya, harga ½ kg ikan kembung (isi 4-5 ekor) masih Rp 4.000, bayam Rp 500 seikat, tempe (kira-kira bisa dipotong 10 ukuran sedang) Rp 1.000 dan bumbu-bumbu (bawang merah, bawang putih, cabai merah, tomat) Rp 2.000 Dengan modal Rp 8.000 saya bisa belanja untuk dua kali makan berdua suami dengan menu sederhana yang cukup sehat bergizi. Sekarang mana dapat dengan uang segitu?

Saat itu telur ayam 1 kg masih Rp 8.000 sekarang sudah naik dua kali lipatnya. Minyak goreng Rp 5.150 seliter, sekarang melambung jadi Rp 13.000 dengan merk yang sama. Gas isi 12 kg masih Rp 26.500 sekarang sudah mencapai Rp 75.000,- Beli bensin sepeda motor Rp 5.000 sudah full tank, sekarang untuk jumlah yang sama harus membayar sebesar Rp 20.000. Aqua waktu itu Rp 2.500 satu galon,- sekarang sudah Rp 11.000,- di warung dekat rumah saya. Masih banyak perbedaan harga dulu dan sekarang yang berhasil saya catat, yang nggak mungkin saya tulis satu per satu di sini. Diam-diam saya sudah ikut mencatat sejarah kan hahaha...

Saya memang bukan ahli keuangan dan nggak pernah kursus atau sekolah yang berhubungan dengan keuangan. Tapi saya memetik satu pengalaman berharga dengan rutin melakukan hal yang kelihatannya sederhana itu, yakni saya jadi lebih disiplin dan hati-hati dalam mengeluarkan uang. Sampai saat ini saya percaya bahwa dalam hal memegang uang yang terpenting bukanlah berapa besar uang yang kita miliki, tapi bagaimana cara kita mengelola dan memanfaatkannya.

SETIA PADA HAL KECIL

Ini salah satu prinsip saya dalam mengelola uang. Sebelum memegang uang dalam jumlah besar, kita harus lebih dulu belajar menghargai uang kecil. Soalnya kita nggak akan bisa menabung sejuta atau seratus juta kalau nggak pernah mulai dari -katakanlah- sepuluh ribu. Kita nggak bakal bisa mencicil, contoh aja nih, rumah, kalau nggak pernah bisa disiplin menyisihkan sebagian penghasilan (kecuali dapet warisan, menang undian, atau udah kaya raya dari lahir :p)

Memang ada gunanya gitu kalau setiap bulan kita cuma bisa menyisihkan uang, misalnya, Rp 100 ribu? Ada dong... Awalnya mungkin jumlah yang kita kumpulkan terasa kecil: Rp 100 ribu x 12 bulan hasilnya Rp 1,2 juta. Hari gini, nggak nendang banget cuma punya uang segitu... Namun yang terpenting sebetulnya bukan berapa banyak yang berhasil kita kumpulkan, tapi bagaimana kita membiasakan diri untuk disiplin menabung. Kalau kita sudah bisa menyisihkan Rp 100 ribu sebulan, untuk berikutnya sudah nggak terlalu berat kalau kita harus menyisihkan Rp 200 ribu, misalnya. Kalau kita sudah pernah punya uang Rp 1 juta, sudah nggak terlalu sulit lagi bagi kita untuk mencapai Rp 2, 3, 4 atau 5 juta. Dalam hal ini saya percaya, kalau kita bisa setia pada hal-hal kecil, kita pasti akan diberi kepercayaan untuk mengelola hal-hal besar. Ini kalau menurut pengalaman saya lho...

Sekadar sharing, tahun 1999 gaji saya Rp 1 juta sementara gaji suami (yang saat itu masih berstatus pacar) Rp 1,5 juta. Dia mempercayakan seluruh pengelolaan uangnya pada saya. pokoknya tahu beres aja deh... :) Setelah dipotong biaya kost, transport pp ke kantor masing-masing, makan, beli pakaian dan kebutuhan lain-lain, plus dana untuk rekreasi dan biaya-biaya tak terduga, setiap bulan saya mampu menyisihkan minimal Rp 500 ribu untuk ditabung. Ya, waktu itu kami memang harus sedikit prihatin, tapi untungnya sih nggak sampai hidup di bawah garis kemiskinan hehe...

Tabungan itu nggak pernah kami utak-atik karena dari awal saya dan pacar sepakat menabung bersama untuk biaya menikah. Kalau salah satu dari kami dapat side job, uangnya langsung dimasukkan ke tabungan bersama tersebut. Februari 2001, saat akan menikah kami sudah memiliki tabungan kurang lebih Rp 25 juta. Jaman itu uang segitu cukup untuk menggelar resepsi di sebuah gedung di Bandung, dengan pesta yang menurut ukuran kami cukup bagus. Orang tua kami tinggal menutup sedikit kekurangan biaya, yang akhirnya berhasil kami kembalikan lagi dari angpau para undangan.

Saya yakin, kalau kita menabung untuk niat yang baik dan mau bekerja keras untuk mencapai hasil yang diharapkan, ada hal-hal di luar kuasa kita yang akan ikut bekerja mewujudkan impian kita. Kita nggak bisa terlalu matematis berhitung soal pengeluaran dan pendapatan kita. Kalau dipikir-pikir, nggak masuk akal banget kan gaji Rp 2,5 juta berdua, tapi menabung Rp 500 ribu sebulan dan dalam waktu kurang lebih 2 tahun bisa mengumpulkan Rp 25 juta? Tapi kalau kita niat dan yakin menjalaninya, saya percaya selalu ada jalan yang membuat kita tetap bisa menabung tanpa harus hidup sangat menderita. Sebaliknya, kalau nggak ditabung, berapa pun uang yang kita punya pasti akan habis juga tanpa terasa. Coba aja kalau nggak percaya!

DIMULAI DARI MENABUNG

Saya tergila-gila menabung. Dari awal mulai mengenal uang, saya sudah terbiasa menabung. Dulunya mungkin karena diajari orang tua. Tapi lama-lama saya jadi kecanduan, jadi nggak tenang kalau nggak punya tabungan hehe..

Salah seorang kenalan saya pernah bilang, dia nggak percaya orang bisa kaya karena menabung. Awalnya saya menabung memang bukan untuk menjadi kaya, tapi sekadar untuk berjaga-jaga. Hidup kan seperti roda, kadang di atas dan kadang di bawah. Nggak setiap saat kita bisa menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup kita. Belum lagi kalau ada kebutuhan mendadak. Dengan selalu mempunyai tabungan, kita jadi nggak kelabakan kalau suatu saat menghadapi situasi darurat. Kena PHK, misalnya. Atau tiba-tiba harus dirawat di RS. Ya, mungkin tabungan kita nggak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan yang tiba-tiba muncul itu. Tapi kan lumayan daripada nggak ada sama sekali?

Karena itu, dalam keadaan semiskin apapun, saya selalu berusaha menyisihkan sebagian uang untuk ditabung. Jaman SMA saya sudah bisa cari uang sendiri dengan cara menulis cerpen dan mengirimkannya ke majalah. Honornya nggak pernah saya habiskan semua, sebagian pasti saya tabung di bank. Makanya nggak ada sejarahnya saya kehabisan uang, meskipun uang saku dari orang tua cuma cukup untuk naik angkot pulang pergi ke sekolah. Mau tanggal muda atau tanggal tua buat saya nggak ada pengaruhnya. Uang di kantong boleh pas-pasan, tapi di tabungan selalu ada.

Buat saya, punya tabungan itu seperti punya payung. Kita nggak tahu kapan akan hujan atau panas terik, tapi kalau kita selalu membawa payung kita sudah mengurangi resiko kehujanan dan kepanasan (kecuali kalau hujan angin, lalu air hujan menampar-nampar kita dari arah samping sehingga payung pun nggak mampu melindungi kita... Nah, itu sih udah lain ceritanya.. :p)

Tahun 1998 saya pernah kerja sebagai editor di sebuah penerbitan buku di Medan, Sumatera Utara. Gaji saya waktu itu cuma Rp 250 ribu, tapi setiap bulan dengan tekun saya menyisihkan Rp 50 ribu untuk ditabung. Saya nggak betah kerja di tempat itu, tapi saya pasang target baru akan berhenti kerja setelah tabungan saya sudah Rp 1 juta. Setelah tabungan saya mencapai 1 juta, saya langsung minggat ke Jakarta dan kerja di sebuah perusahaan yang menangani bermacam-macam bidang, di antaranya majalah, IT, dan EO yang berkantor di Jakarta Selatan.

Di tempat kerja yang baru, saya punya bos -sebut saja namanya Pak JH. Bos saya ini cerita kalau dia memulai bisnisnya dengan modal Rp 50 juta, lalu setahun kemudian dia sudah berhasil menggandakan kekayaannya menjadi Rp 100 juta. Kurang lebih 5 tahun kemudian bisnis Pak JH sudah berkembang pesat dan mempunyai banyak karyawan. Ia berhasil membangun rumah mewah senilai lebih dari Rp 1 milyar (tahun 1998), punya beberapa mobil dan aset-aset lain.

Satu hal yang selalu saya ingat, dia pernah mengajari saya bagaimana mengelola uang yang saya miliki. "Kalau kamu punya gaji Rp 1 juta, kamu harus bisa hidup hanya dengan Rp 700 ribu. Sisanya ditabung. Nah, kalau gajimu naik jadi Rp 1,5 juta, jangan buru-buru menaikkan standar hidupmu. Kamu harus tetap bisa hidup dengan Rp 700 ribu itu dan menabung sisanya."

Masih menurut Pak JH, kesalahan banyak orang pada umumnya adalah menghabiskan seluruh gaji setiap bulan. Dan pada saat gajinya meningkat, standar hidupnya pun naik. Akibatnya gaji dan biaya hidup kejar-kejaran terus nggak tamat-tamat hehe... Orang seringkali terjebak dalam kesulitan membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Belum lagi yang namanya gengsi, waduh... ini nih yang paling cepat bikin keuangan kita morat-marit.

Contoh sederhananya begini, untuk bekerja kita membutuhkan -katakanlah- baju yang layak untuk ke kantor. Harga baju bervariasi dari mulai puluhan ribu sampai jutaan. Kalau sekadar memenuhi kebutuhan, kita seharusnya membeli baju dengan harga yang biasa-biasa saja. Tapi kadang keinginan membuat kita membeli baju dengan harga di atas yang biasa-biasa. Nah, kalau yang namanya gengsi sudah ikutan bicara, maunya beli baju bermerk terkenal yang bisa mengangkat gengsi, tapi sekaligus sanggup mengempeskan kantong dalam sekejap. Kalau udah kelebihan duit sih nggak masalah. Tapi kalau tiap bulan masih harus berakrobat memutar uang gaji agar cukup sampai gajian berikutnya, itu namanya bunuh diri... :D

Saya akui, nggak gampang untuk mempraktekkan apa yang diajarkan oleh Pak J. Kecenderungannya, kita ingin membeli apa-apa yang kita inginkan selagi masih ada uang di tangan. Kenyataan bahwa saya harus belajar mengerem hasrat untuk belanja dan menekan gengsi terus terang membuat saya merasa nggak nyaman pada awalnya. Pada tahap itu, saya akrab dengan satu kata bernama prihatin.

Untuk bisa disiplin menabung, awalnya kita memang harus berani hidup prihatin dan hemat. Ya, kalau kata pepatah sih 'berakit-rakit ke hulu, berenang-renang kemudian' gitu deh... Lupakan dulu segala gengsi kalau memang kita belum cukup punya uang untuk bergaya hidup mewah. Lagipula apa enaknya punya barang-barang mahal dan berpenampilan bak orang kaya kalau pada kenyataannya kita masih ngos-ngosan dalam hal keuangan, apalagi sampai dikejar-kejar hutang?

Intinya, untuk menabung memang diperlukan niat dan pengorbanan. Jadi malas menabung? Ya terserah. Itu kan pilihan masing-masing orang...